Perusahaan Otobus PO. Sinabung Jaya yang beralamat di Jl. Veteran 
Gang Usaha Tani, Berastagi, Kabupaten Tanah Karo Provinsi Sumatera Utara
 mulai dirintis oleh Reti Sembiring Gurukinayan yang dilahirkan pada 
tahun 1904 di kampung Gurukinayan yang letaknya persis di bawah Gunung 
Sinabung, kecamatan Payung, Kabupaten Tanah Karo.  Mempersunting seorang
 gadis bernama Releng br Sitepu anak saudara dekat dari ibunya yang 
berasal dari kampung Berastepu dan dikaruniai 10 (sepuluh)  anak yang 
terdiri dari 7 (tujuh) anak pria dan 3 (tiga) anak perempuan.
Reti Sembiring Gurukinayan adalah seorang anak sulung dari keluarga 
petani yang ayahnya bernama Ngupahi Sembiring Gurukinayan yang 
beristrikan Peraten br Sitepu yang kebetulan juga berasal dari kampung 
Berastepu yang lokasinya bertetangga dengan kampung Gurukinayan, yang 
dikarunia 3 (tiga) orang anak yaitu Reti  Sembiring Gurukinayan, 
Bantamuli br Sembiring Gurukinayan dan Rekat Sembiring Guruki-nayan.
Dibesarkan dan dididik di keluarga petani, bukan berarti Reti 
Sembiring Gurukinayan ingin menjadi petani walaupun tanah ladang dan 
sawah yang akan diwariskan oleh ayahnya kelak cukup untuk menghidupi 
keluarganya di kemudian hari, beliau mempunya cita-cita lain untuk masa 
depannya. Walaupun tidak pernah mengikuti pendidikan formal di bangku 
pendidikan sekolah rakyat (sekolah dasar) atas kemauan keras untuk 
mewujudkan cita-citanya secara otodidak akhirnya dimasa remajanya dapat 
membaca, menulis dan berhitung.
2.  TAHUN 1915
Dalam masa pertumbuhan remajanya beliau ketika berumur 11 tahun telah
 meninggalkan kampung Gurukinayan menjadi kernek bus di kampung 
Batukarang, karena tokehnya atau pemilik bus bernama Atol Bangun 
berdomisili di kampung tersebut. Reti Sembiring Gurkinayan mempunyai 
cita- cita agar dikemudian hari beliau ingin memiliki armada bus 
walaupun pada saat itu hanyalah sebagai kernek bus ban mati / roda mati 
diawal tahun 1915. Beliau sadar bahwa untuk dapat memiliki armada bus 
sendiri tentu akan membutuhkan waktu yang cukup lama dan panjang serta 
harus memiliki tekad yang kuat, mau bekerja keras, disiplin dan juga 
hemat. Pada waktu itu tidak semua yang menjadi kernek bus/ truk otomatis
 dikemudian hari akan  dapat  menjadi  seorang  supir.  Peningkatan 
kariernya  tidak  akan pernah tercapai apabila tidak dapat mengambil 
hati supirnya yang mempunyai otoritas cukup besar untuk menentukan siapa
 yang layak sebagai kerneknya dalam mengoperasikan bus / truk  yang   
dipercayakan oleh pemiliknya (majikannya) Kalau  sang  kernek  tidak  
rajin  dan  tekun  serta disiplin dan gigih maka kemungkinan besar sang 
kernek dapat diberhentikan oleh supirnya dan kedudukannya akan 
digantikan oleh orang lain yang menurut sang supir lebih baik atau 
selamanya hanyalah sebagai kernet karena sang supir tidak pernah memberi
 kesempatan baginya untuk belajar mengemudi.
Mengingat pada waktu itu, Reti Sembiring Gurukinayan yang mempunyai 
cita-cita yang tinggi bagi dirinya dan untuk masa depannya serta 
keluarganya dikemudian hari, beliau berusaha menjadi kernek yang gigih, 
rajin dan disiplin dan  disayangi oleh supirnya serta mempunyai rasa 
memiliki. Karena khawatir suatu saat kemungkinnan akan diberhentikan 
oleh sang supir bila tidak rajin dan disiplin maka dalam melaksanakan 
tugasnya sebagai kernek bus beliau bekerja keras agar penghasilan dari 
setoran bus yang mereka operasikan bersama supirnya minimal dapat 
menghasilkan setoran yang layak dan wajar kepada pemilik bus. Akan 
tetapi tidak hanya masalah setoran yang jadi patokan bagi dirinya dalam 
melaksanakan pekerjaannya, tapi juga masalah perawatan bus pun menjadi 
perhatian utamanya, sehingga beliau juga berupaya untuk mengetahui seluk
 beluk mesin bus termasuk membersihkan bus di poolnya pada malam hari 
apabila selesai operasi pada pagi dan siang hari. Pada saat itu untuk 
dapat menjadi supir tidaklah semudah pada saat ini, pekerjaan sebagai 
supir sangat didambakan oleh banyak orang bagi mereka yang tidak mau 
melanjutkan sekolahnya ketingkat yang lebih tinggi, apalagi bagi seorang
 pemuda bernama Reti Sembiring Gurukinayan yang pada awalnya adalah 
seorang yang buta aksara sehingga tidak ada pilihan lain selain menjadi 
kernek dulu baru menjadi supir kemudian memiliki armada bus sendiri, 
cukup sederhana cita-citanya, sedangkan pekerjaan sebagai petani di 
kampung tidak ada dalam benaknya. Disamping itu pekerjaan sebagai supir 
sangat dihormati oleh masyarakat didaerah kelahirannya, dan tentunya 
juga menjadi idaman oleh para gadis untuk dapat dipersunting menjadi 
istri seorang supir. Didalam pikirannya, hanya  dengan jalan yang sedang
 dia tekuni inilah satu-satunya jalan bagi dirinya untuk mencapai masa 
depan yang lebih baik dikemudian hari. Apalagi beliau anak tertua dari 3
 (tiga) bersaudara, maka seyogyanya dapat memberikan contoh atau panutan
 bagi saudara lainnya, hal ini berlaku umum di masyarakat Karo. Ada 
kepercayaan masyarakat Karo, apabila anak tertua berhasil atau sukses / 
memiliki pendidikan tertinggi maka dengan sendirinya adik-adiknya akan 
mengikutinya jejaknya, orang yang sukses didalam keluarga akan dengan 
sendirinya memiliki wibawa dan jadi panutan dibandingkan dengan yang 
tidak berhasil, terutama dihadapan saudaranya atau adik-adiknya.
Cita-cita seorang pemuda Reti Sembiring sebenarnya mungkin cukup 
sederhana bagi sebagian orang, apalagi tidak terlalu sulit untuk 
mencapainya, karena hanya dengan bermodalkan mau bekerja keras, tekun, 
disiplin dan mau berhemat serta mempunyai rasa memiliki maka kemungkinan
 besar akan dapat berhasil. Beliau sadar bahwa orang yang awalnya buta 
aksara maka beliau tidak mengimpikan cita-cita yang muluk-muluk, hanya 
satu keinginannya bahwa pada suatu saat dapat memiliki bus sendiri yang 
akan dia kemudikan sendiri dan dirawat sendiri agar biaya perawatannya 
akan semakin ringan. Oleh sebab itu, pada pada malam harinya setelah 
selesai membersihan bus yang menjadi tanggung jawabnya sehari-hari , 
beliau juga mencuci tidak hanya pakaiannya sendiri akan tetapi juga 
pakaian supirnya, walaupun    tidak pernah disuruh oleh supirnya yang 
memang bukan menjadi tanggung jawabnya sebagai kernek bus. Demikian juga
 diwaktu senggang beliau tidak lupa untuk belajar membaca, menulis dan 
berhitung secara otodidak sehingga akhirnya berhasil. Beliau tidak 
pernah mengikuti pendidikan formal karena situasi dan kondisi keluarga 
pada waktu itu tidak memungkinkan untuk mengikuti pendidikan formal 
dijaman penjajahan, apalagi sebagai anak tertua semasa kecilnya beliau 
juga harus ikut menggendong dan merawat adik-adiknya serta membantu 
ibunya di ladang.
Semasa hidupnya, untuk menandatangangi dokumen yang berhubungan 
usahanya , tanda tangannya cukup sederhana dengan menulis nama awalnya 
sendiri. Melihat kegigihannya dalam melakukan pekerjaannya sehari-hari 
dan disenangi supirnya, maka dalam waktu relatif tidak terlalu lama, 
cita-citanya tahap  pertama  dapat  dicapainya. Beliau  diberi   
kesempatan   oleh supirnya untuk belajar menyetir bus pada saat selesai 
operasi atau dalam perjalanan pulang ke pool di kampung Batukarang. 
Tidak hanya itu, beliau juga dibimbing supirnya secara terus menerus 
agar dapat mengetahui seluk beluk mesin maupun system elektrik serta 
cara perbaikannya.
Perlu diketahui, bahwa pada waktu itu, seorang supir haruslah orang 
yang paling tahu seluk beluk teknis mesin serta elektriknya, hal ini 
memang harus menjadi persayaratan utama karena apabila terjadi  masalah 
atau kerusakan di tengah jalan maka sang supirlah yang  harus bisa 
memperbaiki sendiri bus yang menjadi tanggung jawabnya dan tindak 
mungkin mendapat bantuan dengan segera apabila terjadi kerusakan di 
tengah perjalanan. Apalagi kondisi alamnya pada waktu itu antar  
kampung  atau kota lokasi cukup jauh dan harus melewati hutan atau 
sawah/ ladang penduduk setempat yang jarang dilewati kenderaan lain yang
 jumlahnya didaerah tersebut masih dalam hitungan jari.
3.  TAHUN 1930
Setelah cukup lama menjadi kernek bus, pada tahun 1930 Reti Sembiring
 Gurukinayan meningkat statusnya dari kernek menjadi supir bus ban mati 
yang selama ini menjadi cita-cita yang cukup lama dipendamnya. Beliau 
mengoperasikan bus ban mati bernama “ATOL” yang pemiliknya bernama Atol 
Bangun yang berasal dari Batukarang. Beliau cukup lama bekerja pada 
majikannya tersebut sehingga hubungan antara beliau dengan bapak Atol 
Bangun bukan lagi seperti hubungan kerja antara majikan dan karyawannya,
 akan tapi menjadi hubungan keluarga yang sangat baik. Hal ini dapat 
dilihat dikemudian hari, sewaktu beliau pindah ke Berastagi pada tahun 
1948 dan setahun kemudian menyusul istri dan anak-anaknya, bapak Atol 
Bangun sering berkunjung ke rumah beliau di Berastagi, hubungan 
kekeluargaan ini tetap berlangsung walaupun bapak Atol Bangun bukan lagi
 majikan beliau.
| Foto kenderaan roda mati tahun 30 (tiga puluhan), yang pada waktu itu disebut “motor kitik” oleh masyarakat Karo di Dataran Tinggi Karo. | 
Beliau tidak pernah merasa puas dengan apa yang sudah dicapainya, 
karena cita-cita awal yang paling tinggi bagi ukuran beliau pada waktu 
itu adalah, pada suatu saat beliau bercita-cita memiliki armada bus 
sendiri. Oleh sebab itu beliau sadar bahwa pekerjaan sebagai kernek 
kemudian menjadi supir hanyalah jalan untuk meraih cita-citanya 
tersebut. Selama menjadi kernek maupun supir bus, beliau bekerja keras 
dan tidak mengenal lelah, disiplin, hemat agar pada suatu saat dapat 
mewujudkan cita-citanya tersebut, uang yang sudah dikumpulkan dari hari 
kehari setelah dipergunakan sebagian untuk keperluannya, kemudian 
disimpan dibawah kasur. Karena kegigihannya selama bekerja pada 
majikannya tersebut di atas, beliau tidak hanya disayangi majikannya 
tapi juga disegani oleh kerneknya, hal ini dapat dibuktikan dikemudian 
hari, dimana setelah beliau  memiliki bus sendiri sampai memiliki 
perusahaan otobus PO. Sinabung Jaya  hubungan silaturahmi antar dia 
dengan mantan supirnya, maupun kernek dapat terpelihara sepanjang 
hidupnya. Malah setelah beliau meninggal dunia, banyak mantan supirnya 
maupun kerneknya tetap membicarakan dan mengenang beliau , walaupun dulu
 mereka sering ditegor, malah ada yang pernah dikejar-kejar dengan 
membawa martil karena kesalahan fatal yang mereka buat sehingga mesin 
busnya rusak antara lain lupa mengisi air radiator yang seharusnys 
setiap sampai di stasiun pemberhentian terakhir harus di periksa ulang 
sebelum berangkat lagi ke stasiun awalnya. Walapun sering ditegor atau 
dimarahi mereka tidak pernah sakit hati karena apa yang dilakukan beliau
 dapat mereka maklumi atau pada tempatnya, dan semua itu tujuannya 
adalah untuk mendidik mereka  supaya menjadi pintar atau 
menguasai mesin dan elektri bus yang menjadi tanggung jawabnya. Hal ini 
sering mereka ceritakan kepada anak-anak beliau termasuk kami yang pada 
waktu PO. Sinabung Jaya didirikan pada tanggal 1 April tahun 1961 sudah 
berumur 10 tahun.
Setelah karier Reti Sembiring Gurukinayan meningkat yang tadinya 
hanyalah sebagai kernek kemudian menjadi seorang supir yang disenangi 
oleh majikannyanya, barulah beliau punya cita-cita berikutnya yaitu 
mempunyai istri dengan pemikiran sudah   dapat memberikan  nafkah 
kepada istri maupun anak-anaknya di kemudian hari. Beliau mempersunting 
seorang istri bernama Releng br Sitepu dari keluarga ibunya di Berastepu
 pada tahun 1930 dalam usianya yang ke duapuluh enam tahun, sehingga 
hubungan kekeluargaan semakin erat persaudaraannya. Beliau tinggal 
bersama istrinya di rumah yang cukup sederhana yang baru dibangunnya di 
ladang Tambak Rahu yang berlo -kasi dipinggir kampung Gurukinayan kearah
 gunung Sinabung, hasil dari jerih payahnya selama menjadi kernek dan 
supir.
| Foto Alm.Ayahanda Reti Sembiring Gurukinayan dan istrinya Almh. Ibunda Releng br Sitepu Tahun 1961 pada saat mendirikan perusahaan otobus PO. Sinabung Jaya tanggal 1 April 1961. | 
Pada tahun 1931 lahir lah anak pertama yang diberi nama Kueteh 
Sembiring Gurukinayan, dan dua tahun kemudian lahir seorang anak 
perempuan, akan tapi beberapa hari kemudian dipanggil Allah Bapa yang 
maha kuasa. Karena pada waktu itu masyarakat Karo pada umumnya masih 
penganut animisme dan karena umurnya baru beberapa hari maka jasadnya 
harus dibakar dan abunya dilarungkan di sungai Parik Lau dekat ladang 
keluarga Kembilik kampung Gurukinayan.
Selanjutnya, pada tahun 1936 lahir anak yang ketiga laki-laki diberi 
nama Dors Erti Sembiring Gurukinayan sampai dengan anak yang 
kesepuluh  (terakhir) pada tahun 1956 yang bernama Resmond Jaya 
Sembiring Gurukinayan, sama dengan kepercayaan daerah lainnya, banyak 
anak akan membawa banyak rejeki.
Pekerjaanya sebagai supir oleh Reti Sembiring Gurukinayan tidak hanya
 untuk satu armada bus tapi berganti lagi kepada bus peti sabun (bus 
pekan-pekan) lainnya yang pada waktu itu jenis bus ini dapat berubah 
fungsi dalam arti pada siang hari dapat mengangkut penumpang dan malam 
hari dapat membawa hasil bumi untuk dibawa ke kota dengan mencabut 
bangku-bangku yang terbuat dari kayu dan tidak dilapisi dengan jok 
(knock down), yang pada keesokan harinya akan dijual oleh para petani  
pada  hari  pekan/ pasar yang pada setiap kota berbeda. Hari pasar 
antara lain untuk kota Kabanjahe pada hari Senen dan Kamis, Berastagi 
pada hari Rabu dan Sabtu, sedangkan hari Kamis untuk Tiga Nderket.
Barang petani yang akan dijual pada hari pekan tersebut dibawa 
terlebih dahulu oleh bus peti sabun pada malam hari ke pasar yang di 
tuju, kemudian keesokan harinya petani tersebut menyusul dengan 
menumpang bus yang sama, kemudian setelah selesai hari pasar atau  
setelah barang hasil sawah/ ladangnya laku dijual barulah petani 
membayar ongkosnya termasuk ongkos barangnya pada waktu pulang kembali 
ke kampungnya dengan menumpang bus yang sama , sambil membawa uang dari 
penjual-an hasil kebun/ sawahnya setelah dibelanjakan sebagian untuk 
membeli bibit, pupuk mapun kebutuhan sehari-hari lainnya.
Sampai akhir tahun 1937 Reti Sembiring Gurukinayan masih mengemudikan
 bus bernama “ATOL” milik Atol Bangun yang berasal dan tinggal di 
Batukarang yang menggunakan roda mati.
Sebenarnya kalau dikatakan bus kurang tepat, karena yang umumnya 
dikatakan bus paling sedikit dapat mengangkut 20 (dua puluh) orang 
penumpang atau lebih, sedangkan mobil tersebut hanya dapat mengangkut 
penumpang tidak lebih dari 8 (delapan) sampai dengan 10 (sepuluh) 
penumpang, dimana tempat mesin didepan kelihatan lebih panjang kalau 
dibandingkan dengan tempat penumpangnya dibelakang, atau mungkin lebih 
tepat dikatakan opelet atau mini bus, sebagai ilustrasi prototipe oplet 
tersebut dapat dilihat pada foto tersebut di atas.
4.  TAHUN 1937
Akhirnya dari hasil tabungannya selama menjadi supir dan dengan 
dukungan keluarga dari keluarga mertuanya Sepit Sitepu  dari desa 
Berastepu yang  mempunyai anak 3 (tiga) orang yaitu anak sulung Sahun br
 Sitepu (Nande Ganin); Releng br Sitepu (Nande Kueteh) dan bungsu Jusup 
Batang Sitepu (Pa Rustam) dari Beratepu maupun adiknya Bantamuli br 
Sembiring Gurukinayan (Nande Budi) yang dipersunting oleh Bagin 
Singarimbun (Pa Budi) dari Temburun, maka pada tahun 1937 dibelilah 
untuk pertama kalinya truk roda 8 (delapan) yang selama ini sangat 
dicita-citakan. Beliau membeli truk bak terbuka ban mati berwarna   
merah atau disebut juga “gara takal” (kepala merah) dengan saudaranya 
Jemat Sembiring Gurukinayan (Pa Siman), ayah dari Bapak Siman Sembiring 
Gurukinayan yang telah banyak mem-berikan informasi dalam penyempurnaan 
sejarah ini yang pada saat ini telah berusia 75 tahun dan Tempi 
Sembiring Gurukinayan (Pa Damenta) yang pada saat ini juga telah berusia
 89 tahun dengan kondisi yang tetap sehat dan tinggal di kampung 
Gurukinayan. Mobil tersebut beliau kemudikan sendiri oleh Reti Sembiring
 dan dikerneki secara bergantian oleh Sempa Sitepu (Pa Rakut); Jumpa 
Ginting (Pa Akim); Jabab Sembiring Meliala (Pa Ros) dan terakhir oleh 
Tabas Surbakti (Pa Bini) kemanakannya. Truk tersebut diberi nama Sinabun
 (bukan Sinabung) dengan logo gambar “Nenas” pada lambungnya, karena 
pada waktu itu di kampung Gurukinayan disamping hasil kebun utamanya 
buah jeruk, juga terdapat kebun nenas yang buahnya cukup besar sebagai 
hasil sampingan pada kebun yang sama. Karena truk tersebut terlalu 
panjang maka chasissnya dipendekkan atau dihilangkan 2 (dua) roda 
belakang menjadi roda 6 (enam) serta diubah karoserinya menjadi type 
“Peti Sabun”, Sehingga bus tersebut lebih mudah di operasikan didaerah 
tersebut yang jalannya sangat sempit dan berliku-liku yang umumnya 
terdapat didaerah pegunungan. Bus tersebut dioperasikan untuk melayani 
angkutan antar kota Kotacane dengan kota Medan mengangkut penumpang 
maupun barang didaerah Gurukinayan dan sekitarnya yaitu Berastagi, 
Kabanjahe dan Tiga Nderket.
| Foto Alm. Ayahanda Rekat Sembiring Gurukinayan (adik kandung Alm. Reti Sembiring Gurukinayan) bersama Almh Ibunda Goto br Sitepu | 
5.  TAHUN 1940
Selanjutnya Reti Sembiring  dengan keluarganya Batak Bangun (Pa 
Tringani)  pada tahun 1940 yang juga berasal dari kampung Gurukinayan 
membeli bus ban hidup (bukan ban mati) pada jaman Jepang hasil penjualan
 tembakau yang banyak ditanam disekitar kampung Batukarang dan 
sekitarnya maupun penjualan jeruk yang dijual di Tiganderket sekitar 6 
(enam) kilometer dari kampung Gurukinayan yang merupakan pasar utama 
disekitar daerah terasebut. Beliau menjalani trayek Medan ke Pematang 
Siantar dan dikerneki oleh adiknya Nabas Bangun (Pa Roma).
Pada jaman Jepang tersebut sudaranya satu kakek Mayan Sembiring 
Gurukinayan (Pa Ngonggar) yang juga tinggal dikampung Gurukinayan 
berpatungan dengan Pa Pena Sitepu Batunanggar dan Ngenan Sitepu (Pa 
Binje) membeli truk yang mereka pergunakan untuk berdagang tembako ke 
Kotacane, Aceh Tenggara yang dikemudikan oleh Rekat Sembiring 
Gurukinayan adik kandung bungsu Reti Sembiring Gurukinayan. Oleh sebab 
itu pada jaman Belanda maupun Jepang penduduk kampung Gurukinayan telah 
memiliki beberapa tokeh / juragan bus maupun truk. Dari sekian tokeh 
tersebut hanyalah Reti Sembiring Gurukinayan yang memulai kariernya 
sebagai kernek sedangkan lainnya hanyalah sebagai pemodal yang awalnya 
sebagai petani sukses. Hal ini dapat dibuktikan bahwa beberapa diantara 
mereka sepanjang hidupnya tidak pernah dapat mengemudikan bus/ truk yang
 mereka miliki antara lain saudaranya Jemat Sembiring Gurukinayan dan 
Mayan Sembiring Gurukinayan.
Kemudain pada yang sama yaitu tahun 1940 Reti Sembiring Gurukinayan 
berkongsi lagi dengan Jemat Sembiring Gurukinayan (Pa Siman) membeli 
mobil truk chasiss yang di daerah tersebut di sebut mobil kope bersama 
dengan saudaranya Ngasami Sembiring Pandia (Pa Uli/ Toko Cahaya 
Kabanjahe) yang berasal dari kampung Payung dekat kampung Gurukinayan  
yang pada waktu itu juga membeli mobil yang sama dalam kondisi baru.
Kemudian, pada tahun 1946, bus yang mereka miliki masuk armada 
perusahaan otobus Maspersada artinya mas ipersada (mas disatukan) yang 
dipinpin oleh Raja Oekum Sembiring Meliala (Pa Terangmalem) yang berasal
 dari Berastepu tapi dibesarkan di kampung Tanjung. Bergabung dengan 
Maspersada terpaksa dilakukan karena pada saat itu bahan bakar hilang 
dari pasar, sehingga dengan masuk armada Maspersada dengan sendirinya 
akan mendapat jatah bahan bakar untuk menunjang operasional bus mereka.
Bus yang mereka miliki dikemudikan secara bergantian dengan Batak 
Bangun (Pa Tringani), yang dipergunakan untuk rute pekan-pekan antara 
kampung Gurukinayan ke Tiganderket, Berastagi atau ke Kabanjahe.
Walaupun sudah memiliki bus/ truk bersama  Jemaat  Sembiring  
Gurukinayan, Reti Sembiring Gurukinayan tidak merasa puas dengan apa 
yang sudah  dicapainya, dimana  beliau juga membuka kedai 
kopi dirumah saudaranya Rajangena Sembiring Gurukinayan (Pa Saman) yang 
kebetulan berlokasi di jalan utama di tengah kampung Gurukinayan pada 
tahun 1946 atau beberapa bulan setelah Indonesia merdeka pada tanggal 17
 Agustus 1945 dengan bekerja sama dengan Pa Miji peran-tauan Banjar dari
 Banjarmasin yang sudah berpengalaman membuka usaha kedai kopi. 
Disamping pintar memasak juga dapat membuat aneka   macam   kue, yang   
dikampung Gurukinayan pada waktu itu merupakan makanan yang sangat 
digemari oleh masyarakat setempat. Pada waktu membuka kedai kopi 
tersebut Reti Sembiring Gurukinayan telah menjalin hubungan bisnis, 
dimana pada hari-hari tertentu beliau berbelanja di toko grosir 
kelontong toko “MO HAP” (ada spasi antara mo dan hap) yang pemiliknya 
bernama Mohap di ruko depan pintu masuk sebelah kanan pasar Berastagi 
atau disamping Kedai Kopi/ Mie “Pa Misang”, tepatnya sederetan Toko 
Onderdil/ SPBU  Garuda, atau dengan Toko Klontong Sinabung  Berastagi, 
pada saat ini. Akan  tetapi karena terjadi agresi kedua tahun 1947 
oleh Belanda dimana pihak pemerintah Hindia Belanda yang ingin kembali 
menduduki Wilayah Republik Indonesia menyebabkan sebagian besar penduduk
 yang tinggal di dataran tinggi Karo terpaksa mengungsi ke hutan, 
sebagian diantaranya mengungsi ke daerah Aceh Tenggara. Demikian juga 
halnya dengan situasi tidak menentu yang terjadi di kampung Gurukinayan,
 maka dengan terpaksa mobil bus peti sabun yang sudah mereka miliki 
tersebut dijual pada bulan Nopember 1947, sedangkan mobil truk chasiss 
“dipinjam” oleh pihak Belanda untuk mendukung agresi mereka ke daerah 
Kotacane dan sekitarnya yang dikemudikan oleh Tabas Surbakti (Pa Bini), 
yang kemudian karena merasa terancam jiwanya di daerah operasi Belanda 
di Aceh Tenggara (Kotacane), beliau meninggalkan truk tersebut di 
“Gunung Setan” sekitar Kotacane, yang akhirnya hilang tidak berbekas.
| Foto Alm.Tabas Surbakti, kemenakan Alm. Reti Sembiring Gurukinayan, yang bertanggung jawab untuk operasional bus PO. Sinabung Jaya di pool desa Gurukinayan | 
Selama dalam pengungsian darah yang mengalir dalam diri dan jiwa  
Reti Sembiring Gurukinayan bukanlah darah seorang petani seperti 
almarhum ayahnya Ngupahi Sembiring Gurukinayan, akan tetapi darah 
seorang pengusaha, dimana dalam hal ini dapat dibuktikan dalam suasana 
pengungsian pun bakat sebagai pengusaha dapat ditunjukkannya yaitu 
dengan membukan kedai kopi di tengah hutan sekitar perbatasan dengan 
Aceh Tenggara. Cangkir yang pada waktu itu terbuat dari bahan kaleng/ 
alumenium diganti dengan sepotog bambu dengan memanfaatkan ruasnya 
sebagai cangkir. Karena dalam hutan tersebut tidak ada saingannya maka 
kedai kopi darurat tersebut banyak diminati oleh para pengungsi lainnya,
 sehingga dalam suasana pengungsian di tengah hutan Reti Semiring 
Gurukinayan dapat memberikan nafkah kepada keluarganya.
Pada awal tahun 1948 keluarga kembali ke kampung Gurukinayan dari 
pengungsian, dan pada waktu mau menempati kembali rumah di ladang Tambak
 Rahu yang ditinggal beberapa waktu pada waktu mengungsi sudah ditempati
 keluarga lainya yaitu Nini Bulang (Kakek) dari Kuat Sembiring 
Gurukinayan (Pa Jaya), dan atas pendekatan secara kekeluargaan beliau 
mau mengosongkan rumah tersebut, dan kembali ditempati oleh Reti 
Sembiring Gurukinayan beserta keluarganya.
Karena memang sudah ditakdirkan yang memiliki jiwa pengusaha maka 
sepulang dari pengungsian Reti Sembiring Gurukinayan kembali membuka 
usaha kedai kopi ditempat yang sama. Kedai tersebut cukup laris karena 
disamping menjual minuman dan rokok, beliau juga menjual Sukat (umbi 
keladi) yang direbus dan dihidangjkan dalam keadaan panas dan dimakan 
bersamnaan dengan “gula kerep” (gula batak/ merah yang dihidangkan dalam
 bentuk potongan kecil). Umbi keladi tersebut hasil ladang mereka di 
Tambak Rahu yang ditanam istrinya tercinta Releng br Sitepu yang 
mempunyai cukup andil yang cukup besar untuk membantu cita-cita suaminya
 yang ingin kembali memiliki bus sendiri. Dalam membuka kedai tersebut 
beliau dibantu oleh iparnya Musim ginting (Pa Sangkut) dan Lem Sitepu 
Batunanggar (Pa Nomin).
Pada tahun yang sama, saudaranya satu kakek Mayan Sembiring 
Gurukinayan (Pa Ngonggar) yang berkongsi dengan Batak Bangun (Pa 
Tringani) membeli bus peti sabun, akan tetapi mereka mengalami musibah 
yang cukup fatal karena bus yang dibeli dengan susah payah di bom oleh 
tentara Jepang dekat sembahe pada waktu terjadi serangan dari pihak 
sekutu/ Inggris.
Pa Miji  rekan bisnisnya dalam   membuka usaha kedai kopi sebelum 
agresi kedua,  tidak ikut ambil bagian membuka kedai kopi di 
Gurukinayan, akan tetapi Reti Sembiring Gurukinayan memberi bantuan 
modal kepada beliau untuk membuka kedai kopi/ rumah makan di dekat los 
Tiganderket atau jalan ke Kutabuluh. Karena keahlian beliau memasak dan 
membuat aneka makanan kecil, dalam waktu relatif singkat usahanya 
berkembang dengan pesat karena orang tidak hanya minum kopi, teh atau 
makan makanan kecil, tapi juga makan nasi khususnya pada hari pekan 
setiap hari Kamis. Kebetulan pada waktu itu ada orang  menawarkan   
motor halus bekas kepada Pa Miji, dan beliau tertarik sehingga langsung 
membeli motor “Halus”  (dikatakan motor halus karena suara mesinnya 
nyaris tidak terdengar atau  “Motor Kitik/ Kecil ” yang  didaerah  
Tinggi Karo   maksudnya mobil  sedan) tanpa berkonsultasi dengan Reti 
Sembiring Gurukinayan sebagai penyandang modal, dimana hanya dalam tempo
 1 (satu) tahun Pa Miji telah mampu membeli mobil sedan dari usaha rumah
 makan tersebut.Akan tetapi kepemilikan mobil tersebut hanya berlangsung
 beberapa bulan, karena beliau menjualnya kembali setelah mengalami 
kecelakaan sewaktu mengemudikan mobil yang pada waktu itu mungkin belum 
berpengalaman. Sehingga Pa Miji yang tadinya statusnya meningkat 
disekitar daerah tersebut (karena tidak semua orang mampu memiliki mobil
 sedan) , kembali  ke  status  semula sebagai pengusaha kedai kopi/ 
rumah makan di Tiganderket, penurunan tingkat status sosial tersebut 
mungkin karena memang  belum saatnya memiliki motor halus pada waktu 
itu.
6. TAHUN 1948
Sambil membuka kedai kopi di Gurukinayan pada tahun 1948, Reti 
Sembiring Gurukinayan bekerjasama dengan saudaranya Negeri Sembiring 
Gurukinayan (Pa Guru) dan Batak Bangun (Pa Tringani) membeli 1 (satu) 
unit truk, dan beberapa waktu kemudian menambah 2 (dua) unit yang 
dipergunakan untuk mengangkut barang sampai ke Pematang Siantar yang 
dimotori oleh Negeri Sembiring Gurukinayan (Pa Guru) untuk mencari 
muatan dan dikemudikan oleh Batak Bangun, sedangkan dari Pematang 
Siantar dibawa barang barang kelontong maupun minyak tanah untuk dijual 
disekitar Gurukinayan, Berastepu, Batukarang sampai ke Tiganderket dan 
sekitarnya yang pada waktu itu sangat langka dijumpai di pasar, 
sedangkan bus lainnya untuk menjalani trayek pekan-pekan yang 
dikemudikan oleh Reti Sembiring Gurukinayan beserta adik bungsunya yang 
poolnya di Berastepu, sedangkan yang dikemudikan Tabas Surbakti poolnya 
di Gurukinayan. Akan tetapi  rekan bisnisnya Batak Bangun (Pa Tringani) 
mengundurkan diri dari patungan tyersebut, sehingga Reti Sembiring 
Gurukinayan harus meminjam uang mertuanya Sepit Sitepu (Pa Sahun) yang 
tinggal di Berastepu untuk membeli saham Batak Bangun yang mengundurkan 
diri dari perkongsian tersebut.
Pada waktu membuka kedai kopi di kampung Gurukinayan pada tahun 1948,
 situasi keamanan belum stabil dan ada pihak tertentu yang ingin 
menculik Reti Sembiring Gurukinayan,  sehingga  beliau dengan terpaksa 
kembali mengungsi seorang diri tidak ke hutan akan tetapi ke Berastagi. 
Menurut informasi dari keluarga, pada waktu beliau membuka kede kopi ada
 oknum/ warga diluar kampung Gurukinayan yang bertandang ke kampung 
tersebut dan singgah di kedainya untuk minum kopi. Setelah selesai 
meminum kopi, beliau langsung membayar minumannya dengan uang Jepang , 
akan tetapi karena pada waktu itu didaerah tersebut tidak berlaku lagi 
uang “Jepang” dimana yang berlaku adalah uang “Belanda” maka dengan 
sopan beliau mengatakan, “tidak usah dibayar”. Rupanya kerena  
ucapannya  itu  membuat  “Oknum” tersebut merasa tersinggung atau 
tercoreng harga dirinya,  sehingga bebe-rapa hari kemudian “Oknum” 
tersebut beserta dengan kelompoknya berencana untuk menculik Reti 
Sembiring Gurukinayan dengan alasan tidak jelas. Hal ini pada waktu itu 
bisa saja terjadi kepada siapapun,  karena situasi yang tidak kondusif 
yang mengakibatkan ada istilah siapa yang kuat maka ia yang menang dalam
 arti seseorang dapat saja  langsung  diculik  dengan  alasan  yang  
tidak  jelas yang kemudian tidak pernah kembali atau pulang 
kekeluarganya . Akan tetapi, sebelum rencana tersebut dapat mereka 
laksanakan,  ada  keluarga  dekat dari kelompok tersebut, Pa Pangkat 
Ginting memberitahu adiknya Bantamuli br Sembiring Gurukinayan (Nande 
Budi Singarimbun) di Tiganderket mengenai rencana tersebut. Sehingga 
malam hari itu juga adiknya Bantamuli br Sembiring Gurukinayan dengan 
membawa uang simpannya langsung berangkat ke Gurukinayan untuk 
menginformasikan rencana penculikan tersebut, dan malam itu juga Reti 
Sembiring Gurukinayan mengungsi ke Berastagi dan tinggal di rumah Pa 
Namaken Ginting Suka (keluarga dari suami adiknya Bagin Singarimbun) 
dengan meninggalkan keluarganya di rumah ladang Tambak Rahu (tempat 
jasadnya di makamkan kemudian hari) sambil membawa uang hasil usaha kede
 kopinya dan bantuan uang dari adiknya yang pada waktu itu sudah menjadi
 pedagang tembakau di sekitar daerah Tiganderket dan Batukarang.
Kede kopi yang ditinggalkan di Gurukinayan diteruskan oleh 
keluarganya Musim Ginting (Pa Sangkut) dan dibantu Lem Sitepu (Pa Nomin)
 dan diawasi oleh adik bungsunya Rekat Sembiring Gurukinayan (Pa 
Nimpan). Sedangkan istrinya yang ditinggal di kampung Gurukinayan 
berjualan sayur mayur dari hasil kebun mereka serta dibantu 
anak-anaknya.
Pada tahun tersebut juga Reti Sembiring Gurukinayan kembali membeli 
truk yang dipergunakan untuk mengangkut pasir dari Lau Dah (dekat 
Kabanjahe) yang kemudian dijual ke toko material (bangunan) di kota 
Kabanjahe maupun Berastagi dengan dibantu kerneknya Tabas Surbakti (Pa 
Bini) yang selama ini tinggal di kampung Gurukinayan. Mereka berdua 
tanpa kenal lelah mengangkut pasir siang malam dari Laudah untuk dijual 
kembali di kedua kota tersebut di atas. Sedangkan adiknya Rekat 
Sembiring Gurukinayan diberi tugas untuk mengawasi kedai kopi mereka di 
Gurukinayan.
Kemudian pada tahun 1949 atau satu tahun kemudian keluarganya 
menyusul pindah ke Berastagi dan mengontrak rumah petak dengan dinding 
tepas (teratak) atap rumbia yang sangat sederhana di Gang Sinar, Jalan 
Udara Berastagi (lihat foto di bawah).
Pada waktu di rumah kontrakan tersebut lahir anaknya yang ke 7 
(tujuh) pada tanggal 16 Juni 1951 yang diberi nama Rophian Sembiring 
Gurukinayan. Kemudian pada awal tahun 1952 keluarga pindah dan 
mengontrak rumah petak yang berdinding papan atap seng  di belakang Toko
 Mas Namaken/ Toko Roti Samudra, Jl. Veteran Berastagi yang kondisinya 
lebih baik apabila dibandingkan dengan rumah kontrakan yang ada di Gang 
Sinar Berastagi. (lihat foto di bawah). Pada waktu mengontrak rumah 
tersebut lahir anaknya yang ke 8 (delapan) diberi nama Eriwan Sembiring 
Gurukinayan yang lahir pada tanggal  01 Oktober 1953.
Satu tahun setelah pindah bersama keluarganya di Berastagi, pada 
tahun 1950 Reti Sembiring Gurukinayan mengundurkan diri dari kerjasama 
dengan saudaranya Negeri Sembiring Gurukinayan karena ingin berusaha 
sendiri.
Pada tahun 1950 Tidak lama kemudian, dari hasil penjualan bus/ truk 
tersebut ditambah dengan hasil usaha kede kopinya di  kampung  
Gurukinayan  dan   bantuan uang dari adiknya Bantamuli br Sembiring 
Gurukinayan dan juga mertuanya  Sepit Sitepu, serta bantuan tokehnya 
Bapak   Pho Siong Liem pemilik Bank “South Asia Bank” di Jl. Kesawan 
Medan, dibelilah mobil  chasiss Chevrolet tahun 1950 untuk dijadikan
 menjadi bus peti sabun (disebut demikian karena bantuk bodynya persis 
seperti kotak sabun).
Beliau mempunyai hubungan dengan Bapak Pho Siong Liem tidak terlepas 
dari bantuan atau rekomendasi dari tokehnya pada waktu  beliau  masih 
membuka kedai kopi di Gurukinayan yaitu Bapak Mohap yang
 mempunyai toko grosir kelontong Toko  MO HAP (ada spaci antar huruf mo 
dan hap) di depan Pasar Berastagi. Bus peti sabun yang baru dibeli 
masuk perusahaan armada bus  DIENST (Negara Sumatera Timur) yang 
dioperasikan disamping membawa penumpang juga membawa komoditi pertanian
 disekitar daerah tersebut untuk dibawa ke Berastagi, Kabanjahe dan 
sekitarnya, dan selanjutnya dari sana membawa barang-barang kelontong 
kembali kesekitar daerah Gurukinayan/ Tiga-nderket.
7. TAHUN 1950
Akan tetapi pencantuman nama armada tersebut di atas hanya berlangsung beberapa bulan, karena pada tahun 1950 kebetulan telah berdiri “Usaha Nasional PMG “ ( Perusahaan Motor Gunung ) yang dimiliki Kompeni Bangun (biasanya disebut Tokeh PMG) yang berasal dari Batukarang. Dimana logo PMG meniru logo Chevrolet yang pada waktu itu kenderaan khususnya untuk kenderaan besar yang dipergunakan untuk angkutan penumpang maupun barang menggunakan mobil buatan Amerika Serikat tersebut.
Akan tetapi pencantuman nama armada tersebut di atas hanya berlangsung beberapa bulan, karena pada tahun 1950 kebetulan telah berdiri “Usaha Nasional PMG “ ( Perusahaan Motor Gunung ) yang dimiliki Kompeni Bangun (biasanya disebut Tokeh PMG) yang berasal dari Batukarang. Dimana logo PMG meniru logo Chevrolet yang pada waktu itu kenderaan khususnya untuk kenderaan besar yang dipergunakan untuk angkutan penumpang maupun barang menggunakan mobil buatan Amerika Serikat tersebut.
Beliau memilih bergabung dengan PMG, 
walaupun pada saat itu sudah ada perusahaan otobus Maspersada milik Raja
 Oekum Sembiring Meliala. Bus tahun 1950 tersebut masuk armada PO. PMG 
(Perusahaan Motor Gunung) BK. 44980 nomor lambung 36 dengan trayek 
“Gurukinayan Pekan-Pekan”, dikemudikan   oleh   Tabas   Subakti (Pa 
Bini)  menjalani trayek  pekan-pekan  dari kampung Gurukinayan ke 
Berastagi/ Kabanjahe dan  Tiganderket pada waktu hari pekan (pasar) 
yaitu hari Rabu dan Sabtu ke Berastagi, hari Kamis ke Tiganderket dan 
hari lainnya ke Kabanjahe.
Satu tahun kemudian, pada tahun 1951 dibeli lagi mobil baru Chevrolet chasiss dan dibuat karoseri peti sabun dan masuk armada PMG dengan nomor lambung 121 dengan BK. 17469 yang menjalani trayek “Berastepu Pekan Pekan”, sama seperti PMG nomor 36 dimana pool bus ini ada di Berastepu, pengemudinya dipercayakan kepada adik bungsunya Rekat Sembiring Gurukinayan (Pa Nimpan).
Setiap hari Sabtu yang merupakan hari pekan besar di Berastagi atau sekali dalam seminggu, Rekat Sembiring Gurukinayan dan Tabas Surbakti yang dipercayakan untuk mengurus bus yang pollnya di Berastepu maupun Gurukinayan datang secara rutin untuk menyetorkan hasil operasional kedua bus tersebut yang dipercayakan kepada kedua beliau tersebut ke Berastagi (Reti Sembiring Gurukinayan).
Karena pada waktu itu frequensi penggantian uang baru rupiah tidak seperti sekarang oleh pemerintah maka uang setoran yang diserahkan sebagian besar lusuh atau lecek dan sebagian ada yang koyak sehingga harus dilem maupun disrika. Hal ini dilakukan karena pihak bank di Medan tidak mau menerima uang setoran yang tidak rapi/ lusuh maupun koyak.
Satu tahun kemudian, pada tahun 1951 dibeli lagi mobil baru Chevrolet chasiss dan dibuat karoseri peti sabun dan masuk armada PMG dengan nomor lambung 121 dengan BK. 17469 yang menjalani trayek “Berastepu Pekan Pekan”, sama seperti PMG nomor 36 dimana pool bus ini ada di Berastepu, pengemudinya dipercayakan kepada adik bungsunya Rekat Sembiring Gurukinayan (Pa Nimpan).
Setiap hari Sabtu yang merupakan hari pekan besar di Berastagi atau sekali dalam seminggu, Rekat Sembiring Gurukinayan dan Tabas Surbakti yang dipercayakan untuk mengurus bus yang pollnya di Berastepu maupun Gurukinayan datang secara rutin untuk menyetorkan hasil operasional kedua bus tersebut yang dipercayakan kepada kedua beliau tersebut ke Berastagi (Reti Sembiring Gurukinayan).
Karena pada waktu itu frequensi penggantian uang baru rupiah tidak seperti sekarang oleh pemerintah maka uang setoran yang diserahkan sebagian besar lusuh atau lecek dan sebagian ada yang koyak sehingga harus dilem maupun disrika. Hal ini dilakukan karena pihak bank di Medan tidak mau menerima uang setoran yang tidak rapi/ lusuh maupun koyak.
| Foto Eriwan Sembiring Gurukinayan berumur 2 (dua) tahun pada tahun 1955, didepan rumah Reti Sembiring Gurukinayan di jalan Veteran Gang Usaha Tani Berastagi. | 
Hampir tiga tahun setelah mengontrak rumah 
di belakang  Toko Roti Samudra/ Toko Mas Namaken, Reti Sembiring 
Gurukinayan dan keluarganya pindah ke rumah lama yang baru dibelinya di 
Gang Usaha Tani, Jl. Veteran Berastagi pada tahun 1955, dimana pada 
waktu menempati rumah tersebut lahir anaknya yang ke 9 (sembilan) pada 
tanggal 29 Juni 1956 di Kabanjahe dan diberi nama Resmond   Jaya 
Sembiring Gurukinayan.
Selanjutnya pada tahun 1956 Reti Sembiring Gurukinayan bekerjasama (patungan) dengan saudaranya satu nenek Mayan Sembiring Gurukinayan (Pa Ngonggar) membeli bus bekas Chevrolet tahun 1956 yaitu PMG nomor 67 dengan trayek Gurukinayan – Medan PP . Akan tetapi kerja sama tersebut hanya berjalan beberapa tahun dan selanjutnya Reti Sembiring Gurukinayan mengundurkan diri.
Selanjutnya pada tahun 1956 Reti Sembiring Gurukinayan bekerjasama (patungan) dengan saudaranya satu nenek Mayan Sembiring Gurukinayan (Pa Ngonggar) membeli bus bekas Chevrolet tahun 1956 yaitu PMG nomor 67 dengan trayek Gurukinayan – Medan PP . Akan tetapi kerja sama tersebut hanya berjalan beberapa tahun dan selanjutnya Reti Sembiring Gurukinayan mengundurkan diri.
| Foto Bus PMG (Perusahaan Motor Gunung) nomor lambung 150 tahun 1957 merek GMC buatan Amerika Serikat BK. 15076 yang menjalani trayek Kabanjahe – Medan, cikal bakal PO. Sinabung Jaya dikemuidan hari. | 
Kemudian atas bantuan Bapak Pho Siong Liem 
pada tahun 1956, beliau kembali mendapat kepercayaan untuk mendapat
bantuan kredit dengan bunga rendah sehingga dapat membeli lagi bus baru
 Chevrolet PMG nomor 129 dengan BK. 30260 dengan rute Gurukinayan – 
Medan PP dan pengelolaannya dipercayakan lagi kepada Tabas Surbakti,
 sehingga ada 2 (dua) unit bus yang menjadi tanggung jawabnya untuk pool
 di Gurukinayan.
Pada tahun yang sama dibeli lagi bus baru Chevrolet tahun 1956 masuk PMG dengan nomor lambung 139, BK. 45197 dengan rute Kabanjahe – Medan PP, akan tetapi poolnya di Berastagi dan dikelola sendiri oleh Reti Sembiring Gurukinayan.
Selanjutnya, Bapak Pho Siong Liem yang sudah sangat percaya kepada Reti Sembiring Gurukinayan, kembali memberikan bantuan kredit untuk pembelian bus baru 2 (dua) unit pada tahun Chevrolet tahun 1957 dengan nomor lambung PMG 151 dan bus GMC tahun 1957 PMG nomor 150 BK. 15076 (lihat foto di bawah) menjalani trayek Kabanjahe – Medan PP.
Pada tahun yang sama dibeli lagi bus baru Chevrolet tahun 1956 masuk PMG dengan nomor lambung 139, BK. 45197 dengan rute Kabanjahe – Medan PP, akan tetapi poolnya di Berastagi dan dikelola sendiri oleh Reti Sembiring Gurukinayan.
Selanjutnya, Bapak Pho Siong Liem yang sudah sangat percaya kepada Reti Sembiring Gurukinayan, kembali memberikan bantuan kredit untuk pembelian bus baru 2 (dua) unit pada tahun Chevrolet tahun 1957 dengan nomor lambung PMG 151 dan bus GMC tahun 1957 PMG nomor 150 BK. 15076 (lihat foto di bawah) menjalani trayek Kabanjahe – Medan PP.
8.      TAHUN 1960
Akan tetapi pada tahun 1960 bus keluaran GMC tahun 1957 karena dianggap tidak sekuat / sebandel merk Chevrolet maka bus ini kemudian dijual dan diganti dengan merk Chevrolet keluaran tahun 1960 (bekas) BK. 34327 dengan tetap memakai nomor lambung 150 dan awal tahun 1961 bus Chevrolet tahun 1957 nomor 151 kembali dijual dan diganti dengan bus Chevrolet tahun 1961 BK. 41923 tetap nomor lambung 151.
Akan tetapi pada tahun 1960 bus keluaran GMC tahun 1957 karena dianggap tidak sekuat / sebandel merk Chevrolet maka bus ini kemudian dijual dan diganti dengan merk Chevrolet keluaran tahun 1960 (bekas) BK. 34327 dengan tetap memakai nomor lambung 150 dan awal tahun 1961 bus Chevrolet tahun 1957 nomor 151 kembali dijual dan diganti dengan bus Chevrolet tahun 1961 BK. 41923 tetap nomor lambung 151.
| Foto Bus PMG (Perusahaan Motor Gunung) nomor lambung 150 tahun 1957 merek GMC buatan Amerika Serikat BK. 15076 yang menjalani trayek Kabanjahe – Medan, cikal bakal PO. Sinabung Jaya dikemudian hari. | 
Pada awal tahun 1961 keluar peraturan 
pemerintah tentang larangan perusahaan untuk memonopoli jasa angkutan 
penumpang termasuk dalam jasa layanan bus penumpang. Pada saat itu karena perusahaan otobus Usaha Nasional PMG (Perusahaan Motor Gunung) 
itu telah memiliki anggota maupun armada  ratusan unit, maka dengan sendirinya harus dipecah menjadi beberapa perusahaan jasa angkutan 
bus.
Dengan demikian tidak akan terjadi monopoli dalam pelayanan jasa angkutan di Propinsi Sumatera Utara khususnya di Kabupaten Karo dan sekitarnya. Sedangkan pada waktu itu, disamping perusahaan otobus “Usaha Nasional PMG” juga sudah ada perusahaan otobus seperti PT. Maspersada yang sebagian besar armadanya menjalani trayek dari Kotacane (Aceh Tenggara) dan Sidikalang (Kabupaten Karo) dan PO. Permosi (Kabanjahe – Pematang Siantar) tidak dibubarkan karena pada waktu itu jumlah armadanya tidak sebesar jumlah armada perusahaan otobus “Usaha Nasional PMG” yang sudah hamper mencapai 200 an armada. Sebagai ilustrasi pada waktu itu nomor lambung yang diberikan pada otobusnya sesuai dengan jumlah armada yang sudah ada, dimana sebagai salah satu contoh pemilik perusahaan otobus PMG Kompeni Bangun telah memiliki armada bus dengan nomor lambung 180 sesuai dengan jumlah armada pada waktu itu. Tidak seperti dewasa ini nomor lambung yang dicantumkan pada armadanya pada perusahaan otobus tidak menunjukkan jumlah armada yang sebenarnya.
Dengan demikian tidak akan terjadi monopoli dalam pelayanan jasa angkutan di Propinsi Sumatera Utara khususnya di Kabupaten Karo dan sekitarnya. Sedangkan pada waktu itu, disamping perusahaan otobus “Usaha Nasional PMG” juga sudah ada perusahaan otobus seperti PT. Maspersada yang sebagian besar armadanya menjalani trayek dari Kotacane (Aceh Tenggara) dan Sidikalang (Kabupaten Karo) dan PO. Permosi (Kabanjahe – Pematang Siantar) tidak dibubarkan karena pada waktu itu jumlah armadanya tidak sebesar jumlah armada perusahaan otobus “Usaha Nasional PMG” yang sudah hamper mencapai 200 an armada. Sebagai ilustrasi pada waktu itu nomor lambung yang diberikan pada otobusnya sesuai dengan jumlah armada yang sudah ada, dimana sebagai salah satu contoh pemilik perusahaan otobus PMG Kompeni Bangun telah memiliki armada bus dengan nomor lambung 180 sesuai dengan jumlah armada pada waktu itu. Tidak seperti dewasa ini nomor lambung yang dicantumkan pada armadanya pada perusahaan otobus tidak menunjukkan jumlah armada yang sebenarnya.
Pemerintah melalui instansi terkait pada 
waktu itu memberi kesempatan kepada rakyat Indonesia secara perorangan 
yang telah memiliki beberapa unit angkutan kendaraan bermotor untuk 
mendirikan usaha angkutan perorangan dalam bidang jasa angkutan umum. Dalam waktu yang singkat, didaerah tersebut kemudian bermunculan puluhan
 perusahaan otobus baru perorangan karena kemudahan yang diberikan
 pemerintah pada waktu itu untuk mendapatkan ijin mendirikan perusahaan 
otobus perorangan.
Peluang ini jelas dimanfaatkan oleh Reti Sembiring Gurukinayan, yang pada waktu itu telah memiliki 6 (enam) unit armada yang memenuhi syarat untuk mendirikan perusahaan otobus perorangan, yang menjadi masalah pada waktu itu apa nama merk perusahaan otobus yang akan didirikan Reti Sembiring Gurukinayan (Pa Kueteh), sedangkan beliau harus dengan segera mengajukan permohonan kepada instansi terkait agar segera dapat diproses dan diberi ijin trayeknya.
Peluang ini jelas dimanfaatkan oleh Reti Sembiring Gurukinayan, yang pada waktu itu telah memiliki 6 (enam) unit armada yang memenuhi syarat untuk mendirikan perusahaan otobus perorangan, yang menjadi masalah pada waktu itu apa nama merk perusahaan otobus yang akan didirikan Reti Sembiring Gurukinayan (Pa Kueteh), sedangkan beliau harus dengan segera mengajukan permohonan kepada instansi terkait agar segera dapat diproses dan diberi ijin trayeknya.
| Foto Alm.Drs.  Kueteh Sembiring Gurukinayan, Penggagas  Merk “ Sinabung Jaya” Anak Sulung Alm. Reti Sembiring Gurukinayan & Almh. Releng br Sitepu | 
Dalam suasana kebingungan tersebut, beliau   meminta   pendapat   anak  
 sulungnya  Kueteh   Sembiring untuk membantunya dalam menetukan nama 
perusahaannya. Apalagi beliau tidak pernah mempunyai cita-cita pada 
suatu saat akan memiliki nama perusahaaan sendiri dan dikelola sendiri 
dan diawasi sendiri. Karena pada waktu itu sudah memiliki bus sendiri 
dan dapat bergabung dengan PO. PMG sudah cukup baginya, karena memang 
hanya demikianlah yang dicita-citakan selama ini, akan tetapi Allah Bapa
 di surga memberi lebih dari pada yang dicita-citakannya selama ini.
Dalam menentukan nama perusahaan otobus 
baru tersebut terdapat usulan dari Rustam Efendi Sitepu cucu Sepit 
Sitepu yang baru pindah dari Jakarta ke Medan, mengusulkan agar nama 
perusahaan tersebut diberi nama “Primo” karena memiliki nilai histories 
yang menurut dia cocok untuk diabadikan. Hal ini menurutnya tidak 
terlepas dari sejarah perjuangan beliau dalam mewujudkan cita-citanya, 
dimana bus yang sekarang dimiliki Reti Sembiring Gurukinayan sebagian 
besar berasal dari hasil penjualan jeruk di Gurukinayan maupun ladang 
Lembub milik Sepit Sitepu di Berastepu yang tidak lain adalah 
mertua dari Reti Sembiring Gurukinayan. Akan tetapi anak tertuanya 
Kueteh Sembiring Gurukinayan mempunyai pandangan lain dengan mengusulkan
 agar diberi nama “Sinabung” dengan pertimbangan pada waktu 
pertama kali ayahnya memiliki truk sudah diberi nama Sinabun (bukan 
Sinabung) dengan logo buah “Nenas” di lambung bagian kanan dan kiri, 
disamping itu Reti Sembiring Gurukinayan dilahirkan dan  dibesarkan di 
kampung Gurukinayan, yang letaknya persis di bawah gunung Sinabung. Agar
 nama tersebut bersifat komersil maka perlu disempurnakan lebih lanjut  
sehingga lebih mudah diingat oleh masyarakat utamanya pengguna jasa 
anggutan penumpang tersebut dikemudian hari.
Terdapat dua alternatif pada waktu itu untuk menentukan nama perusahaan yaitu “Sinabung Raya” atau “Sinabung Jaya”. Kata “Raya” atau Great merupakan kata sifat yang menerangkan arti besar seperti hari raya, jalan raya, Jakarta Raya atau merayakan yang berarti memperingati pristiwa penting. Sedangkan kalau kata “Jaya” atau Victorious kata sifat yang berarti menang atau selalu bernasib baik, hebat, untung, sukses, selalu unggul atau selalu berhasil atas segala yang direncanakan dan dikerjakan (lihat kamus Bahasa Indonesia). Oleh sebab itu kata Jaya ini dapat diperluas pengertiannya adalah kemampuan yang dinamis yang dapat membaca perubahan yang ada disekelililingnya sehingga jauh hari dapat mengantisipasi perubahan tersebut sehingga eksistensinya dapat dipertahankan dan dikembangkan dikemudian hari.
Setelah menerima masukan dari beberapa keluarga termasuk Budi Singarimbun dan atas usulan Kueteh Sembiring Gurukinayan sebagai anak tertuanya akhirnya Reti Sembiring Gurukinayan memutuskan mendirikan perusahaan otobus perorangan bernama “PO. Sinabung Jaya” pada tanggal 01 April 1961 yang beralamat di Gang Usaha Tani, Jl. Veteran, Berastagi, Kabupaten Karo di Sumatera Utara, tempat tinggal Reti Sembiring Gurukinayan beserta keluarganya.
Untuk mengurus izin usaha termasuk ijin trayek PO. Sinabung Jaya kepada instansi terkait, Kueteh Sembiring Gurukinayan menugaskan Budi Singarimbun anak tunggal dari saudara perempuan ayahnya bernama ibu Bantamuli Sembiring Gurukinayan yang dipersunting oleh Bagin Singarimbun dari Temburun.
Pertama kali PO. Sinabung Jaya mendapat ijin trayek dari pemerintah sebagai berikut :
Terdapat dua alternatif pada waktu itu untuk menentukan nama perusahaan yaitu “Sinabung Raya” atau “Sinabung Jaya”. Kata “Raya” atau Great merupakan kata sifat yang menerangkan arti besar seperti hari raya, jalan raya, Jakarta Raya atau merayakan yang berarti memperingati pristiwa penting. Sedangkan kalau kata “Jaya” atau Victorious kata sifat yang berarti menang atau selalu bernasib baik, hebat, untung, sukses, selalu unggul atau selalu berhasil atas segala yang direncanakan dan dikerjakan (lihat kamus Bahasa Indonesia). Oleh sebab itu kata Jaya ini dapat diperluas pengertiannya adalah kemampuan yang dinamis yang dapat membaca perubahan yang ada disekelililingnya sehingga jauh hari dapat mengantisipasi perubahan tersebut sehingga eksistensinya dapat dipertahankan dan dikembangkan dikemudian hari.
Setelah menerima masukan dari beberapa keluarga termasuk Budi Singarimbun dan atas usulan Kueteh Sembiring Gurukinayan sebagai anak tertuanya akhirnya Reti Sembiring Gurukinayan memutuskan mendirikan perusahaan otobus perorangan bernama “PO. Sinabung Jaya” pada tanggal 01 April 1961 yang beralamat di Gang Usaha Tani, Jl. Veteran, Berastagi, Kabupaten Karo di Sumatera Utara, tempat tinggal Reti Sembiring Gurukinayan beserta keluarganya.
Untuk mengurus izin usaha termasuk ijin trayek PO. Sinabung Jaya kepada instansi terkait, Kueteh Sembiring Gurukinayan menugaskan Budi Singarimbun anak tunggal dari saudara perempuan ayahnya bernama ibu Bantamuli Sembiring Gurukinayan yang dipersunting oleh Bagin Singarimbun dari Temburun.
Pertama kali PO. Sinabung Jaya mendapat ijin trayek dari pemerintah sebagai berikut :
- Gurukinayan – Kabanjahe/ Berastagi Pekan-Pekan.
- Berastepu – Kabanjahe/ Berastagi Pekan-Pekan.
- Gurukinayan – Medan PP (Pulang Pergi).
- Berastepu – Medan PP
- Kabanjahe – Medan PP
Seperti sudah dijelaskan diatas, pemberian 
nama perusahaan otobus PO. Sinabung Jaya pada armada yang dimiliki Reti 
Sembiring Gurukinayan mempunyai makna historis yang melekat bagi 
dirinya. Dimana nama Sinabung mempunyai arti yang cukup besar dalam 
perjalanan hidupnya dan pengembangan dirinya mulai sebagai kernet di 
jaman Belanda tahun 1930-an kemudian menjadi supir pada jaman yang sama 
dan akhirnya memiliki bus sebanyak 6 (enam) unit. Pertama beliau
dilahirkan dan dibesarkan di kampung Gurukinayan yang lokasinya persis 
di bawah gunung Sinabung, dan kedua kampung tersebut menjadi salah satu 
tujuan wisata bagi penggemar olah raga mendaki gunung (hiking) 
disamping Lau Kawar sebagai pintu masuk dan keluar bagi orang
 pendaki gunung Sinabung maupun sekedar untuk rekreasi. Ketiga nama 
gunung Sinabung cukup dikenal tidak hanya di daerah Kabupaten Karo atau 
pulau Sumatera tapi juga manca negara, dimana karena gunung Sinabung 
dapat dilihat sangat jelas dari puncak Gundaling Berastagi yang  sejak jaman penjajahan Belanda sudah menjadi salah satu tujuan 
wisata tidak hanya domestik tapi juga manca Negara sehingga nama 
tersebut tidak asing bagi wisatawan domestic maupun mancanegara. 
Keempat, pertama kali beliau memiliki mobil truk telah diberi nama 
Sinabun (bukan Sinabung) dengan pencantuman logo Nenas di bagian lambung
 kanan dan kiri. Mengenai pemberian logo “ Nenas “ agak membingungkan 
karena kampung Gurukinayan hasil utama kebun rakyat pada waktu itu 
utamanya adalah jeruk siam, dan bukan nenas. Tapi kemungkinan karena 
selama bekerja sebagai kernek maupun supir  pada waktu itu beliau sering
 ke daerah Simalungun (Pematang Siantar) dimana sepanjang jalan dari 
Kabanjahe ke Pematang Siantar banyak terlihat perkebunan rakyat yang 
menanam “nenas” sehingga sewaktu beliau mempunyai armada sendiri ingin 
mencantumkankannya di lambung busnya. Kelima, gunung Sinabung adalah 
salah satu gunung yang  bentuknya  sangat  indah  dan  mirip  dengan  
gunung  Fujiyama di Jepang, yang sampai sekarang tetap setia memberikan 
manfaat yang cukup besar kepada daerah sekelilingnya sehingga tanah  
disekeliling  gunung tersebut sangat subur dan dapat ditanami dengan 
aneka tanaman untuk daerah pegunungan, sehingga beliau ingin 
mempromosikan nama gunung tersebut melalui perusahaan otobus yang dengan
 setia akan tetap menjalani trayek dari disekitar gunung tersebut 
kedaerah lain diluar Kabupate Karo, paling tidak dengan memakai nama 
gunung tersebut masyarakat pengguna jasa angkutan tersebut langsung 
mengetahui bahwa arah perjalanan bus tersebut pasti arahnya ke Kabanjahe
 sebagai ibu kota Kabupaten Karo.
Melihat peran gunung Sinabung yang cukup besar dalam memakmurkan rakyat disekitarnya dan tidak hanya pada dirinya sendiri maka terispirasi baginya dengan usulan dari anak sulungnya Kueteh Sembiring Gurukinayan untuk mendirikan dan menjalankan usaha angkutan dengan nama / merk dagang PO. Sinabung Jaya yang berdomisili di Gang Usaha Tani, Jalan Veteran Berastagi sekaligus tempat tinggalnya dengan istri dan ke sembilan anaknya, dengan harapan perusahaan tersebut akan jaya dan dapat dikembangkan dan dilanjutkan para ahli warisnya (istri dan kesembilan anaknya) dikemudian hari, seperti apa yang dicita-citakan selama ini sewaktu beliau masih menjadi kernek bus.
Mengingat pada waktu itu tahun 1961 banyak bermunculan Perusahaan Otobus di pulau Sumatera khususnya Sumatera Utara dengan beraneka macam cat dan logo yang ditonjolkan pada lambung busnya, maka tidak ketinggalan perusahaan otobus yang ada di daerah Kabupaten Karo. Untuk logo perusahaan otobus PO. Sinabung Jaya ditetapkan “gambar gunung Sinabung” sesuai dengan nama perusahannya yang posisinya dilihat dari daerah kampung Beganding (lihat foto gunung tersebut pada halaman X didepan), seberang gunung tersebut atau kira-kira 5 (lima) km sebelum mencapai kampung Gurukinayan. Kebetulan pada waktu itu keluarga memiliki foto gunung Sinabung yang telah diberi bingkai yang telah cukup lama dipajang diruang tamu rumahnya, dan logo gunung Sinabung ditampilkan dibagian kanan dan kiri lambung bus bagian tengah antara kata PO. Sinabung dengan kata Jaya. Sedangkan untuk warna cat body lebih dominan berwarna hijau daun sesuai dengan alam pegunungan Kabupaten Karo yang serba hijau karena tanahnya yang sangat subur dibandingkan dengan daerah sekitarnya, dan sebagian bagian depan/ kap busnya diberi warna biru laut yang menggambarkan udara yang sejuk, segar dan bersih. Bagian samping body kanan dan kiri diberi garis/ list dari bagian depan (dibawah jendela terdepan) sampai kebagian jendela paling belakang selebar 10 cm berwarna kuning, yang berarti pengemudinya harus selalu waspada dan hati-hati dalam menjalankan bus sehingga tidak akan mengancam keselamatan penumpangnya. Kemudian list warna kuning tersebut dijepit list berwarna merah pada bagian atas dan berwarna putih pada bagian bawah sama dengan bendera Negara kita Merah Putih, gagah dan berani, sedangkan untuk merk dan nomor lambung berwarna putih dan list merah.
Sebagai ilustrasi pada waktu itu beberapa perusahaan otobus di Kabupaten Tanah Karo adalah sebagai berikut :
Melihat peran gunung Sinabung yang cukup besar dalam memakmurkan rakyat disekitarnya dan tidak hanya pada dirinya sendiri maka terispirasi baginya dengan usulan dari anak sulungnya Kueteh Sembiring Gurukinayan untuk mendirikan dan menjalankan usaha angkutan dengan nama / merk dagang PO. Sinabung Jaya yang berdomisili di Gang Usaha Tani, Jalan Veteran Berastagi sekaligus tempat tinggalnya dengan istri dan ke sembilan anaknya, dengan harapan perusahaan tersebut akan jaya dan dapat dikembangkan dan dilanjutkan para ahli warisnya (istri dan kesembilan anaknya) dikemudian hari, seperti apa yang dicita-citakan selama ini sewaktu beliau masih menjadi kernek bus.
Mengingat pada waktu itu tahun 1961 banyak bermunculan Perusahaan Otobus di pulau Sumatera khususnya Sumatera Utara dengan beraneka macam cat dan logo yang ditonjolkan pada lambung busnya, maka tidak ketinggalan perusahaan otobus yang ada di daerah Kabupaten Karo. Untuk logo perusahaan otobus PO. Sinabung Jaya ditetapkan “gambar gunung Sinabung” sesuai dengan nama perusahannya yang posisinya dilihat dari daerah kampung Beganding (lihat foto gunung tersebut pada halaman X didepan), seberang gunung tersebut atau kira-kira 5 (lima) km sebelum mencapai kampung Gurukinayan. Kebetulan pada waktu itu keluarga memiliki foto gunung Sinabung yang telah diberi bingkai yang telah cukup lama dipajang diruang tamu rumahnya, dan logo gunung Sinabung ditampilkan dibagian kanan dan kiri lambung bus bagian tengah antara kata PO. Sinabung dengan kata Jaya. Sedangkan untuk warna cat body lebih dominan berwarna hijau daun sesuai dengan alam pegunungan Kabupaten Karo yang serba hijau karena tanahnya yang sangat subur dibandingkan dengan daerah sekitarnya, dan sebagian bagian depan/ kap busnya diberi warna biru laut yang menggambarkan udara yang sejuk, segar dan bersih. Bagian samping body kanan dan kiri diberi garis/ list dari bagian depan (dibawah jendela terdepan) sampai kebagian jendela paling belakang selebar 10 cm berwarna kuning, yang berarti pengemudinya harus selalu waspada dan hati-hati dalam menjalankan bus sehingga tidak akan mengancam keselamatan penumpangnya. Kemudian list warna kuning tersebut dijepit list berwarna merah pada bagian atas dan berwarna putih pada bagian bawah sama dengan bendera Negara kita Merah Putih, gagah dan berani, sedangkan untuk merk dan nomor lambung berwarna putih dan list merah.
Sebagai ilustrasi pada waktu itu beberapa perusahaan otobus di Kabupaten Tanah Karo adalah sebagai berikut :
| 
No. | 
Nama Perusahaan | 
L o g o | 
Pemilik | 
| 
1. | 
PO. Burung Nuri | 
Burung   Nuri | 
Peranging   Angin (Sukatendel) | 
| 
2. | 
PO. Djendaras | 
Motor   Bukit (Bukit) | |
| 
3. | 
PO. Liberty | 
Patung   Liberty USA | 
Kancam   Tarigan (Mbetong) | 
| 
4. | 
PO. Pinem | 
- | 
Nomen   Pinem (Juhar) | 
| 
5. | 
PO. Saudara | 
Salam   Tangan | 
Raja   Oekum S. Meliala (Tanjung) | 
| 
6. | 
PO. Sebayang | 
- | 
Caboh   Sebayang (Tigabinanga) | 
| 
7. | 
PO. Sigantang Sira | 
- | 
Merhat   Tarigan Girsang (Kacaribu) | 
| 
8. | 
PO. Selamat Jalan | 
Buah   Jeruk | 
Ulbah   Ginting (Kutabuluh) | 
| 
9. | 
PO. Selamat Kerja | 
Jabatan   Tangan | 
Nasuni   Karo-Karo Kacaribu (Kuta Buluh) | 
| 
10. | 
PO. Selian | 
- | 
Jamulia   Sinulingga (Tigabinanga) | 
| 
11. | 
PO. Sinabung Jaya | 
Gunung   Sinabung | 
Reti Sembiring Gurukinayan (Gurukinayan) | 
| 
12. | 
PO. Sukamulia | ||
| 
13. | 
PO. Sutera | 
Pisang   Sesisir | 
Kumpul   Perangin-Angin (Sukatendel) | 
| 
14. | 
PO. Swief | 
Burung   Terbang | 
Pa   Wilem Tarigan (Batu Karang) | 
| 
15. | 
PO. Tani | 
Buah   Nenas | 
Koran   Karo-Karo (Kutabuluh) | 
Sebagai bahan informasi,  PO. Selamat Jalan
 milik Ulbah Ginting dari Kutabuluh yang memakai logo “Buah Jeruk”, pada
 waktu masih bergabung dalam perusahaan otobus PMG memiliki salah satu 
armada PMG dengan nomor lambung 180 dengan trayek Kutabuluh – Medan PP.
Sedangkan khusus untuk angkutan pedesaan/ antar kota dalam Kabupaten Karo adalah PO. Djendaras dengan trayek Tigapanah – Kabanjahe; PO. Sukamulia trayek Suka – Kabanjahe/ Pekan-Pekan. PO. Djendaras dengan trayek Bukit-Tigapanah-Kabanjahe, PO. Sigantang Sira melayani trayek Berastagi – Kabanjahe dan lain sebagainya. Khusus untuk merk Sigantang Sira pada waktu itu menurut yang empunya cerita karena rutenya (pendek / jarak dekat) hanya antara kota Berastagi ke kota Kabanjahe PP yang berjarak 11 (sebelas) Km , ongkosnya pada waktu itu mungkin sebanding dengan harga segantang garam.
Sedangkan khusus untuk angkutan pedesaan/ antar kota dalam Kabupaten Karo adalah PO. Djendaras dengan trayek Tigapanah – Kabanjahe; PO. Sukamulia trayek Suka – Kabanjahe/ Pekan-Pekan. PO. Djendaras dengan trayek Bukit-Tigapanah-Kabanjahe, PO. Sigantang Sira melayani trayek Berastagi – Kabanjahe dan lain sebagainya. Khusus untuk merk Sigantang Sira pada waktu itu menurut yang empunya cerita karena rutenya (pendek / jarak dekat) hanya antara kota Berastagi ke kota Kabanjahe PP yang berjarak 11 (sebelas) Km , ongkosnya pada waktu itu mungkin sebanding dengan harga segantang garam.
Disamping itu, walaupun perusahaan “Usaha 
Nasional PMG (Perusahaan Motor Gunung)” yang selama ini berdomisili di 
Kabanjahe Kabupaten Karo dibubarkan oleh pemerintah, usaha tersebut 
masih dilanjutkan oleh pengusaha yang berdomisili di Kabupaten Deli 
Serdang (Pancurbatu) dengan mendirikan perusahaan otobus “PMG Deli 
Hulu”  yang trayeknya antara lain Medan – Pancurbatu PP.
Pada awal waktu PO. Sinabung Jaya mulai didirikan pada tanggal 1 April 1961, jumlah armada yang dimiliki sebanyak 6 (enam) unit bus yaitu : bus PMG nomor 121 menjadi PO. Sinabung Jaya no. 2, PMG 36 menjadi Sinabung Jaya no. 4, PMG 129 menjadi Sinabung Jaya no.1, PMG 139 menjadi Sinabung Jaya 3, PMG 150 menjadi Sinabung Jaya 5 dan PMG 151 menjadi Sinabung Jaya no. 6, untuk jelasnya dapat dilihat dalam Tabel 1 dibawah.
Keluarga mengakui bahwa karena bantuan Bapak Pho Siong Liem serta berkat dari Allah Bapa lah maka beliau dapat menambah jumlah armadanya yang pada awalnya sudah ada sebanyak 6 (enam) unit.
Hubungan baik secara bisnis maupun secara kekeluargaan semasa hidupnya tetap dibina dan dipertahankan oleh Reti Sembiring Gurukinayan dengan Bapak Pho Siong Liem. Kepercayaan untuk mendapatkan bantuan kredit dalam pengadaan bus oleh Bapak Pho Siong Liem tetap dijaga dan dipelihara tidak pernah disalah gunakan atau dipergunakan untuk keperluan lainnya.
Pada awal waktu PO. Sinabung Jaya mulai didirikan pada tanggal 1 April 1961, jumlah armada yang dimiliki sebanyak 6 (enam) unit bus yaitu : bus PMG nomor 121 menjadi PO. Sinabung Jaya no. 2, PMG 36 menjadi Sinabung Jaya no. 4, PMG 129 menjadi Sinabung Jaya no.1, PMG 139 menjadi Sinabung Jaya 3, PMG 150 menjadi Sinabung Jaya 5 dan PMG 151 menjadi Sinabung Jaya no. 6, untuk jelasnya dapat dilihat dalam Tabel 1 dibawah.
Keluarga mengakui bahwa karena bantuan Bapak Pho Siong Liem serta berkat dari Allah Bapa lah maka beliau dapat menambah jumlah armadanya yang pada awalnya sudah ada sebanyak 6 (enam) unit.
Hubungan baik secara bisnis maupun secara kekeluargaan semasa hidupnya tetap dibina dan dipertahankan oleh Reti Sembiring Gurukinayan dengan Bapak Pho Siong Liem. Kepercayaan untuk mendapatkan bantuan kredit dalam pengadaan bus oleh Bapak Pho Siong Liem tetap dijaga dan dipelihara tidak pernah disalah gunakan atau dipergunakan untuk keperluan lainnya.
Tabel.  1
Jumlah Armada PO. SINABUNG JAYA
Tahun 1964
Jumlah Armada PO. SINABUNG JAYA
Tahun 1964
| 
No.   Lambung | 
Tahun   Pembuatan | 
No.Polisi | 
Trayek | 
Penanggung   Jawab | 
| 
1 | 
1961 | 
BK 41923 | 
Berastepu   – Medan PP | 
Rekat   S. Gurukinayan | 
| 
2 | 
1953 | 
BK 17469 | 
Berastepu   – Pekan Pekan | 
Rekat   S. Gurukinayan | 
| 
3 | 
1956 | 
BK 45197 | 
Gurukinayan-Pekan   Pekan | 
Tabas   Surbakti | 
| 
4 | 
1950 | 
BK 44980 | 
Gurukinayan-Pekan   Pekan | 
Tabas   Surbakti | 
| 
5 | 
1956 | 
BK 30260 | 
Kabanjahe – Medan PP | 
Reti   S. Gurukinayan | 
| 
6 | 
1960 | 
BK 34327 | 
Gurukinayan   – Medan PP | 
Tabas   Surbakti | 
Hubungan kekeluargaan dengan Bapak Pho 
Siong Liem dari tahun ke tahun tetap dapat dipertahankan dengan baik antara lain dengan cara setiap menjelang hari Raya Imlek, 
Reti Sembiring Gurukinayan tidak pernah lupa untuk membawa sayur 
mayur dan buah-buahan yang terbaik yang dihasilkan di 
Kabupaten Karo untuk di bawa ke rumah keluarga Bapak Pho Song Liem 
sebagai wujud ucapan terima kasih atas bantuan dan bimbingan beliau pada
 keluarga ini yang salah satunya hanya dapat dilakukan dengan cara 
tersebut.
Kalau di hitung nilai oleh-oleh yang dibawa dari Berastagi ke Medan tidak sebanding dengan oleh-oleh yang diberikan kembali oleh Bapak Pho Siong Liem kepada Reti Sembiring Gurukinayan. Dimana dari Medan diberikan oleh-oleh untuk keluarganya antara lain makanan dan minuman yang akan disajikan pada perayaan tersebut. Disamping itu karena hubungan keluarga yang begitu baik, Bapak Pho Siong Liem sering memberi hadiah kepada Reti Sembiring Gurukinayan apabila baru pulang dari luar negeri seperti sepatu buatan Inggris (England), rokok dalam kaleng 555, kemeja, pulpen dan lain sebagainya dari merk terkenal pada waktu itu. Tapi karena semasa hidupnya sederhana dan bersahaja, maka barang – barang tersebut hanya jadi pajangan termasuk sepatu hanya dipakai kalau sedang menemui beliau atau keinstansi pemerintah. Demikian juga rokok 555 dalam kaleng hanya dipajang dilemari berbulan-bulan dan tidak pernah dirokok, karena pada masa itu beliau sangat menyenangi rokok merk “Peace” yang bungkusnya berwarna kuning.
Kalau di hitung nilai oleh-oleh yang dibawa dari Berastagi ke Medan tidak sebanding dengan oleh-oleh yang diberikan kembali oleh Bapak Pho Siong Liem kepada Reti Sembiring Gurukinayan. Dimana dari Medan diberikan oleh-oleh untuk keluarganya antara lain makanan dan minuman yang akan disajikan pada perayaan tersebut. Disamping itu karena hubungan keluarga yang begitu baik, Bapak Pho Siong Liem sering memberi hadiah kepada Reti Sembiring Gurukinayan apabila baru pulang dari luar negeri seperti sepatu buatan Inggris (England), rokok dalam kaleng 555, kemeja, pulpen dan lain sebagainya dari merk terkenal pada waktu itu. Tapi karena semasa hidupnya sederhana dan bersahaja, maka barang – barang tersebut hanya jadi pajangan termasuk sepatu hanya dipakai kalau sedang menemui beliau atau keinstansi pemerintah. Demikian juga rokok 555 dalam kaleng hanya dipajang dilemari berbulan-bulan dan tidak pernah dirokok, karena pada masa itu beliau sangat menyenangi rokok merk “Peace” yang bungkusnya berwarna kuning.
Hanya pulpen merk “Parker” pemberian Bapak 
Pho Siong Liem yang dipakai untuk sehari-hari, dimana tanda tangan 
beliau sangat sederhana cukup menuliskan nama “Reti” pada semua dokumen 
yang berhubungan pengelolaan perusahaan otobus PO. Sinabung Jaya pada 
waktu itu, maklum beliau awalnya adalah buta aksara karena memang tidak 
pernah mengikuti pendidikan formi di bangku Sekolah Dasar, akan tetapi karena kemauan keras beliau untuk masa 
depannya dan keluarganya beliau secara otodidak akhirnya dapat 
membaca, menulis maupun benghitung sehingga tidak menemui kendala 
dalam mengelola perusahaanya PO. Sinabung Jaya.
Hadiah-hadiah lainya tetap beliau pelihara sepanjang hidupnya antara lain sepatu buatan England berwarna coklat muda jarang beliau pergunakan, demikian baju Arrow pemberian Bapak Pho Siong Liem yang umumnya berwarna putih (warna kesayangan beliau) baru dipakai kalau ada acara penting maupun keperluan menemui Bapak Pho Siong Liem. Sedangkan kesehariannya beliau cukup memakai baju sederhana kerah baju santai dan celana drill berwarna cream atau putih yang tidak pernah berubah sejak beliau masih sebagai kernek maupun supir di jaman Belanda maupun jaman Jepang. Gaya hidup tersebut dapat ditanamkan pada semua anak anaknya tidak terkecuali Arnem Sembiring Gurukinayan anak ke empatnya.
Hadiah-hadiah lainya tetap beliau pelihara sepanjang hidupnya antara lain sepatu buatan England berwarna coklat muda jarang beliau pergunakan, demikian baju Arrow pemberian Bapak Pho Siong Liem yang umumnya berwarna putih (warna kesayangan beliau) baru dipakai kalau ada acara penting maupun keperluan menemui Bapak Pho Siong Liem. Sedangkan kesehariannya beliau cukup memakai baju sederhana kerah baju santai dan celana drill berwarna cream atau putih yang tidak pernah berubah sejak beliau masih sebagai kernek maupun supir di jaman Belanda maupun jaman Jepang. Gaya hidup tersebut dapat ditanamkan pada semua anak anaknya tidak terkecuali Arnem Sembiring Gurukinayan anak ke empatnya.
Akan tetapi pada tanggal 21 September 1964,
 hampir 3 (tiga) tahun setelah beliau mendirikan PO. Sinabung Jaya pada 
usianya yang ke  60 tahun, hari Sabtu jam 06.15 pagi Reti Sembiring 
Gurukinayan dipanggil oleh Allah Bapa di Sorga di rumahnya di Gang Usaha
 Tani, jl. Veteran Brastagi tempat tinggalnya bersama keluarga yang 
sekaligus sebagai kantor perusahaan otobusnya PO. Sinabung Jaya. Pada 
siang itu juga Bapak Pho Siong Liem secara khusus datang melayat dari 
Medan ke rumah duka beserta ibu pada jam 13.00.
Keesokan harinya tanggal 22 September 1964 
jam 09.00 pagi jenajahnya dibawa ke Gurukinayan dengan diiringi keluarga
 serta seluruh armada PO. Sinabung Jaya sebagai penghormatan terakhir 
kepada pemiliknya, dan selanjutnya disemayam-kan satu malam di rumah 
adat almarhum  “Waluh Jabu” (rumah adat batak Karo dimana  satu  rumah  
besar   dihuni oleh delapan kepala  keluarga  baik  dari  pihak  
kalimbubu maupun anak  beru yang letaknya   ditentukan   oleh  
kedudukan  masing-masing  kepala keluarga didalam adat Karo),  sambil 
menunggu acara adat keesokan harinya tetap dilakukan acara yang ada di 
adat Batak Karo dengan diringi alat musik tradisonal sampai pada tengah 
malam.
Pada malam harinya, karena masyarakat batak Karo masih banyak yang menganut kepercayaan animisme pada waktu itu, termasuk almarhum Reti Sembiring Gurukinayan maka atas permintaan keluarga baik dari pihak sukut ( Sembiring Gurukinayan) anak beru maupun kalimbubu, diadakanlah acara “ Perumah Begu” (acara memanggil kembali roh almarhum termasuk semua leluhurnya) melalui media Guru Perbegu (Dukun) secara bergantian dari satu roh ke roh lainnya sampai pada menjelang pagi hari. Inti dari pesan almarhum pada waktu itu berupa nasihat-nasihat yang pernah almarhum sampaikan maupun yang belum sempat disampaikan semasa hidupnya (antara lain cara pengelolaan ataupun cara pembagian yang adil kalau memang perlu segera dibagi oleh ahli waris terhadap harta warisan yang ditinggalkan almarhum) melalui media Guru Perbegu kepada seluruh keluarga yang ditinggalkannya yang diberikan secara berurutan kepada istri dan seluruh anak yang ditinggalkannya termasuk keluarga lainnya.
Pada malam harinya, karena masyarakat batak Karo masih banyak yang menganut kepercayaan animisme pada waktu itu, termasuk almarhum Reti Sembiring Gurukinayan maka atas permintaan keluarga baik dari pihak sukut ( Sembiring Gurukinayan) anak beru maupun kalimbubu, diadakanlah acara “ Perumah Begu” (acara memanggil kembali roh almarhum termasuk semua leluhurnya) melalui media Guru Perbegu (Dukun) secara bergantian dari satu roh ke roh lainnya sampai pada menjelang pagi hari. Inti dari pesan almarhum pada waktu itu berupa nasihat-nasihat yang pernah almarhum sampaikan maupun yang belum sempat disampaikan semasa hidupnya (antara lain cara pengelolaan ataupun cara pembagian yang adil kalau memang perlu segera dibagi oleh ahli waris terhadap harta warisan yang ditinggalkan almarhum) melalui media Guru Perbegu kepada seluruh keluarga yang ditinggalkannya yang diberikan secara berurutan kepada istri dan seluruh anak yang ditinggalkannya termasuk keluarga lainnya.
| Rumah adat Karo “Waluh Jabu” (delapan rumah tangga) keluarga almarhum Reti Sembiring di desa Gurukinayan dilhat dari samping | 
Acara pemanggilan roh ini tidak hanya 
terbatas untuk roh almarhum akan tetapi kepada semua roh keluarga/ 
leluhurnya yang sudah lebih dulu meninggal dunia yang kata Dukunnya 
kebetulan singgah atau ikut nimbrung di rumah Waluh Jabu tempat acara 
tersebut dilaksanakan. Pada intinya acara ini hanyalah berupa 
nasihat-nasihat melalui media Dukun/ Guru Perbegu , dimana agar semua 
anak yang ditinggalkan beserta istrinya harus saling kasih mengasihi 
tidak hanya diantara mereka tapi harus “megermet” (peka) atau ikut
segera berpartisipasi  dalam  setiap kejadian di keluarga besar 
Sembiring Gurukinayan, harus “metami” (menyayangi) kepada semua  anak 
beru  (yang menjalankan acara, suami atau keturunan dari saudara 
perempuan marga Sembiring Gurkinayan)  serta “mehamat” (hormat) kepada 
kalimbubu (yang paling dihormati dalam adat Karo dari ayah atau saudara 
laki-laki dari pihak ibu) atau pihak istri maupun dari leluhur lainnya 
dari keluarga Sembiring Gurukinayan ).
| Garasi armada bus PO. Sinabung Jaya disamping Rumah ada “Waluh Jabu” keluarg Almarhum Reti Sembiring di desa Gurukinayan | 
Keesokan harinya setelah menabur bunga di 
makam almarhum Reti Sembiring Gurukinayan tanggal 24 September 1964 hari
 Selasa di rumah “Waluh Jabu” sesuai dengan adat Batak Karo diadakan 
runggu (rapat keluarga) yang dilakukan/ dipelopori oleh anak beru untuk 
membicarakan berapa  biaya maupun utang yang harus di bayar kepada 
keluarga yang sudah terlebih dahulu mengeluarkan uang untuk membeli sesuatu yang berhubungan dengan   upacara   pemakaman   
almarhum Reti Sembiring Gurukinayan.
Disamping itu dibicarakan antara keluarga Sembiring Gurukinayan dengan anak berunya dan disaksikan kalimbubu untuk mendata harta warisan yang bergerak maupun tidak bergerak yang ditinggalkan oleh almarhum Reti Sembiring Gurukinayan apakah dibagikan atau tidak.
Disamping itu dibicarakan antara keluarga Sembiring Gurukinayan dengan anak berunya dan disaksikan kalimbubu untuk mendata harta warisan yang bergerak maupun tidak bergerak yang ditinggalkan oleh almarhum Reti Sembiring Gurukinayan apakah dibagikan atau tidak.
Diprakarsai oleh anak tertuanya Kueteh 
Sembiring Gurukinayan, semua ahli waris almarhum Reti Sembiring 
Gurukinayan berikrardi hadapan bunda Releng br Sitepu, keluarga 
besar Sembiring Gurukinayan dan semua saudaranya dan keluarga lainnya, Anak Beru dan disaksikan Kalimbubu, bahwa ahli waris  almarhum 
 tidak akan pernah membagikan atau memindah tangan kan harta yang 
ditinggalkan almarhum baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak 
termasuk perusahaan otobus PO. Sinabung Jaya. Dimana harta yang  
ditinggalkan oleh almarhum hendaknya dapat lebih dikembangkan dikemudian
 hari,  yang boleh dibagi adalah hasil dari  pengelolaannya 
antara lain dari perusahaan otobus PO. Sinabung Jaya beserta 
armadanya dimana jumlah armada seyogyanya diperbesar dan bukan 
diperkecil dan  hasil sawah/ ladang.
Pada waktu Almarhum Reti Sembiring 
Gurukinayan meninggal pada tanggal 21 September 1964, armada bus PO. 
Sinabung Jaya yang ditinggalkan sebanyak 6 (enam) unit yang rinciannya dapat dilihat pada Tabel 1 tersebut di atas.
9.  TAHUN 1964
Sepeninggal almarhum Reti Sembiring Gurukinayan (Pa Kueteh), oleh 
keluarga maupun masyarakat sekitarnya meramalkan bahwa eksistensi 
perusahaan otobus  PO. Sinabung Jaya  akan  berakhir atau tidak 
akan dapat bertahan karena para ahli warisnya khususnya anak-anaknya tidak akan dapat mencontoh cara kerja yang selama ini almarhum lakukan. 
Penilaian tersebut tidak salah karena keluarga maupun masyarakat 
sekitarnya mengetahui bahwa semasa hidupnya almarhum adalah pekerja yang
 sangat gigih dan ulet karena walaupun beliau sudah memiliki 6 (enam) 
unit armada PO. Sinabung Jaya. Selama hidupnya Almarhum tidak pernah   
segan-segan   bertindak   sebagai montir  dengan  pakaian khas montir 
yang  di  Tanah  Karo disebut  pakaian monyet,  karena   model terusan 
dimana baju bersatu dengan celana, sama dengan pakaian montir pada saat 
ini. Bedanya kalau pakaian montir yang sekarang pada umumnya   terdapat 
 logo  sponsor untuk promosi produknya, sedangkan pakaian Almarhum 
secara khusus dipesan di tukang jahit (Tailor).
Dalam hal perawatan semua armadanya, almarhum menangani sendiri khususnya kerusakan ringan dengan dibantu 
oleh supir dan kernetnya, dimana almarhum tidak pernah mau menunda 
pekerjaan yang dapat segera diperbaiki di garasi terbuka dan udara yang 
sangat dingin di Berastagi kadang-kadang sampai tengah malam agar 
keesokan harinya dapat beroperasi kembali. Umumnya supir maupun 
kerneknya sudah dapat diandalkan untuk membantu beliau dalam perbaikan 
kerusakan ringan (diluar kerusakan mesin), sedangkan untuk perbaikan 
kerusakan berat seperti perbaikan mesin dipercayakan kepada montir Eng 
Cuan yang  rumah model toko (ruko) merangkap bengkelnya dekta stasiun 
PO. Sinabung Jaya atau sederetan dengan poliklinik “Darma Bhakti” di 
Berastagi. Suatu hari pernah terjadi ketidak cocokan dalam memperbaiki  metal mesin, dimana montir Eng Cuan dianggap terlalu 
banyak menggerus/ menipiskan bagian metal yang akan dipasang, sehingga 
karena terjadi perbedaan pendapat tersebut montir Eng Cuan 
menelantarkan mesin tersebut sehingga almarhumlah yang harus menyelesaikannya dengan dibantu supir dan kerneknya merakitnya 
kembali sampai bus tersebut dapat dioperasikan kembali.
Penilaian masyarakat maupun keluarga dekat 
ada benarnya karena tidak mungkin para ahli waris dapat mewarisi cara 
kerja yang telah almarhum lakukan sepanjang hidupnya disamping sebagai 
sebagai pengusaha juga sebagai  montir  busnya.  Akan  tetapi Allah 
Bapa masih memberkati usaha yang ditinggalkan, dimana istrinya 
Releng br Sitepu (Nande Kueteh) yang buta aksara dibantu oleh 
anak-anaknya yang masih sekolah/ kuliah di Berastagi maupun di Medan 
termasuk anak ke empatnya Arnem Sembiring Gurukinayan yang pada waktu 
itu sudah menjadi mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara 
tahun ke dua, serta dibantu oleh Rekat Sembiring Guruki-nayan (Pa 
Nimpan) untuk bus yang poolnya ada di Berastepu dan Tabas Surbakti (Pa 
Bini) untuk bus yang poolnya di Gurukinayan serta  bimbingan dan  
pengawasan yang dilakukan oleh anak sulungnya Kueteh Sembiring  
Gurukinayan  yang  pada  waktu  itu menjadi salah satu direktur di PT. 
Daya Eka Esa di Medan, sehingga perusahaan otobus tersebut dapat 
berkembang dengan baik. Untuk operasional bus yang poolnya di Berastagi 
dikelola oleh ibunda Releng br Sitepu termasuk menerima setoran bus yang
 poolnya di  Gurukinayan dan Berastepu dengan dibantu oleh keluarga 
bernama Ukur Barus yang diberi tugas sebagai Kepala Operasional di 
Berastagi/ Kabanjahe yang berasal dari Barusjahe yang sehari-harinya 
sebagai guru Sekolah Dasar Negeri nomor 4 di Jalan Udara Berastagi serta
 ke empat anaknya yang masih sekolah di Berastagi maupun Kabanjahe yaitu
 Nuraini br Sembiring Gurukinayan, Rophian Sembiring Gurukinayan, Eriwan
 Sembiring Gurukinayan dan Resmond Jaya Sembiring Gurukinayan.
| Foto Alm. Arnem Sembiring Gurukinayan,Anak keempat Alm. Reti Sembiring Gurukinayan & Almh. Releng br Sitepu | 
Pada tahun 1964 Arnem Sembiring , Budi 
Singarimbun dan Rasmi Sembiring yang sudah duduk di Kelas III SMA I 
Teladan Medan, telah tinggal di rumah Gang Pasir Nomor 19, Jl. S. Parman
 Medan yang dibeli oleh Almarhum Reti Sembiring Gurukinayan. Sedangkan 
anak sulungnya Kueteh Sembiring Gurukinayan juga telah menempati rumah 
barunya di Jalan S. Parman Nomor 315 A, atau tepatnya di ujung jalan 
Gang Pasir Medan . Kedua rumah tersebut pada waktu itu dapat dibeli 
karena bantuan kredit dari Bapak Pho Siong Liem, oleh sebab itu bantuan 
beliau kepada keluarga ini (PO. Sinabung Jaya) sangat besar dan tidak 
mungkin dapat dibalas dalam bentuk apapapun.
Karena ibunda Releng br Sitepu buta aksara 
maka untuk menanda tangani semua dokumen yang berhubungan 
dengan perusahaan otobus PO. Sinabung Jaya sejak tanggal 21 
September 1964 menggunakan “Cap Jempol” nya. Akan tetapi penggunaan cap 
jempol ini hanya berlangsung hampir selama 10 (sepuluh) tahun, karena 
pada pertengahan tahun 1971 keluar peraturan pemerintah tentang larangan
 penggunaan cap jempol untuk menandatangani semua dokumen yang 
berhubungan dengan perusahaan termasuk untuk dokumen perusahaan otobus 
PO. Sinabung Jaya. Agar tidak menghambat urusan administrasi perusahaan,
 dan atas pesetujuan dan kesepakatan bersama para ahli waris lainnya 
maka urusan administrasi dan pengurusan surat-surat yang berhubungan 
dengan kegiatan usaha PO. Sinabung Jaya dilaksanakan oleh Arnem 
Sembiring Gurukinayan yang bertindak sebagai kuasa/ atas nama Releng br 
Karo selaku Direksi PO. Sinabung Jaya sedangkan pengawasannya tetap 
dilakukan oleh Kueteh Sembiring Gurukinayan.
Hubungan keluarga dengan Bapak Pho Siong 
Liem tetap berjalan dengan baik  walaupun almarhum Reti Sembiring 
Gurukinayan telah meninggal dunia, dimana hubungan keluarga maupun 
bisnis diteruskan oleh ibunda Releng br Sitepu dengan dibantu oleh anak 
sulungnya Kueteh Sembiring Gurukinayan, demikian juga tradisi 
yang sudah dirintis Almarhum dari tahun ke tahun dengan membawa
sayur mayur dan buah-buahan yang terbaik dari Berastagi menjelang 
Tahun Baru Imlek tetap dilaksanakan dari tahun ke tahun. Sepeninggal 
almarhum Reti Sembiring Gurukinayan,  atas bantuan Bapak Pho Siong Liem 
perusahaan tersebut makin berkembang dan terjadi penggantian armada yang
 lebih baru maupun jumlahnya bertambah serta terjadi perluasan trayek 
sampai ke Harang Gaol Kabupaten Simalungun
Sampai pada akhir tahun 1970 armada PO. 
Sinabung Jaya telah memiliki armada sebanyak 13 (tiga belas) unit yang 
semuanya keluaran Chevrolet yang rinciannya dapat  lihat pada Tabel 2 
tersebut di bawah, yang berarti sejak almarhum Reti Sembiring Gurukinyan
 meninggal dunia pada tahun 1964 maka selama kurun waktu 6 (enam) tahun 
telah terjadi penambahan armada PO. Sinabung Jaya sebanyak 7 (lihat pada
 table 2 di atas). (tujuh) unit, dengan demikian kekhawatiran keluarga 
bahwa sepeninggal almarhum PO. Sinabung Jaya tidak  akan berkembang 
jelas tidak terbukti, karena selama kurun waktu tersebut di atas
 telah terjadi penambahan armada lebih dari 100 % dimana 1 (satu) armada
 nomor lambung 7 (tujuh) adalah pengganti mobil sedan Almarhum Reti 
Sembiring Gurukinayan yang dijual dan ditukar dengan armada tersebut.
Tabel 2
Jumlah Armada PO. Sinabung Jaya
Tahun 1970
Jumlah Armada PO. Sinabung Jaya
Tahun 1970
| 
No. Lam- bung | 
Tahun Pembuatan | 
Trayek | 
Penanggung Jawab | 
| 
1 | 
1960 | 
Berastepu   – Medan PP | 
Rekat   S. Gurukinayan | 
| 
2 | 
1951 | 
Berastepu   – Pekan Pekan  | 
Rekat   S. Gurukinayan  | 
| 
3 | 
1960 | 
Gurukinayan-Pekan   Pekan | 
Tabas   Surbakti | 
| 
4 | 
1950 | 
Gurukinayan-Pekan   Pekan | 
Tabas   Surbakti | 
| 
5 | 
1960 | 
Kabanjahe – Medan PP | 
Ukur   Barus * | 
| 
6 | 
1960 | 
Gurukinayan   – Medan PP | 
Tabas   Surbakti | 
| 
7 | 
1961 | 
Kabanjahe-Medan PP | 
Ukur   Barus * | 
| 
8 | 
1960 | 
Medan-Kabanjahe-H.Gaol   PP | 
Arnem   Sembiring | 
| 
9 | 
1967 | 
Kabanjahe-   Medan PP | 
Ukur   Barus * | 
| 
10 | 
1960 | 
Gurukinayan-   Medan PP | 
Tabas   Surbakti | 
| 
11 | 
1967 | 
Brastepu-   Medan PP | 
Rekat   S. Gurukinayan | 
| 
12 | 
1968 | 
Brastepu-Medan   PP | 
Rekat   S. Gurukinayan | 
| 
13 | 
1952 | 
Gurukinayan-Pekan   Pekan | 
Tabas   Surbakti | 
* Kepala Operasional. di Berastagi / Kabanjahe.
Karena alasan tersebut keluarga dapat menerima dengan pertimbangan agar beliau dapat menyenangkan hatinya dalam menjalani masa tuanya, apalagi kegiatannya sebagai supir taxi hanya dilakukan pada waktu luangnya dimana tidak ada busnya yang harus diperbaiki.(lihat photo di atas).
Setelah beliau meninggal dunia, mobil sedan tersebut dijual dan dibelikan gantinya 1 (satu) unit bus pada akhir tahun 1964 merk Chevrolet tahun 1961 ex. jurusan Medan – Takengon yang pada waktu kondisi bus tersebut 90 % sehingga langsung dapat dioperasikan. Bus tersebut sejak dibeli pertama kali oleh pemiliknya hanya beberapa kali menjalani rute tersebut, kemudian dikandangkan karena alasan tidak jelas. Kenderaan tersebut masuk armada PO. Sinabung Jaya dengan nomor lambung 7 (tujuh) tanpa dicat ulang untuk sementara hanya diganti merk PO. Sinabung Jaya dan nomor lambungnya. Sebelum dioperasikan untuk pertama kalinya keluarga berjiarah kekuburan almarhum Reti Sembiring Gurukinayan di kampung Gurukinayan karena setelah almar-hum meninggal baru kali ini terjadi penambahan armada walaupun sebagian uangnya berasal dari hasil penjualan sedannya beberapa waktu yang lalu, kemudian baru keesokan harinya bus tersebut menjalani trayek Kabanjahe – Medan PP (pergi pulang).
Kemudian pada tanggal 30 Agustus 1966 keluarga kembali jiarah ke pusara 
ayahanda amarhum Reti Sembiring Gurukinayan karena ada penambahan armada
 bus merk Chevrolet tahun 1960 dengan nomor lambung 8 (delapan)  yang  
juga akan dioperasikan untuk trayek Medan – Kabanjahe, sedangkan poolnya
 di Medan.( lihat foto di bawah).
Sedangkan untuk meningkatkan mobilitas Arnem Sembiring Gurukinayan selaku “Kuasa PO. Sinabung Jaya” di Medan yang secara rutin menerima hasil setoran bus yang poolnya di Gurukinayan, Berastepu dan Berastagi, disamping dipergunakan untuk membeli suku cadang bus, perbaikan karoseri serta urusan administrasi perusahaan, uang tersebut dipergunakan untuk membeli JEEP WILIS tahun 1945 nomor polisi BK. 40565. yang dirakit di bengkel dekat jalan Asia Medan, dimana bengkel tersebut pada waktu itu sudah mampu untuk mencetak bodi baru, hanya mesin, chasiss dan lainnya sebagainya dipakai dari ex. Singapore . (lihat foto di bawah).
Sedangkan untuk meningkatkan mobilitas Arnem Sembiring Gurukinayan selaku “Kuasa PO. Sinabung Jaya” di Medan yang secara rutin menerima hasil setoran bus yang poolnya di Gurukinayan, Berastepu dan Berastagi, disamping dipergunakan untuk membeli suku cadang bus, perbaikan karoseri serta urusan administrasi perusahaan, uang tersebut dipergunakan untuk membeli JEEP WILIS tahun 1945 nomor polisi BK. 40565. yang dirakit di bengkel dekat jalan Asia Medan, dimana bengkel tersebut pada waktu itu sudah mampu untuk mencetak bodi baru, hanya mesin, chasiss dan lainnya sebagainya dipakai dari ex. Singapore . (lihat foto di bawah).
Akan tetapi seirama dengan perkembangan 
teknologi dan pola permintaan jasa angkutan penumpang oleh masyarakat 
khususnya antar kota dari Kabanjahe ke Medan dan sebaliknya terjadilah 
perubahan yang cukup derastis pada tahun 1976. Dimana sampai pada tahun 
1975 bus keluaran Amerika berbahan bakar bensin  (sekarang premium)  
merk Chevrolet yang pada waktu itu menguasai pangsa pasar tidak hanya 
di Sumatera Utara tapi juga umumnya di Indonesia. Demikian juga halnya 
yang terjadi di daerah di Kabupaten Karo dimana daerahnya merupakan 
daerah pegunungan yang terletak di Bukit Barisan, jalan kedaerah 
tersebut sebagian besar tanjakan dan tikungan  yang  cukup  tajam 
sehingga hanya mobil keluaran Amerika lah pada waktu itu yang cukup 
handal untuk dapat dipergunakan di daerah tersebut. Walaupun ada juga 
yang menggunakan mobil keluaran Jepang berbahan bakar bensin seperti 
Toyota dan juga merk Robur buatan Eropah Timur berbahan solar digunakan 
oleh PO. Saribu Raja yang menjalani trayek Medan – Haranggaol sama dengan trayekyang dijalani PO. Sinabung Jaya pada waktu itu, tapi 
kemampuan  mesinnya  pada waktu itu masih jauh di bawah bus keluaran 
Amerika khususnya Chevrolet yang kekuatan dan kemampuan mesinnya dapat 
diandalkan untuk daerah pegunungan.
Akan tetapi seperti yang sudah dijelaskan 
di atas, pada awal tahun 1976 terjadi perubahan cukup drastis  dengan 
dimulai penggantian alat tansportasi dengan menggunakan mobil engkel 
(roda empat) keluaran Daihatsu yang juga menggunakan bahan bakar bensin 
(premium). Karena mobilnya lebih kecil dengan daya muat sekitar 20 (dua 
puluh) penumpang, membuat daya tempuh antara Medan ke Kabanjahe, lebih 
singkat walaupun jalannya tanjakan di bandingkan dengan mobil buatan 
Amerika dengan kapasitas penumpang sampai  dengan 38 (tiga puluhdelapan) penumpang atau hampir dua kali lipat dengan bus kecil 
tersebut. Akhirnya pola penumpang antar kota ini berubah dari bus badan 
besar ke ke bus badan lebih kecil sehingga bus  besar  tidak dapat 
lagi bersaing dengan bus sedang jarak tempuhnya lebih lama dibandingkan 
dengan bus kecil yang lebih lincah untuk daerah pegunungan.
Akibat dari perubahan pola transportasi tersebut satu persatu
 perusahaan otobus yang gulung tikar khususnya bagi perusahaan yang 
tidak mampu meremajakan bus dengan bus kecil tersebut, termasuk pada 
waktu itu PO. Sinabung Jaya yang hampir tidak ada lagi yang menjalani 
trayek Kabanjahe Medan pulang pergi. Sedangkan untuk trayek pekan-pekan 
masih dapat bertahan karena penumpangnya adalah penumpang tradisionil 
karena pada waktu itu belum banyak minibus yang beroperasi di trayek 
tersebut.
Mengingat situasi yang tidak menguntungkan tersebut di pelopori oleh keluarga Tabas Surbakti yang dipercayakan untuk mengurus PO. Sinabung Jaya di Kampung Gurukinayan mengambil inisiatif untuk membeli mobil sendiri type engkel merk Daihatsu berbahan baku bensin untuk menjalani trayek Gurukinayan – Medan PP, dengan demikian masih ada bus tersebut yang menjalani trayek tersebut, akan tetapi karena jumlah armada yang kecil tingkat pelayanan untuk rute tersebut tidak maksimal. Padahal pada waktu itu untuk terminal bus Sei Wampu hanya PO. Sinabung Jaya yang sampai disana, sedangkan bus perusahaan lainnya yang yang menjalani trayek yang sama hanya sampai di Pajak Peringgan Medan, kemudian menunggu penumpang di stasiun pembantunya di Padang Bulan. PO. Sinabung Jaya walaupun sampai di stasiun Sei Wampu, masih tetap mengandalkan Stasiun Padang Bulan di Kedai Pa Jagam sebagai permberhentian terakhir sebelum melanjudkan perjalanannya ke Kabanjahe dan sekitarnya. Dimana stasiun pembantu tersebut berada di ujung jalan Sei Wampu ke arah Padang Bulan atau dekat stasiun pembantu bus-bus perusahaan otobus lainnya. Keberangkatan bus dari Stasiun Kabanjahe PO. Sinabung Jaya masih bergabung dengan bus perusahaan lainya seperti PO. Saudara, PO. Tani, PO. Sebayang, PO. Selamat Jalan, PO. Singalor Lau, PO. Sutera, PO. Liberty, PO. Swift, PO. Pinem dan lain sebagainya.
Mengingat di era tahun 1965 hanya PO. Sinabung Jaya yang tetap dengan setia masuk stasiun Sei Wampu, sedangkan perusahaan otobus lainnya yang awalnya juga masuk stasiun dengan alasan keamanan tidak sampai ke stasiun tersebut, maka penurunan jumlah armada bus PO. Sinabung Jaya yang menjalani trayek tersebut secara drastis langsung memberikan image yang negatif bahwa PO. Sinabung Jaya sudah gulung tikar. Sedangkan bagi perusahaan armada lain yang juga bernasib sama karena bergabung menjadi satu stasiun pembantu tidak begitu kelihatan, karena para penumpang masih dapat memilih armada lainnya yang kebetulan sedang berada di stasiun pembantu tersebut. Menurunnya jumlah armada PO. Sinabung Jaya yang sampai ke terminal Sei Wampu sangat berdampak buruk bagi kelangsungan perusahaan dikemudian hari, dimana jelas perusahaan ini tidak dapat diandalkan untuk mempertahankan tingkat pelayayan kepada para penumpang bus dan juga upaya pengembangan armadanya pasti akan menemui banyak hambatan apabila perusahaan tidak mengambil langkah-langkah strategis yang cepat dan tepat yang dapat mempertahankan eksistensi perusahaan paling tidak di trayek Kabanjahe Medan PP. Padahal PO. Sinabung Jaya sudah cukup dikenal didaerah tersebut khususnya para pedagang kecil (Perengge-rengge) yang menjadi penumpang setia baik disekitar Berastagi maupun Kabanjahe dan sekitarnya, karena pada waktu itu bus PO. Sinabung Jaya trip terakhir terakhirnya diberangkatkan dari Stasiun Padang Bulan Medan pada jam. 17.30. Sehingga para pedagang yang menjadi penumpang setianya masih mempunyai waktu yang cukup panjang untuk berdagang maupun berbelanja di kota Medan.
Akibat perubahan pola trasnportasi tersebut di atas, tidak terkecuali PO. Sinabung Jaya terkena dampaknya, dimana armada bus besar yang selama ini menjalani trayek Medan Kabanjahe satu persatu di jual karena tidak menguntungkan lagi untuk dioperasikan, sedangkan Arnem Sembiring Gurukinayan kemudian bekerja di PT. Bintang Cosmos dealer Bus Mercedes Benz di Medan. Beliau lebih konsentrasi menjalani pekerjaan barunya sehingga operasional perusahaan otobus PO. Sinabung Jaya tidak berjalan sebagaimana mestinya. Sedangkan Rekat Sembiring Gurukinayan adik bungsu almarhum Reti Sembiring Gurukinayan lebih banyak memfokuskan kegiatannya menanam cengkeh. di kebun keluarga kampung Gurukinayan.
Walaupun demikian masih ada satu dua saja yang menjalani trayek tersebut, khususnya bus engkel PO. Sinabung Jaya yang dimiliki oleh Tabas Surbakti menggunakan Daihatsu berbahan bakar bensin yang selama bertahun-tahun telah ikut membesarkan perusahaan ini khususnya untuk armada PO. Sinabung Jaya yang menjadi tanggung jawabnya di pool Gurukinayan. Tabas Surbakti tetap berupaya agar PO. Sinabung Jaya yang telah ikut membesarkannya yang juga awalnya sama dengan pamannya almarhum Reti Sembiring Gurukinayan sebagai kerneknya, kemudian meningkat menjadi supir pada jaman Belanda bertekad agar PO. Sinabung Jaya tetap dapat menjalani trayek ke Medan walaupun berangkat dari kampung Gurukinayan, yang penting para penumpang setianya masih dapat melihat bus PO. Sinabung Jaya tetap dapat menjalani trayek ke Medan walaupun dengan jumlah armada yang sangat terbatas. Tingginya loyalitas Tabas Surbakti agar PO. Sinabung Jaya tetap eksis tidak terlepas dari bimbingan pamannya alamarhum Reti Sembiring sehingga akhirnya beliaupun dapat mengikuti jejak pamannya sebagai pengusaha bus.
Akan tetapi penggunaan bus sedang merk Daihatsu hanya bertahan dalam waktu yang relative singkat, karena pada tahun 1977 perusahaan angkutan di daerah Sumatera Utara umumnya dan di Kabupaten Karo khususnya sebagian meremajakan kembali busnya dengan ukuran yang sama ke merk Toyota maupun Mitsubishi yang menggunakan bahan bakar solar yang pada waktu itu harganya per liter jauh lebih murah dibandingkan dengan menggunakan mobil berbahan bakar bensin (sekarang premium). Kemampuan mesin yang menggunakan bahan bakar solar untuk tanjakan juga tidak kalah dengan mesin yang menggunakan bahan bakar bensin seperti yang digunakan oleh mobil Chevrolet maupun Daihatsu.
Demikian juga halnya dengan Tabas Surbakti juga ikut kembali meremajakan busnya dengan merk Misubishi, sedangkan bus besar merk Chevrolet masih dapat dioperasikan untuk menjalani trayek Berastepu dan Gurukinayan pekan-pekan dan juga megangkut karyawan perusahaan bunga di Berastagi.
Tabas Surbakti (Pa Bini) tetap berusaha agar perusahaan tersebut tetap dapat operasional walaupun tidak maksimal bila dibandingkan dengan awal tahun 70-an. Karena pada waktu itu PO. Sinabung Jaya telah memiliki stasiun terpisah untuk keberangkatan dari Sei Wampu dan stasiun pembantu di Kedai Pa Jagam Padang Bulan/ Ujung Jalan Patimura akhirnya menarik perhatian beberapa pengusaha bus yang mengutarakan minatnya untuk bergabung dalam perusahaan otobus PO. Sinabung Jaya khususnya untuk mengisi kekosongan trayek yang selama ini tidak lagi dijalani dengan rutin oleh armada PO. Sinabung Jaya yang armadanya sangat terbatas, , antara lain Kabanjahe Medan PP, Berastepu Medan PP dan Haranggaol Medan PP. Dalam hal ini yang menjadi pertanyaan; “kenapa pengusaha bus maupun pemodal baru berminat untuk bergabung dengan PO. Sinabung Jaya dan bukan dengan perusahaan otobus yang juga mempunyai trayek yang sama yang kondisinya seperti PO. Sinabung Jaya?”.Dimana pada waktu itu masih ada PO. Singalor Lau, PO. Sebayang , PO. Saudara, PO. Tani, PO. Selamat Jalan dan lain sebagainya yang sampai saat ini juga masih memiliki armada yang memadai, dimana minimal 5 (lima) armada bus sudah memenuhi syarat untuk mendapatkan/ mempertahankan ijin trayeknya. Atau karena stasiun PO. Sinabung Jaya sudah terpisah selama ini di Sei Wampu dan Padang Bulan? Hal ini tetap menjadi pertanyaan kenapa harus PO. Sinabung Jaya yang mereka pilih dan bukan perusahaan lainnya yang pasti juga dengan tangan terbuka akan menerima permintaan mereka.
Pertanyaan ini hanya mereka, para pemilik bus yang sebagian besar merangkap jadi petani yang sudah menjadi keluarga PO. Sinabung Jaya yang dapat menjawabmnya. Tapi yang jelas karena kebersamaan mereka para pemilik bus yang tetap setia bergabung dengan PO. Sinabung Jaya yang membuat nama perusahaan ini tetap bertahan dan berkembang di jalur yang menghubungkan ibukota Kabupaten Karo dan sekitarnya dengan ibukota propinsi Sumatera Utara Medan, terima kasih semoga PO. Sinabung Jaya tetap jaya ditangan kita bersama para keluarga besar PO. Sinabung Jaya yang sebagian besar anggotanya merangkap sebagai petani dan supir PO. Sinabung Jaya.
Mengingat situasi yang tidak menguntungkan tersebut di pelopori oleh keluarga Tabas Surbakti yang dipercayakan untuk mengurus PO. Sinabung Jaya di Kampung Gurukinayan mengambil inisiatif untuk membeli mobil sendiri type engkel merk Daihatsu berbahan baku bensin untuk menjalani trayek Gurukinayan – Medan PP, dengan demikian masih ada bus tersebut yang menjalani trayek tersebut, akan tetapi karena jumlah armada yang kecil tingkat pelayanan untuk rute tersebut tidak maksimal. Padahal pada waktu itu untuk terminal bus Sei Wampu hanya PO. Sinabung Jaya yang sampai disana, sedangkan bus perusahaan lainnya yang yang menjalani trayek yang sama hanya sampai di Pajak Peringgan Medan, kemudian menunggu penumpang di stasiun pembantunya di Padang Bulan. PO. Sinabung Jaya walaupun sampai di stasiun Sei Wampu, masih tetap mengandalkan Stasiun Padang Bulan di Kedai Pa Jagam sebagai permberhentian terakhir sebelum melanjudkan perjalanannya ke Kabanjahe dan sekitarnya. Dimana stasiun pembantu tersebut berada di ujung jalan Sei Wampu ke arah Padang Bulan atau dekat stasiun pembantu bus-bus perusahaan otobus lainnya. Keberangkatan bus dari Stasiun Kabanjahe PO. Sinabung Jaya masih bergabung dengan bus perusahaan lainya seperti PO. Saudara, PO. Tani, PO. Sebayang, PO. Selamat Jalan, PO. Singalor Lau, PO. Sutera, PO. Liberty, PO. Swift, PO. Pinem dan lain sebagainya.
Mengingat di era tahun 1965 hanya PO. Sinabung Jaya yang tetap dengan setia masuk stasiun Sei Wampu, sedangkan perusahaan otobus lainnya yang awalnya juga masuk stasiun dengan alasan keamanan tidak sampai ke stasiun tersebut, maka penurunan jumlah armada bus PO. Sinabung Jaya yang menjalani trayek tersebut secara drastis langsung memberikan image yang negatif bahwa PO. Sinabung Jaya sudah gulung tikar. Sedangkan bagi perusahaan armada lain yang juga bernasib sama karena bergabung menjadi satu stasiun pembantu tidak begitu kelihatan, karena para penumpang masih dapat memilih armada lainnya yang kebetulan sedang berada di stasiun pembantu tersebut. Menurunnya jumlah armada PO. Sinabung Jaya yang sampai ke terminal Sei Wampu sangat berdampak buruk bagi kelangsungan perusahaan dikemudian hari, dimana jelas perusahaan ini tidak dapat diandalkan untuk mempertahankan tingkat pelayayan kepada para penumpang bus dan juga upaya pengembangan armadanya pasti akan menemui banyak hambatan apabila perusahaan tidak mengambil langkah-langkah strategis yang cepat dan tepat yang dapat mempertahankan eksistensi perusahaan paling tidak di trayek Kabanjahe Medan PP. Padahal PO. Sinabung Jaya sudah cukup dikenal didaerah tersebut khususnya para pedagang kecil (Perengge-rengge) yang menjadi penumpang setia baik disekitar Berastagi maupun Kabanjahe dan sekitarnya, karena pada waktu itu bus PO. Sinabung Jaya trip terakhir terakhirnya diberangkatkan dari Stasiun Padang Bulan Medan pada jam. 17.30. Sehingga para pedagang yang menjadi penumpang setianya masih mempunyai waktu yang cukup panjang untuk berdagang maupun berbelanja di kota Medan.
Akibat perubahan pola trasnportasi tersebut di atas, tidak terkecuali PO. Sinabung Jaya terkena dampaknya, dimana armada bus besar yang selama ini menjalani trayek Medan Kabanjahe satu persatu di jual karena tidak menguntungkan lagi untuk dioperasikan, sedangkan Arnem Sembiring Gurukinayan kemudian bekerja di PT. Bintang Cosmos dealer Bus Mercedes Benz di Medan. Beliau lebih konsentrasi menjalani pekerjaan barunya sehingga operasional perusahaan otobus PO. Sinabung Jaya tidak berjalan sebagaimana mestinya. Sedangkan Rekat Sembiring Gurukinayan adik bungsu almarhum Reti Sembiring Gurukinayan lebih banyak memfokuskan kegiatannya menanam cengkeh. di kebun keluarga kampung Gurukinayan.
Walaupun demikian masih ada satu dua saja yang menjalani trayek tersebut, khususnya bus engkel PO. Sinabung Jaya yang dimiliki oleh Tabas Surbakti menggunakan Daihatsu berbahan bakar bensin yang selama bertahun-tahun telah ikut membesarkan perusahaan ini khususnya untuk armada PO. Sinabung Jaya yang menjadi tanggung jawabnya di pool Gurukinayan. Tabas Surbakti tetap berupaya agar PO. Sinabung Jaya yang telah ikut membesarkannya yang juga awalnya sama dengan pamannya almarhum Reti Sembiring Gurukinayan sebagai kerneknya, kemudian meningkat menjadi supir pada jaman Belanda bertekad agar PO. Sinabung Jaya tetap dapat menjalani trayek ke Medan walaupun berangkat dari kampung Gurukinayan, yang penting para penumpang setianya masih dapat melihat bus PO. Sinabung Jaya tetap dapat menjalani trayek ke Medan walaupun dengan jumlah armada yang sangat terbatas. Tingginya loyalitas Tabas Surbakti agar PO. Sinabung Jaya tetap eksis tidak terlepas dari bimbingan pamannya alamarhum Reti Sembiring sehingga akhirnya beliaupun dapat mengikuti jejak pamannya sebagai pengusaha bus.
Akan tetapi penggunaan bus sedang merk Daihatsu hanya bertahan dalam waktu yang relative singkat, karena pada tahun 1977 perusahaan angkutan di daerah Sumatera Utara umumnya dan di Kabupaten Karo khususnya sebagian meremajakan kembali busnya dengan ukuran yang sama ke merk Toyota maupun Mitsubishi yang menggunakan bahan bakar solar yang pada waktu itu harganya per liter jauh lebih murah dibandingkan dengan menggunakan mobil berbahan bakar bensin (sekarang premium). Kemampuan mesin yang menggunakan bahan bakar solar untuk tanjakan juga tidak kalah dengan mesin yang menggunakan bahan bakar bensin seperti yang digunakan oleh mobil Chevrolet maupun Daihatsu.
Demikian juga halnya dengan Tabas Surbakti juga ikut kembali meremajakan busnya dengan merk Misubishi, sedangkan bus besar merk Chevrolet masih dapat dioperasikan untuk menjalani trayek Berastepu dan Gurukinayan pekan-pekan dan juga megangkut karyawan perusahaan bunga di Berastagi.
Tabas Surbakti (Pa Bini) tetap berusaha agar perusahaan tersebut tetap dapat operasional walaupun tidak maksimal bila dibandingkan dengan awal tahun 70-an. Karena pada waktu itu PO. Sinabung Jaya telah memiliki stasiun terpisah untuk keberangkatan dari Sei Wampu dan stasiun pembantu di Kedai Pa Jagam Padang Bulan/ Ujung Jalan Patimura akhirnya menarik perhatian beberapa pengusaha bus yang mengutarakan minatnya untuk bergabung dalam perusahaan otobus PO. Sinabung Jaya khususnya untuk mengisi kekosongan trayek yang selama ini tidak lagi dijalani dengan rutin oleh armada PO. Sinabung Jaya yang armadanya sangat terbatas, , antara lain Kabanjahe Medan PP, Berastepu Medan PP dan Haranggaol Medan PP. Dalam hal ini yang menjadi pertanyaan; “kenapa pengusaha bus maupun pemodal baru berminat untuk bergabung dengan PO. Sinabung Jaya dan bukan dengan perusahaan otobus yang juga mempunyai trayek yang sama yang kondisinya seperti PO. Sinabung Jaya?”.Dimana pada waktu itu masih ada PO. Singalor Lau, PO. Sebayang , PO. Saudara, PO. Tani, PO. Selamat Jalan dan lain sebagainya yang sampai saat ini juga masih memiliki armada yang memadai, dimana minimal 5 (lima) armada bus sudah memenuhi syarat untuk mendapatkan/ mempertahankan ijin trayeknya. Atau karena stasiun PO. Sinabung Jaya sudah terpisah selama ini di Sei Wampu dan Padang Bulan? Hal ini tetap menjadi pertanyaan kenapa harus PO. Sinabung Jaya yang mereka pilih dan bukan perusahaan lainnya yang pasti juga dengan tangan terbuka akan menerima permintaan mereka.
Pertanyaan ini hanya mereka, para pemilik bus yang sebagian besar merangkap jadi petani yang sudah menjadi keluarga PO. Sinabung Jaya yang dapat menjawabmnya. Tapi yang jelas karena kebersamaan mereka para pemilik bus yang tetap setia bergabung dengan PO. Sinabung Jaya yang membuat nama perusahaan ini tetap bertahan dan berkembang di jalur yang menghubungkan ibukota Kabupaten Karo dan sekitarnya dengan ibukota propinsi Sumatera Utara Medan, terima kasih semoga PO. Sinabung Jaya tetap jaya ditangan kita bersama para keluarga besar PO. Sinabung Jaya yang sebagian besar anggotanya merangkap sebagai petani dan supir PO. Sinabung Jaya.
Tabel 3
Jumlah Armada Yang Bergabung Dalam
PO. SINABUNG JAYA
Tahun 1981
Jumlah Armada Yang Bergabung Dalam
PO. SINABUNG JAYA
Tahun 1981
| 
NO. | 
NO.   POLISI | 
MEREK | 
THN   PEM 
BUATAN | 
JENIS   KENDE -RAAN | 
PEMILIK | 
| 
1. | 
BK.2038   SB | 
Mitsubishi | 
1977 | 
Truk | 
Rup Rup Bangun | 
| 
2. | 
BK.2047 SB | 
Mitsubishi | 
1980 | 
Truk | 
Yusuf Sembiring | 
| 
3. | 
BK.2027 SB | 
C o l t | 
1979 | 
Truk | 
T. Karo2 Surbakti | 
| 
4. | 
BK.2029 SB | 
Mitsubishi | 
1979 | 
Truk | 
Tabas Surbakti | 
| 
5. | 
BK.2674 SB | 
Mitsubishi | 
1980 | 
Truk | 
K e r e m | 
| 
6. | 
BK.2610 SC | 
Marcedes bens | 
1979 | 
B u s | 
Arnem Sembiring  | 
| 
7. | 
BK.2602 SB | 
Daihatsu | 
1976 | 
B u s | 
Arnem Sembiring  | 
| 
8. | 
BK.2606 SC | 
C o l t | 
1979 | 
B u s | 
Arnem Sembiring  | 
| 
9. | 
BK.2619 SC | 
Marcedes bens | 
1979 | 
B u s | 
Arnem Sembiring  | 
| 
10. | 
BK.2662 SC | 
Mitsubishi | 
1980 | 
B u s | 
Releng br Karo | 
| 
11. | 
BK.2730 SB | 
Chevrolet | 
1977 | 
B u s | 
A. Sembiring | 
| 
12. | 
BK.2689 AE | 
Chevrolet | 
1971 | 
B u s | 
A. sembiring | 
| 
13. | 
BK.2655 SC | 
Mitsubishi | 
1980 | 
B u s | 
A. Sembiring  | 
| 
14. | 
BK.2653 SC | 
Mitsubishi | 
1980 | 
B u s | 
A. Sembiring  | 
| 
15. | 
BK.2729 SB | 
Daihatsu | 
1976 | 
B u s | 
R. br Karo | 
| 
16. | 
BK.2750 SB | 
Daihatsu | 
1976 | 
B u s | 
A. Sembiring | 
| 
17. | 
BK.2766 SB | 
Chevrolet | 
1961 | 
B u s | 
R. br Karo *) | 
| 
18. | 
BK.2762 SB | 
Chevrolet | 
1960 | 
B u s | 
R. br Karo | 
| 
19. | 
BK.2610 SC | 
Marcedes bens | 
1979 | 
B u s | 
Arnem Sembiring  | 
| 
20. | 
BK.2622 SC | 
Mitsubishi | 
1979 | 
B u s | 
R. br Karo | 
| 
21. | 
BK.2634 SC | 
C o l t | 
1979 | 
B u s | 
Arnem Sembiring  | 
| 
22. | 
BK.2677 SB | 
Mitsubishi | 
1978 | 
B u s | 
R. br Karo | 
| 
23. | 
BK.2722 SB | 
Chevrolet | 
1968 | 
B u s | 
R. br Karo | 
| 
24. | 
BK.2625 SB | 
Chevrolet | 
1953 | 
B u s | 
R. br Karo | 
| 
25. | 
BK.2724 SB | 
Chevrolet | 
1960 | 
B u s | 
R. br Karo | 
Ket : *) R br Karo, adalah Ibu Releng br Karo, ibunda Arnem Sembiring
Permintaan para pemilik bus maupun para pemodal baru lainnya, kemudian diinformasikan Tabas Surbakti kepada Arnem Sembiring Gurukinayan selaku “Kuasa” PO. Sinabung Jaya yang selama ini tidak konsentrasi lagi untuk mengurus perusahaan otobus PO. Sinabung Jaya, akan tetapi lebih konsentrasi kepada pekerjaan barunya sebagai karyawan di PT. Bintang Cosmos.
Selang berapa waktu, Arnem Sembiring Gurukinayan dan atas dukungan para ahli waris almarhum Reti Sembiring Gurukinayan sebagai pendiri dan pemilik PO. Sinabung Jaya termasuk Rekat Sembiring Gurukinayan dan Tabas Surbakti, mengeluarkan kebijakan dimana kepada para pemilik bus maupun pemodal baru diberi kesempatan untuk ikut bergabung dengan perusahaan otobus PO. Sinabung Jaya untuk menjalani trayek khususnya untuk trayek Kabanjahe Medan PP yang pada saat itu kekurangan armada.
Sampai pada tanggal 10 Pebruari 1981 berdasarkan permohonan perpanjangan Ijin Perusahaan Angkutan Mobil Bus Umum PO. Sinabung Jaya oleh Arnem Sembiring Gurukinayan selaku kuasa ahli waris Alm. Reti Sembiring Gurukinayan/ Alm. Releng br Karo kepada Bupati Kepala Daerah Tk. II Kabupaten Karo, armada bus yang bernaung dalam perusahaan otobus PO. Sinabung Jaya sebanyak 20 (dua puluh) unit bus besar/ sedang dan 5 (lima) truk yang rinciannya dapat dilihat pada Tabel 3 di atas.
Kemudian, kebijakan tersebut disambut dengan baik oleh para pemilik bus maupun pemodal lainnya untuk bergabung dalam PO. Sinabung Jaya, sehingga dalam jangka waktu yang relatif singkat banyak pengusaha bus maupun pemodal baru yang ikut bergabung dengan PO. Sinabung Jaya. Ikut sertanya pengusaha bus tersebut jelas menguntungkan perusahaan, karena dengan demikian dalam waktu yang singkat PO. Sinabung Jaya dapat kembali menjalani trayek yang selama ini hampir tidak dijalani secara rutin dengan mengandalkan armada otobusnya berukuran kecil maupun sedang (engkel dan ¾ ton). Penambahan jumlah armada yang cukup besar dalam jangka waktu yang relatif cukup singkat tersebut tidak menjadi masalah bagi perusahaan dalam mengatur jadual keberangkatan secara gradual. Hal ini tidak lain karena selama ini PO. Sinabung Jaya khususnya untuk Stasiun Sei Wampu maupun Stasiun Pembantu di Padang Bulan sudah terpisah sejak awal tahun 1966 dengan perusahaan otobus lainnya tersebut di atas. Mengingat penambahan jumlah armada yang cukup signifikan tersebut maka dengan sendirinya PO. Sinabung Jaya harus mendirikan stasiun bus sendiri di Kabanjahe maupun di Berastagi khusus untuk melayani keberangkatan ke Medan. Karena apabila tetap bergabung dengan perusahaan lainya yang sejenis jelas akan mengganggu keberangkatan masing-masing armada dari beberapa perusahaan lainnya. Terpisahnya stasiun keberangkatan dari stasiun Kabanjahe maupun Berastagi membuat perusahaan otobus PO. Sinabung Jaya menjadi lebih leluasa untuk mengatur jadual keberangkatan setiap armadanya, yang khusus untuk trayek Kabanjahe – Medan PP dimana sampai saat ini setiap armada dapat menjalaninya sebanyak 2 (dua) kali pulang pergi.
Pada umumnya di Kabupaten Karo dan sekitarnya nama perusahaan ini sudah cukup dikenal sebagai salah satu sarana angkutan yang menghubungkan ibukota Kabupaten Karo Kabanjahe dengan ibukota provinsi Sumatera Utara Medan yang trayeknya melewati Berastagi sebagai kota lintasan trayek, adalah kota wisata sebagai salah satu tujuan wisata domestik dan manca Negara. Disamping itu karena perusahaan tersebut menggunakan nama salah satu nama gunung di Kabupaten Karo, sehingga mudah untuk diingat oleh para pengguna jasanya.
Nama PO. Sinabung Jaya cukup dikenal tidak terlepas dari kiprah anak sulung Almarhum Reti Sembiring Gurukinayan yaitu Kueteh Sembiring Gurukinayan, yang pada tahun 1967 pernah memperjuangkan dan mempersatukan para pengusaha otobus bus yang sejenis dari berbagai perusahaan yang selama ini telah menjalani trayek ke Medan dari Kabupaten Karo yaitu dengan mempelopori pembentukan Badan Kerjasama Perusahaan Otobus di Tanah Karo yang disebut dengan BKS (Badan Kerja Sama). Sehingga semua perusahaan tersebut bersatu dalam penentuan tarif yang wajar dan dapat diterima pemerintah maupun para pengguna jasa tersebut seirama dengan perubahan harga bahan bakar minyak (BBM) dan faktor lainnya pada waktu itu, sehingga tidak pernah terjadi perang tariff atas sesama perusahan sejenis yang menjalani trayek yang sama, akan tetapi persaingan dalam tingkat pelayanan yang diberikan kepada para penumpangnya.
Pada tahun 1975 keluarga khususnya para ahli waris Almarhum Reti Sembiring Gurukinayan hanya Arnem Sembiring Gurukinayan yang tinggal sendiri di Medan, sedangkan para ahli waris lainnya ada di Padang Sidempuan, Palembang/ Padang, Jakarta, Yogyakarta dan Balik Papan karena kuliah, bekerja maupun ikut suami. Sedangkan anak sulungnya Kueteh Sembiring Gurukinayan beserta keluarga pindah ke Jakarta akhir tahun 1974, demikian juga halnya dengan ibunda Releng br Sitepu (alm) lebih banyak mengadakan perjalanan untuk mengunjungi semua anak-anaknya yang tinggal di beberapa kota tersebut di atas. Sehingga pengelolaan PO. Sinabung Jaya hanya Arnem Sembiring Gurukinayan (alm) yang menjalankannya, praktis fungsi pengawasan yang selama ini sudah dilakukan dari tahun ke tahun oleh Kueteh Sembiring Gurukinayan tidak berjalan sebagaimana mestinya sampai satu persatu armada bus Chevrolet di jual smpai pada akhir pada tahun 1978. Sedangkan bus PO. Sinabung Jaya nomor 4 masih tinggal satu-satunya untuk bus besar perusahaan ini dioperasikan sebagai angkutan karyawan Perkebunan Bunga di Berastagi.
Pada bulan Oktober tahun 1979 kami, Rophian Sembiring Gurukinayan, salah satu ahli waris PO. Sinabung Jaya ziarah ke Gurukinayan bersama ibunda Releng br Sitepu dan Selat br Sembiring Meliala istri dari anak tertuanya Kueteh Sembiring Gurukinayan kebetulan berada di Medan untuk urusan keluarga. Maksud ziarah tersebut karena kami telah dapat menyelesaikan kuliah dan syukur langsung dapat diterima bekerja di salah satu unit litbang Departemen Perindustrian di Yogyakarta, tentu sebagai ucapan syukur seyogyanya kami ziarah sebelum bekerja pada bulan Nopember 1979. Pada waktu ziarah ke kampung Gurukinayan baru terasa bagaimana dampaknya bagi keluarga kalau tidak memiliki bus sendiri khususnya yang menjalani trayek Medan Kabanjahe atau sebaliknya, dimana untuk ziarah saja harus menumpang bis orang lain, tentu tidak seleluasa atau senyaman apabila naik bus milik sendiri. Disamping waktu berangkat maupun pulang dari ziarah tidak dapat kita tentukan sendiri, akan tetapi tergantung dari jadual keberangkatan bus lain. Pada era sampai tahun 1975, keluarga dengan leluasa untuk menentukan kapan waktu berangkat ke kampung Gurukinayan maupun kembali pulang ke Medan atau Berastagi, tapi saat itu keleluasaan seperti itu tidak ada lagi hanya sebagai kenangan.
Pada waktu kami akan pulang dari Gurukinayan setelah selesai ziarah ke kuburan ayahanda Almarhum Reti Sembiring Gurukinayan kami sudah memesan tempat bagian depan untuk kami sebelum bus PO.Sinabung Jaya (milik Tabas Surbakti) yang berangkat ke Kabanjahe. Akan tetapi setelah bus itu melewati rumah keluarga, kami tidak mendapatkan tempat duduk seperti yang sudah di pesan, sehingga kami berhimpit himpitan dengan penumpang lainnya, walaupun kami juga tidak mau gratisan alias tidak bayar.
Karena kesal terhadap awak tersebut, ayahanda Rekat Sembiring Gurukinayan berkata : “itulah kalau kita tidak memiliki bus sendiri, sehingga untuk mendapat tempat duduk yang sudah dipesanpun tidak diberikan orang , itu makanya sudah sering saya katakan belilah kembali bus kita”, sambil tidak menoleh lagi kearah kami sewaktu bus kami berangkat meninggalkan kampung Gurukinayan yang selama ini tidak pernah beliau lakukan seperti itu kalau kami jiarah ke Gurukinayan. Dalam, hati kami pasti beliau merasa sedih karena beliau tidak memiliki bus sendiri yang dapat beliau awasi seperti dulu sewaktu masih memiliki bus besar. Sejak bus besar dijual, beliau sehari-harinya tinggal di kampung Gurukinayan menanam cengkeh yang sebenarnya karena keadaan, dimana tidak ada lagi bus yang harus diawasi/ diurus, sehingga kondisi fisiknya tidak segairah pada waktu beliau masih memiliki bus sendiri untuk di kelola khususnya bus yang poolnya di Berastepu, dimana pada jaman itu beliau lebih sering tidur di Berastepu ketimbang di kampung Gurukinayan. Akan tetapi awal setelah tahun 1968 beliau lebih sering pulang pergi diantara kedua kampung tersebut karena sudah mempunyai kenderaan operasional Jeep Willis. Akhirnya kenderaan tersebut pada waktu tahun 1978 di jual karena beliau merasa tidak membutuhkannya lagi mengingat tidak ada lagi armada yang harus dikelola.
Setelah sampai di Jakarta, Selat br Sembiring Meliala menginformasikan keluhan keluarga termasuk keluhan ayahanda Rekat Sembiring Gurukinayan kepada suaminya Kueteh Sembiring Gurukinayan anak sulung almarhum ayahanda Reti Sembiring Gurukinayan: “bagaimana susahnya untuk ziarah saja ke Gurukinayan tidak senyaman dulu sewaktu masih memiliki bus keluarga dimana berangkat dan pulangnya dapat di tentukan sendiri tanpa bergantung kepada orang lain”.
Kebetulan pada bulan Oktober tahun 1981 atau tepatnya 2 (dua) tahun setelah kejadian bulan Oktober tahun 1979 di Gurukinayan, keluarga Kueteh Sembiring Gurukinayan pindah rumah baru di Jl. Delman Utama,Tanah Kusir, Kebayoran Lama Jakarta Selatan, dimana seluruh keluarga diundang untuk hadir di acara “Sumalin Jabu” (pindah rumah) di Jakarta termasuk ayahanda Rekat Sembiring Gurukinayan beserta keluarga lainnya dari kampung Gurukinayan. Sebelum berangkat ke Jakarta, ayahanda Rekat Sembiring Gurukinayan telah menginformasikan kepada keluarga di Gurukinayan, bahwa disamping untuk menghadiri acara anaknya pindah rumah di Jakarta, beliau juga mengatakan, “ akan membawa pulang dari Jakarta mobil chasiss untuk dibuat menjadi bus PO. Sinabung Jaya yang akan melayani trayek Gurukinayan pekan-pekan”.
Keluarga yang sedang berkumpul di Jakarta sama sekali tidak mengetahui rencana ayahanda Rekat Sembiring Gurukinayan bahwa beliau akan membeli mobil chasiss di Jakarta dan sudah diinformasikan kepada semua keluarga di Gurukinayan. Setelah acara pindah rumah selesai, beliau baru bercerita mengenai rencana tersebut dimana beliau juga sudah membawa uang hasil penjualan cengkehnya beberapa waktu yang lalu, berarti selama lebih dari 2 (dua) tahun beliau memang merencanakan akan membeli bus baru. Keluarga yang mendengarnya kaget karena memang tidak pernah lagi terpikirkan untuk pembelian bus baru. Anak-anaknya berpikir lain, dimana biarlah mereka pemilik bus saja yang bergabung dengan perusahaan kita, sedangkan kita tidak perlu ikut terlibat dalam pengadaan armada bus. Tapi pemikiran ayahanda lain, beliau ingin mengelola bus kembali dari awal seperti yang selama puluhan tahun sudah dilakukannya bersama abangnya Almarhum Reti Sembiring Gurukinayan.
Melihat gelagat anak-anaknya kurang berminat untuk membeli bus baru, beliau akhirnya mengancam anak-anaknya dengan berkata, “kalau pulang dari Jakarta saya tidak membawa truk seksi (chasiss) saya tidak akan pulang ke kampung Gurukinayan”.
Mendengar ancaman yang tegas tersebut, anak-anaknya kaget tapi dapat juga memakluminya karena beliau berkata bahwa bus tersebut bukan semata-mata untuk menyenangkan hatinya tapi juga untuk anak dan cucunya kalau ziarah ke kampung tidak seperti kejadian beberapa tahun belakangan ini dimana untuk datang maupun pulangnya tergantung dari bus orang lain.
Akhirnya untuk menyenangkan hati beliau, maka keluarga harus patungan untuk menambah kekurangan uang yang dibawa dari kampung guna dapat mewujudkan rencana tersebut dengan pertimbangan kondisi ayahnya akan semakin baik kesehatannya dan kembali bergairah karena ada yang harus dikerjakan setiap harinya yaitu mengawasi kembali busnya sendiri. Keluarga yang patungan adalah Kueteh Sembiring Gukinayan, Dors Erti Sembiring Gurukinayan, Rasmi Sembiring Gurukinayan, Kincar Emanuel Sembiring Gurukinayan dan Sehat Sembiring Gurukinayan, sedangkan saya sendiri baru diangkat sebagai calon pegawai negeri sipil (CPNS) di Balai Penelitian Kulit, Departemen Perindustrian di Yogyakarta sehingga belum siap untuk itu.
Dalam hal ini jelas, bahwa selama ini beliau sepenuh hati menanam cengkeh bukannya tanpa tujuan yang jelas. Karena pada waktu itu tinggal 2 (dua) orang anaknya yang harus dibiayai kuliahnya yaitu Eriwan Sembiring Gurukinayan dan Resmond Jaya Sembiring Gurukinayan yang semuanya kuliah di Yogyakarta. Beliau menabung dari hasil penjualan cengkehnya disamping untuk biaya anak-anaknya yang masih kuliah di Yogyakarta, juga mempunyai tujuan lain yaitu untuk membeli kembali bus
yang sudah beberapa tahun ini direncanakan 
tanpa sepengetahuan anak-anaknya yang selama ini mempunyai kesibukan 
masing masing di daerah lain. Sifat beliau patut manjadi contoh karena 
untuk menambah kekurangan uangnya untuk membeli bus baru, beliau 
meminjam (bukan meminta) uang kepada anak-anaknya Dimana pada saatnya 
nanti akan dikembalikan  sesuai dengan jumlah pinjaman yang diberikan 
setiap anaknya tersebut di atas. Setelah uang terkumpul ditambah dari 
uang ayahanda Rekat Sembiring Gurukinayan dari hasil penjualan cengkeh 
maka dibelilah 1 (satu) unit bus baru engkel Colt Diesel merk Toyota 
tahun 1981 (lihat jenis bus S.Jaya 016 tersebut di atas) dan kemudian 
dibawa ke Medan melalui jalan darat, dan beliau sendiri yang ikut 
mendampingi cucunya Senen Sembiring Gurukinayan (cucunya) sebagai 
pengemudi. Sangkin gembiranya orang tua kami ini langsung membawa truk 
chasiss tersebut ke desa Gurukinayan dan setiap hari dikenderai keliling
 desa sebelum dibawa ke Medan untuk dibentuk karoserinya. Setelah 
selesai karoserinya, bus tersebut masuk armada PO. Sinabung Jaya dengan 
nomor lambung 20. Hanya dalam tempo yang singkat ayahanda Rekat 
Sembiring Gurukinayan dapat mengembalikan semua uang yang dipinjam dari 
anaknya. Malah dari bus nomor 20  tersebut  sampai   akhir hayatnya 
ayahnda Rekat Sembiring Gurukinayan meninggalkan 3 (tiga) unit bus 
Toyota Colt Diesel engkel nomor lambung 20 dan 40 (dibeli dari 
saudaranya sipemeren Tiang Tarigan yang berasal dari Berastepu pada 
tahun 1983) serta tigaperempat nomor 50. Beliau yang lahir pada tahun 
1912 di Gurukinayan  meninggal   pada tanggal 21 Juli 1989 jam 8.30 pagi
 dalam usia 77 tahun di Rumah Sakit Kabanjahe dengan meninggalkan 
seorang istri ibunda Goto br Sitepu yang juga berasal dari Brastepu 
serta 5 (lima) orang anak 2 (dua) perempuan dan 3 (tiga) laki-laki yaitu
 Nimpan br Sembiring Gurukinayan, Anna br Sembiring Gurukinayan, Rumah 
Pudung Sembiring Gurukinayan, Kincar Emanuel Sembiring Gurukinayan  dan 
 Sehat Sembiring Gurukinayan. Almarhum dikebumikan di samping abang 
sulungnya almarhum Reti Sembiring Gurukinayan di ladang Tambak Rahu 
kampung Gurukinayan. Sedangkan ibunda Goto br Sitepu, yang pada saat ini
 berumur 92 (sembilan puluh dua) tahun anak dari saudara laki-laki 
ibunya sampai pada saat ini  masih dalam keadaan sehat dan tinggal 
bersama anak laki-lakinya Rumah Pudung Sembiring Gurukinayan di  Medan.
Pada waktu itu, mengingat bus engkel (roda empat) dianggap tidak aman untuk menjalani rute Kabanjahe – Medan karena sering terjadi kecelakaan, maka dikeluarkan peraturan bahwa secara bertahap bus engkel tidak diizinkan lagi untuk menjalani rute tersebut dan harus di ganti dengan bis tiga perempat ton atau roda enam. Sedangkan untuk rute pekan – pekan masih diizinkan untuk menggunakan bis engkel untuk jangka waktu tertentu, dimana pada suatu saat apabila ada peremajaan armada kepada pemilik bus diwajibkan untuk mengganti armadanya dengan bus tigaperempat.
Adapun jumlah armada yang dimiliki oleh pengusaha kecil yang bergabung dalam perusahaan ini berdasarkan Izin Perusahaan Angkutan Mobil Bus Umum PO. Sinabung Jaya sebanyak 102 unit berdasarkan Surat Keputusan Kepala Daerah Tingkat II Kabupaten Karo Nomor 551.21/116-40 HUK/ Tahun 1993 tanggal 4 Pebruari 1993 yang seluruhnya menggunakan merk Mitsubishi.
Setelah diberikannya ijin bagi pengusaha bus di luar keluarga untuk dapat bergabung di Perusahaan Otobus PO. Sinabung Jaya, maka perusahaan ini telah berkembang cukup pesat di bawah manajemen Arnem Sembiring Gurukinayan yang selama ini sudah diberi kuasa oleh Releng br Karo selaku Direksi PO. Sinabung Jaya untuk mengelola dan mengembangkan PO. Sinabung Jaya sesuai dengan apa yang di cita-citakan oleh almarhum Reti Sembiring Gurukinayan (Pa Kueteh) yang mulanya hanyalah sebagai kernek bus pada tahun tiga puluhan atau tepatnya pada jaman penjajahan Belanda maupun Jepang.
Pada waktu itu, mengingat bus engkel (roda empat) dianggap tidak aman untuk menjalani rute Kabanjahe – Medan karena sering terjadi kecelakaan, maka dikeluarkan peraturan bahwa secara bertahap bus engkel tidak diizinkan lagi untuk menjalani rute tersebut dan harus di ganti dengan bis tiga perempat ton atau roda enam. Sedangkan untuk rute pekan – pekan masih diizinkan untuk menggunakan bis engkel untuk jangka waktu tertentu, dimana pada suatu saat apabila ada peremajaan armada kepada pemilik bus diwajibkan untuk mengganti armadanya dengan bus tigaperempat.
Adapun jumlah armada yang dimiliki oleh pengusaha kecil yang bergabung dalam perusahaan ini berdasarkan Izin Perusahaan Angkutan Mobil Bus Umum PO. Sinabung Jaya sebanyak 102 unit berdasarkan Surat Keputusan Kepala Daerah Tingkat II Kabupaten Karo Nomor 551.21/116-40 HUK/ Tahun 1993 tanggal 4 Pebruari 1993 yang seluruhnya menggunakan merk Mitsubishi.
Setelah diberikannya ijin bagi pengusaha bus di luar keluarga untuk dapat bergabung di Perusahaan Otobus PO. Sinabung Jaya, maka perusahaan ini telah berkembang cukup pesat di bawah manajemen Arnem Sembiring Gurukinayan yang selama ini sudah diberi kuasa oleh Releng br Karo selaku Direksi PO. Sinabung Jaya untuk mengelola dan mengembangkan PO. Sinabung Jaya sesuai dengan apa yang di cita-citakan oleh almarhum Reti Sembiring Gurukinayan (Pa Kueteh) yang mulanya hanyalah sebagai kernek bus pada tahun tiga puluhan atau tepatnya pada jaman penjajahan Belanda maupun Jepang.
| Foto armada bus Po. Sinabung Jaya tahun 1991 di desa Gurukinayan, di belakang terlihat gungung Sinabung | 
9.  TAHUN 1996
Akan tetapi pada tanggal 01 Januari 1996 jam 18.15 WIB setelah dilakukan “Perjamuan Kudus” pada jam 18.00 WIB oleh Penedeta Ernolong Sitepu (ipar Resmond Jaya Sembiring Gurukinayan) ibunda Releng br Sitepu sebagai Direksi PO. Sinabung Jaya istri Almarhum Reti Sembiring Gurukinayan meninggal dunia di Rumah Sakit Mongonsidi dalam usia 88 tahun. Dimana sebelumnya keluarga masih diberikan Tuhan kesempatan dengan semua anak dan cucunya di Rumah Sakit tersebut untuk merayakan detik-detik menjelang Tahun Baru 2006 pada jam 21.00 WIB dan almarhum masih dapat memberikan nasihat “Terakhir” kepada kami semua keluarga sampai menjelang tahun baru 1996, semua kejadian tersebut sampai detik-detik nafas terakhir dapat diabadikan dalam video handycamp keluarga.
Pada malam itu juga jasad ibunda disemayamkan di rumah duka anaknya Arnem Sembiring di Jalan Seroja Lingkungan VII nomor 18 Kelurahan Tanjung Selamat, Medan Tuntungan, Medan selama satu malam. Kemudian tanggal 02 Januari 1996 jam 09.00 WIB jasad ibunda dibawa ke kampung Gurukinayan dan disemayamkan satu malam di rumah adat “Waluh Jabu”, sambil menunggu keesokan harinya dilakukan acara adat sampai tengah malam dengan diiringi alat musik tradisional Batak Karo. Keesokan harinya dilakukan acara adapt “Cawir Metua” dimana anak-anaknya berpakaian adat lengkap termasuk semua keluarga kesain Rumah Pudung Sembiring Gurukinayan. Pada sore harinya tanggal 3 Januari 1996 dikebumikan disamping suaminya almarhum Reti Sembiring Gurukinayan, pendiri dan pemilik perusahaan otobus PO. Sinabung Jaya di ladang Tambak Rahu Gurukinayan.
Akan tetapi pada tanggal 01 Januari 1996 jam 18.15 WIB setelah dilakukan “Perjamuan Kudus” pada jam 18.00 WIB oleh Penedeta Ernolong Sitepu (ipar Resmond Jaya Sembiring Gurukinayan) ibunda Releng br Sitepu sebagai Direksi PO. Sinabung Jaya istri Almarhum Reti Sembiring Gurukinayan meninggal dunia di Rumah Sakit Mongonsidi dalam usia 88 tahun. Dimana sebelumnya keluarga masih diberikan Tuhan kesempatan dengan semua anak dan cucunya di Rumah Sakit tersebut untuk merayakan detik-detik menjelang Tahun Baru 2006 pada jam 21.00 WIB dan almarhum masih dapat memberikan nasihat “Terakhir” kepada kami semua keluarga sampai menjelang tahun baru 1996, semua kejadian tersebut sampai detik-detik nafas terakhir dapat diabadikan dalam video handycamp keluarga.
Pada malam itu juga jasad ibunda disemayamkan di rumah duka anaknya Arnem Sembiring di Jalan Seroja Lingkungan VII nomor 18 Kelurahan Tanjung Selamat, Medan Tuntungan, Medan selama satu malam. Kemudian tanggal 02 Januari 1996 jam 09.00 WIB jasad ibunda dibawa ke kampung Gurukinayan dan disemayamkan satu malam di rumah adat “Waluh Jabu”, sambil menunggu keesokan harinya dilakukan acara adat sampai tengah malam dengan diiringi alat musik tradisional Batak Karo. Keesokan harinya dilakukan acara adapt “Cawir Metua” dimana anak-anaknya berpakaian adat lengkap termasuk semua keluarga kesain Rumah Pudung Sembiring Gurukinayan. Pada sore harinya tanggal 3 Januari 1996 dikebumikan disamping suaminya almarhum Reti Sembiring Gurukinayan, pendiri dan pemilik perusahaan otobus PO. Sinabung Jaya di ladang Tambak Rahu Gurukinayan.
10.  TAHUN  2004
Pada saat ini PO. Sinabung Jaya telah memiliki armada sebanyak 83 unit yang melayani trayek dari Medan ke berbagai kota/ desa khususnya yang ada di daerah Kabupaten Karo dan sekitarnya. Sedangkan khusus untuk trayek Angkutan Pedesaan sebagian besar menggunakan mini bus sejenis Mitsubishi L300 maupun Toyota Kijang.
Pada hari Jumat tanggal 7 Mei 2004 jam 05.15 pagi keluarga PO. Sinabung Jaya kembali berduka karena pada tanggal tersebut Arnem Sembiring Gurukinayan yang lahir pada tahun 1942 meninggal dunia di Rumah Sakit Glean Eagles Medan dalam usia 62 tahun. Almarhum meninggalkan 4 (empat) orang anak yaitu Febrian Jaya Sembiring Gurukinayan, Ervina Suryati br Sembiring Gurukinayan, Dewi Indri Yani br Sembiring Gurukinayan dan yang bungsu Tamra Aryo Imanuel Sembiring Gurukinayan, serta meninggalkan 13 (tiga belas) unit bus PO. Sinabung Jaya milik keluarganya. Almarhum disemayamkan di rumah duka Jl. Seroja Lingkungan VII nomor 18, Kelurahan Tanjung Selamat, Medan Tuntungan, Medan selama satu malam, kemudian pada hari Sabtu tanggal 8 Mei 2004 di bawa ke Jambur Namaken Medan untuk dilakukan acara penguburan sesuai dengan adat Batak Karo, dan pada jam.15.00 WIB di bawa ke kampung Gurukinayan dengan diiringi keluarga serta semua armada yang dimiliki ikut mengantar jenajah almarhum sebagai bentuk penghormatan terakhir bagi almarhum yang mempunyai andil dalam mengembangkan PO. Sinabung Jaya. Selanjutnya sampai di Gurukinayan disemayamkan beberapa menit dirumah saudara bungsu ayahnya almarhum Rekat Sembiring Gurukinayan, dan pada jam 18.00 dikebumikan di ladang Tambak Rahu Gurukinayan, disamping kuburan ketiga almarhum orang tuanya.
Semasa hidupnya beliau menerapkan kepada dirinya pola hidup bersahaja sesuai dengan apa yang almarhum rasakan dan terima dari hasil didikan ketiga orang tuanya tersebut di atas, yang juga menerapkan pola hidup yang sama. Hal ini dapat dilihat dari cara berpakaian dan kenderaan yang dipakai untuk sehari-hari semuanya menunjukkan kesederhanaan walaupun almarhum mampu menerapkan pola hidup yang lebih baik, tapi almarhum mempunyai prinsip apa yang sudah didapat harus disyukuri dan dinikmati dengan tidak harus berlebihan.
Pada saat ini PO. Sinabung Jaya telah memiliki armada sebanyak 83 unit yang melayani trayek dari Medan ke berbagai kota/ desa khususnya yang ada di daerah Kabupaten Karo dan sekitarnya. Sedangkan khusus untuk trayek Angkutan Pedesaan sebagian besar menggunakan mini bus sejenis Mitsubishi L300 maupun Toyota Kijang.
Pada hari Jumat tanggal 7 Mei 2004 jam 05.15 pagi keluarga PO. Sinabung Jaya kembali berduka karena pada tanggal tersebut Arnem Sembiring Gurukinayan yang lahir pada tahun 1942 meninggal dunia di Rumah Sakit Glean Eagles Medan dalam usia 62 tahun. Almarhum meninggalkan 4 (empat) orang anak yaitu Febrian Jaya Sembiring Gurukinayan, Ervina Suryati br Sembiring Gurukinayan, Dewi Indri Yani br Sembiring Gurukinayan dan yang bungsu Tamra Aryo Imanuel Sembiring Gurukinayan, serta meninggalkan 13 (tiga belas) unit bus PO. Sinabung Jaya milik keluarganya. Almarhum disemayamkan di rumah duka Jl. Seroja Lingkungan VII nomor 18, Kelurahan Tanjung Selamat, Medan Tuntungan, Medan selama satu malam, kemudian pada hari Sabtu tanggal 8 Mei 2004 di bawa ke Jambur Namaken Medan untuk dilakukan acara penguburan sesuai dengan adat Batak Karo, dan pada jam.15.00 WIB di bawa ke kampung Gurukinayan dengan diiringi keluarga serta semua armada yang dimiliki ikut mengantar jenajah almarhum sebagai bentuk penghormatan terakhir bagi almarhum yang mempunyai andil dalam mengembangkan PO. Sinabung Jaya. Selanjutnya sampai di Gurukinayan disemayamkan beberapa menit dirumah saudara bungsu ayahnya almarhum Rekat Sembiring Gurukinayan, dan pada jam 18.00 dikebumikan di ladang Tambak Rahu Gurukinayan, disamping kuburan ketiga almarhum orang tuanya.
Semasa hidupnya beliau menerapkan kepada dirinya pola hidup bersahaja sesuai dengan apa yang almarhum rasakan dan terima dari hasil didikan ketiga orang tuanya tersebut di atas, yang juga menerapkan pola hidup yang sama. Hal ini dapat dilihat dari cara berpakaian dan kenderaan yang dipakai untuk sehari-hari semuanya menunjukkan kesederhanaan walaupun almarhum mampu menerapkan pola hidup yang lebih baik, tapi almarhum mempunyai prinsip apa yang sudah didapat harus disyukuri dan dinikmati dengan tidak harus berlebihan.
Pola hidup bersahaja tersebut sudah beliau terapkan dalam hidupnya 
tidak hanya beberapa tahun terakhir, tapi sejak almarhum dibesarkan dan 
dididik orang tuanya yang ikut merasakan bagaimana suka dukanya ikut 
mengungsi ke hutan sewaktu agresi Belanda yang kedua yang pada waktu itu
 almarhum masih berumur 5 (lima) tahun yang sudah diberi tugas untuk 
membawa teko yang didaerah Batak Karo disebut “Cerek”, sehingga sampai 
pada masa remajanya almarhum dijuluki dilingkungan keluarga dengan 
panggilan “Pa Cerek” atau Bapak Teko. Pola hidup bersahaja tersebut 
lebih diaplikasikan lagi dalam hidupnya sewaktu almarhum ayahnya Reti 
Sembiring Gurukinayan meninggal dunia, dimana almarhum beserta abang 
sulungnya Kueteh Sembiring Gurukinayan (alm)  harus membantu ibunya 
untuk meneruskan dan memajukan perusahaan otobus PO. Sinabung Jaya.
Demikian juga pada hari Minggu tanggal 25 Juni 2006 generasi pertama 
para pendiri maupun pengembang PO. Sinabung Jaya telah berakhir karena 
ibunda Goto br Sitepu istri Almarhum Rekat Sembiring Gurukinayan (adik 
bungsu Reti Sembiring Gurukinayan) yang tinggal satu-satunya Generasi 
Pertama PO. Sinabung Jaya telah meninggal dunia dengan tenang karena 
usia tua pada usia yang ke 92 (sembilan puluh dua) tahun. Dikebumikan 
pada hari Rabu tanggal 28 Juni 2006 dengan “Acara Cawir Metua Rose 
Lengkap Eremas-emas” (Acara lengkap penguburan dalam adat Karo) di 
ladang Tambak Rahu Kampung Gurukinayan disamping almarhum ayahanda Rekat
 Sembiring Gurukinayan dan almarhum Reti Sembiring Gurukinayan serta 
ibunda almarhumah Releng br Sitepu. Sehingga dengan demikian berakhirlah
 sudah generasi pertama pendiri dan pengembang perusahaan otobus PO. 
SINABUNG JAYA.
Sumber : http://www.sinabungjaya.com 
 
 Home
 Home.jpg)
 






.jpg) 
 
 
 
 
.jpg) 
 
 
 
 
ini dokumentasi yang berharga. mudah2an tidak hilang dan bisa diabadikan, sebagai catatan sejarah..
BalasHapus