1. Medan Tanah Deli
Pada  zaman dahulu Kota Medan ini dikenal dengan 
nama Tanah Deli dan keadaan  tanahnya berawa-rawa kurang lebih seluas 
4000 Ha. Beberapa sungai  melintasi Kota Medan ini dan semuanya bermuara
 ke Selat Malaka.  Sungai-sungai itu adalah Sei Deli, Sei Babura, Sei 
Sikambing, Sei Denai, Sei  Putih, Sei Badra, Sei Belawan dan Sei Sulang 
Saling/Sei Kera.
Dahulu  orang menamakan Tanah Deli mulai dari 
Sungai Ular (Deli Serdang) sampai  ke Sungai Wampu di Langkat sedangkan 
Kesultanan Deli yang berkuasa pada  waktu itu wilayah kekuasaannya tidak
 mencakup daerah diantara kedua  sungai tersebut.
Secara keseluruhan jenis  tanah di wilayah Deli 
terdiri dari tanah liat, tanah pasir, tanah  campuran, tanah hitam, 
tanah coklat dan tanah merah. Hal ini merupakan  penelitian dari Van 
Hissink tahun 1900 yang dilanjutkan oleh penelitian  Vriens tahun 1910 
bahwa disamping jenis tanah seperti tadi ada lagi  ditemui jenis tanah 
liat yang spesifik. Tanah liat inilah pada waktu  penjajahan Belanda 
ditempat yang bernama Bakaran Batu (sekarang Medan  Tenggara atau 
Menteng) orang membakar batu bata yang berkwalitas tinggi  dan salah 
satu pabrik batu bata pada zaman itu adalah Deli Klei. 
Mengenai  curah hujan di Tanah Deli digolongkan 
dua macam yakni : Maksima Utama  dan Maksima Tambahan. Maksima Utama 
terjadi pada bulan-bulan Oktober  s/d bulan Desember sedang Maksima 
Tambahan antara bulan Januari s/d  September. Secara rinci curah hujan 
di Medan rata-rata 2000 pertahun  dengan intensitas rata-rata 4,4 
mm/jam. 
Menurut  Volker pada tahun 1860 Medan masih 
merupakan hutan rimba dan disana  sini terutama dimuara-muara sungai 
diselingi pemukiman-pemukiman  penduduk yang berasal dari Karo dan 
semenanjung Malaya. Pada tahun 1863  orang-orang Belanda mulai membuka 
kebun Tembakau di Deli yang sempat  menjadi primadona Tanah Deli. Sejak 
itu perekonomian terus berkembang  sehingga Medan menjadi Kota pusat 
pemerintahan dan perekonomian di  Sumatera Utara.
2. Kampung Medan dan Tembakau Deli
Pada awal perkembangannya merupakan sebuah 
kampung kecil bernama "Medan  Putri". Perkembangan Kampung "Medan Putri"
 tidak terlepas dari  posisinya yang strategis karena terletak di 
pertemuan sungai Deli dan  sungai Babura, tidak jauh dari jalan Putri 
Hijau sekarang. Kedua sungai  tersebut pada zaman dahulu merupakan jalur
 lalu lintas perdagangan yang  cukup ramai, sehingga dengan demikian 
Kampung "Medan Putri" yang  merupakan cikal bakal Kota Medan, cepat 
berkembang menjadi pelabuhan  transit yang sangat penting.
lahirlah anak kedua Guru Patimpus dan anak inipun laki-laki dinamai si Kecik.
Pada  zamannya Guru Patimpus merupakan tergolong 
orang yang berfikiran maju.  Hal ini terbukti dengan menyuruh anaknya 
berguru (menuntut ilmu)  membaca Alqur’an kepada Datuk Kota Bangun dan 
kemudian memperdalam  tentang agama Islam ke Aceh.
Keterangan  yang menguatkan bahwa adanya Kampung 
Medan ini adalah keterangan H.  Muhammad Said yang mengutip melalui buku
 Deli In Woord en Beeld ditulis  oleh N.Ten Cate. Keterangan tersebut 
mengatakan bahwa dahulu kala  Kampung Medan ini merupakan Benteng dan 
sisanya masih ada terdiri dari  dinding dua lapis berbentuk bundaran 
yang terdapat dipertemuan antara  dua sungai yakni Sungai Deli dan 
sungai Babura. Rumah Administrateur  terletak diseberang sungai dari 
kampung Medan. Kalau kita lihat bahwa  letak dari Kampung Medan ini 
adalah di Wisma Benteng sekarang dan rumah  Administrateur tersebut 
adalah kantor PTP IX Tembakau Deli yang  sekarang ini.
Sekitar tahun 1612 setelah  dua dasa warsa 
berdiri Kampung Medan, Sultan Iskandar Muda yang  berkuasa di Aceh 
mengirim Panglimanya bernama Gocah Pahlawan yang  bergelar Laksamana 
Kuda Bintan untuk menjadi pemimpin yang mewakili  kerajaan Aceh di Tanah
 Deli. 
Gocah Pahlawan membuka negeri baru  di Sungai 
Lalang, Percut. Selaku Wali dan Wakil Sultan Aceh serta  dengan 
memanfaatkan kebesaran imperium Aceh, Gocah Pahlawan berhasil  
memperluas wilayah kekuasaannya, sehingga meliputi Kecamatan Percut Sei 
 Tuan dan Kecamatan Medan Deli sekarang. Dia juga mendirikan  
kampung-kampung Gunung Klarus, Sampali, Kota Bangun, Pulau Brayan, Kota 
 Jawa, Kota Rengas Percut dan Sigara-gara.
Dengan  tampilnya Gocah pahlawan mulailah 
berkembang Kerajaan Deli dan tahun  1632 Gocah Pahlawan kawin dengan 
putri Datuk Sunggal. Setelah terjadi  perkawinan ini raja-raja di 
Kampung Medan menyerah pada Gocah Pahlawan.
Gocah  Pahlawan wafat pada tahun 1653 dan 
digantikan oleh puteranya Tuangku  Panglima Perunggit, yang kemudian 
memproklamirkan kemerdekaan  Kesultanan Deli dari Kesultanan Aceh pada 
tahun 1669, dengan ibukotanya  di Labuhan, kira-kira 20 km dari Medan.
Jhon  Anderson seorang Inggris melakukan 
kunjungan ke Kampung Medan tahun  1823 dan mencatat dalam bukunya 
Mission to the East Coast of Sumatera  bahwa penduduk Kampung Medan pada
 waktu itu masih berjumlah 200 orang  tapi dia hanya melihat penduduk 
yang berdiam dipertemuan antara dua  sungai tersebut. Anderson 
menyebutkan dalam bukunya “Mission to the  East Coast of Sumatera“ 
(terbitan Edinburg 1826) bahwa sepanjang sungai  Deli hingga ke dinding 
tembok mesjid Kampung Medan di bangun dengan  batu-batu granit berbentuk
 bujur sangkar. Batu-batu ini diambil dari  sebuah Candi Hindu Kuno di 
Jawa.
Pesatnya  perkembangan Kampung "Medan Putri", 
juga tidak terlepas dari perkebunan  tembakau yang sangat terkenal 
dengan tembakau Delinya, yang merupakan  tembakau terbaik untuk 
pembungkus cerutu. Pada tahun 1863, Sultan Deli  memberikan kepada 
Nienhuys Van der Falk dan Elliot dari Firma Van  Keeuwen en Mainz & 
Co, tanah seluas 4.000 bahu (1 bahu = 0,74 ha)  secara erfpacht 20 tahun
 di Tanjung Sepassi, dekat Labuhan. Contoh  tembakau deli. Maret 1864, 
contoh hasil panen dikirim ke Rotterdam di  Belanda, untuk diuji 
kualitasnya. Ternyata daun tembakau tersebut  sangat baik dan 
berkualitas tinggi untuk pembungkus cerutu.
Kemudian  di tahun 1866, Jannsen, P.W. Clemen, 
Cremer dan Nienhuys mendirikan de  Deli Maatscapij di Labuhan. Kemudian 
melakukan ekspansi perkebunan baru  di daerah Martubung, Sunggal (1869),
 Sungai Beras dan Klumpang (1875),  sehingga jumlahnya mencapai 22 
perusahaan perkebunan pada tahun 1874.  Mengingat kegiatan perdagangan 
tembakau yang sudah sangat luas dan  berkembang, Nienhuys memindahkan 
kantor perusahaannya dari Labuhan ke  Kampung "Medan Putri". Dengan 
demikian "Kampung Medan Putri" menjadi  semakin ramai dan selanjutnya 
berkembang dengan nama yang lebih dikenal  sebagai "Kota Medan".
3. Legenda Kota Medan
Menurut  legenda di zaman dahulu kala pernah 
hidup di Kesultanan Deli lama  kira-kira 10 Km dari Kampung Medan yakni 
di Deli Tua sekarang seorang  Putri yang sangat cantik dan karena 
kecantikannya diberi nama Putri  Hijau. Kecantikan Putri ini tersohor 
kemana-mana mulai dari Aceh sampai  ke ujung Utara Pulau Jawa. 
Sultan Aceh  jatuh cinta pada Putri itu dan 
melamarnya untuk dijadikan  permaisurinya. Lamaran Sultan Aceh itu 
ditolak oleh saudara kedua  laki-laki Putri Hijau. Sultan aceh sangat 
marah karena penolakan itu  dianggapnya sebagai penghinaan terhadap 
dirinya. Maka pecahlah perang  antara Kesultanan Aceh dengan Kesultanan 
Deli.
KesultananDeli  lama mengalami kekalahan dalam 
peperangan itu dan karena kecewa Putra  Mahkota yang menjelma menjadi 
meriam itu meledak sebagian, bagian  belakangnya terlontar ke Labuhan 
Deli dan bagian depannya kedataran  tinggi Karo kira-kira 5 Km dari 
Kabanjahe.
Putri  Hijau ditawan dan dimasukkan dalam sebuah 
peti kaca yang dimuat kedalam  kapal untuk seterusnya dibawa ke Aceh. 
Ketika kapal sampai di Ujung  Jambo Aye, Putri Hijau mohon diadakan satu
 upacara untuknya sebelum  peti diturunkan dari kapal. Atas 
permintaannya, harus diserahkan  padanya sejumlah beras dan beribu-ribu 
telur dan permohonan tuan Putri  dikabulkan. Tetapi baru saja uapacara 
dimulai tiba-tiba berhembuslah  angin ribut yang maha dahsyat disusul 
gelombang-gelombang yang sangat  tinggi.
Dari dalam laut muncullah abangnya  yang telah 
menjelma menjadi ular naga itu dan dengan menggunakan  rahangnya yang 
besar itu diambilnya peti tempat adiknya dikurung, lalu  dibawanya masuk
 ke dalam laut.
Legenda ini samapai sekarang masih terkenal di 
kalangan masyarakat Deli dan malahan juga dalam masyarakat Melayu di 
Malaysia.
Di  Deli Tua masih terdapat reruntuhan Benteng 
dan Puri yang berasal dari  zaman Putri Hijau, sedang sisa meriam 
penjelmaan abang Putri Hijau itu  dapat dilihat di halaman Istana Maimun
 Medan.
4. Penjajahan Belanda di Tanah Deli
Belanda  yang menjajah Nusantara kurang lebih 
setengah abad namun untuk  menguasai Tanah Deli mereka sangat banyak 
mengalami tantangan yang  tidak sedikit. Mereka mengalami perang di Jawa
 dengan pangeran  Diponegoro sekitar tahun 1825-1830. Belanda sangat 
banyak mengalami  kerugian sedangkan untuk menguasai Sumatera, Belanda 
juga berperang  melawan Aceh, Minangkabau, dan Sisingamangaraja di 
daerah Tapanuli.
Jadi  untuk menguasai Tanah Deli Belanda hanya 
kurang lebih 78 tahun mulai  dari tahun 1864 sampai 1942. Setelah perang
 Jawa berakhir barulah  Gubernur Jenderal Belanda J.Van den Bosch 
mengerahkan pasukannya ke  Sumatera dan dia memperkirakan untuk 
menguasai Sumatera secara  keseluruhan diperlukan waktu 25 tahun. 
Penaklukan Belanda atas Sumatera  ini terhenti ditengah jalan karena 
Menteri Jajahan Belanda waktu itu  J.C.Baud menyuruh mundur pasukan 
Belanda di Sumatera walaupun mereka  telah mengalahkan Minangkabau yang 
dikenal dengan nama perang Paderi (  1821-1837 ).
Sultan Ismail yang berkuasa di  Riau secara 
tiba-tiba diserang oleh gerombolan Inggeris dengan  pimpinannya bernama 
Adam Wilson. Berhubung pada waktu itu kekuatannya  terbatas maka Sultan 
Ismail meminta perlindungan pada Belanda. Sejak  saat itu terbukalah 
kesempatan bagi Belanda untuk menguasai Kerajaan  Siak Sri Indrapura 
yang rajanya adalah Sultan Ismail. Pada tanggal 1  Februari 1858 Belanda
 mendesak Sultan Ismail untuk menandatangani  perjanjian agar daerah 
taklukan kerajaan Siak Sri Indrapura termasuk  Deli, Langkat dan Serdang
 di Sumatera Timur masuk kekuasaan Belanda.  Karena daerah Deli telah 
masuk kekuasaan Belanda otomatislah Kampung  Medan menjadi jajahan 
Belanda, tapi kehadiran Belanda belum secara  fisik menguasai Tanah 
Deli.
Pada tahun 1858  juga Elisa Netscher diangkat 
menjadi Residen Wilayah Riau dan sejak itu  pula dia mengangkat dirinya 
menjadi pembela Sultan Ismail yang berkuasa  di kerajaan Siak. Tujuan 
Netscher itu adalah dengan duduknya dia  sebagai pembela Sultan Ismail 
secara politis tentunya akan mudah bagi  Netscher menguasai daerah 
taklukan kerajaan Siak yakni Deli yang di  dalamnya termasuk Kampung 
Medan Putri.
Perkembangan  Medan Putri menjadi pusat 
perdagangan telah mendorongnya menjadi pusat  pemerintahan. Tahun 1879, 
Ibukota Asisten Residen Deli dipindahkan dari  Labuhan ke Medan, 1 Maret
 1887,Ibukota Residen Sumatera Timur  dipindahkan pula dari Bengkalis ke
 Medan, Istana Kesultanan Deli yang  semula berada di Kampung Bahari 
(Labuhan) juga pindah dengan selesainya  pembangunan Istana Maimoon pada
 tanggal 18 Mei 1891, dan dengan  demikian Ibukota Deli telah resmi 
pindah ke Medan. 
Pada  tahun 1915 Residensi Sumatera Timur 
ditingkatkan kedudukannya menjadi  Gubernemen. Pada tahun 1918 Kota 
Medan resmi menjadi Gemeente (Kota  Praja) dengan Walikota Baron Daniel 
Mac Kay. Berdasarkan "Acte van  Schenking" (Akte Hibah) Nomor 97 Notaris
 J.M. de-Hondt Junior, tanggal  30 Nopember 1918, Sultan Deli 
menyerahkan tanah kota Medan kepada  Gemeente Medan, sehingga resmi 
menjadi wilayah di bawah kekuasaan  langsung Hindia Belanda. Pada masa 
awal Kotapraja ini, Medan masih  terdiri dari 4 kampung, yaitu Kampung 
Kesawan, Kampung Sungai Rengas,  Kampung Petisah Hulu dan Kampung 
Petisah Hilir.
Pada  tahun 1918 penduduk Medan tercatat sebanyak
 43.826 jiwa yang terdiri  dari Eropa 409 orang, Indonesia 35.009 orang,
 Cina 8.269 orang dan  Timur Asing lainnya 139 orang. 
Sejak itu  Kota Medan berkembang semakin pesat. 
Berbagai fasilitas dibangun.  Beberapa diantaranya adalah Kantor Stasiun
 Percobaan AVROS di Kampung  Baru (1919), sekarang RISPA, hubungan 
Kereta Api Pangkalan Brandan -  Besitang (1919), Konsulat Amerika 
(1919), Sekolah Guru Indonesia di Jl.  H.M. Yamin sekarang (1923), 
Mingguan Soematra (1924), Perkumpulan  Renang Medan (1924), Pusat Pasar,
 R.S. Elizabeth, Klinik Sakit Mata dan  Lapangan Olah Raga Kebun Bunga 
(1929).
Secara  historis perkembangan Kota Medan, sejak 
awal telah memposisikan menjadi  pusat perdagangan (ekspor-impor) sejak 
masa lalu. sedang dijadikannya  medan sebagai ibukota deli juga telah 
menjadikannya Kota Medan  berkembang menjadi pusat pemerintah. sampai 
saat ini disamping  merupakan salah satu daerah kota, juga sekaligus 
sebagai ibukota  Propinsi Sumatera Utara.
5. Kota Medan Masa Penjajahan Jepang
Tahun  1942 penjajahan Belanda berakhir di 
Sumatera yang ketika itu Jepang  mendarat dibeberapa wilayah seperti 
Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan  khusus di Sumatera Jepang mendarat di 
Sumatera Timur.
Tentara Jepang yang mendarat di Sumatera adalah tentara XXV yang berpangkalan di Shonanto yang lebih dikenal dengan
 nama Singapore,  tepatnya mereka mendarat tanggal 11 malam 12 Maret 
1942. Pasukan ini  terdiri dari Divisi Garda Kemaharajaan ke-2 ditambah 
dengan Divisi  ke-18 dipimpin langsung oleh Letjend. Nishimura. Ada 
empat tempat  pendaratan mereka ini yakni Sabang, Ulele, Kuala Bugak 
(dekat Peurlak  Aceh Timur sekarang) dan Tanjung Tiram (kawasan Batubara
 sekarang).
Pasukan  tentara Jepang yang mendarat di kawasan 
Tanjung Tiram inilah yang masuk  ke Kota Medan, mereka menaiki sepeda 
yang mereka beli dari rakyat  disekitarnya secara barter. Mereka 
bersemboyan bahwa mereka membantu  orang Asia karena mereka adalah 
saudara Tua orang-orang Asia sehingga  mereka dieluelukan menyambut 
kedatangannya.
Ketika  peralihan kekuasaan Belanda kepada Jepang
 Kota Medan kacau balau, orang  pribumi mempergunakan kesempatan ini 
membalas dendam terhadap orang  Belanda. Keadaan ini segera ditertibkan 
oleh tentara Jepang dengan  mengerahkan pasukannya yang bernama “ 
Kempetai “ (Polisi Militer  Jepang). Dengan masuknya Jepang di Kota 
Medan keadaan segera berubah  terutama pemerintahan sipilnya yang zaman 
Belanda disebut “Gemeente  Bestuur “ oleh Jepang dirobah menjadi “Medan 
Sico“ (Pemerintahan  Kotapraja). Yang menjabat pemerintahan sipil di 
tingkat Kotapraja Kota  Medan ketika itu hingga berakhirnya kekuasaan 
Jepang bernama Hoyasakhi.  Untuk tingkat keresidenan di Sumatera Timur 
karena masyarakatnya  heterogen disebut Syucokan yang ketika itu dijabat
 oleh T.Nakashima,  pembantu Residen disebut dengan Gunseibu.
Penguasaan  Jepang semakin merajalela di Kota 
Medan mereka membuat masyarakat  semakin papa, karena dengan kondisi 
demikianlah menurut mereka semakin  mudah menguasai seluruh Nusantara, 
semboyan saudara Tua hanyalah  semboyan saja. Disebelah Timur Kota Medan
 yakni Marindal sekarang  dibangun Kengrohositai sejenis pertanian 
kolektif. Dikawasan Titi  Kuning Medan Johor sekarang tidak jauh dari 
lapangan terbang Polonia  sekarang mereka membangun landasan pesawat 
tempur Jepang.
6. Kota Medan Menyambut Kemerdekaan Republik Indonesia
Dimana-mana  diseluruh Indonesia menjelang tahun 
1945 bergema persiapan Proklamasi  demikian juga di Kota Medan tidak 
ketinggalan para tokoh pemudanya  melakukan berbagai macam persiapan. 
Mereka mendengar bahwa bom atom  telah jatuh melanda Kota Hiroshima, 
berarti kekuatan Jepang sudah  lumpuh. Sedangkan tentara sekutu 
berhasrat kembali untuk menduduki  Indonesia.
Khususnya di kawasan kota Medan  dan sekitarnya, 
ketika penguasa Jepang menyadari kekalahannya segera  menghentikan 
segala kegiatannya, terutama yang berhubungan dengan  pembinaan dan 
pengerahan pemuda. Apa yang selama ini mereka lakukan  untuk merekrut 
massa pemuda seperti Heiho, Romusha, Gyu Gun dan  Talapeta mereka 
bubarkan atau kembali kepada masyarakat. Secara resmi  kegiatan ini 
dibubarkan pada tanggal 20 Agustus 1945 karena pada hari  itu pula 
penguasa Jepang di Sumatera Timur yang disebut Tetsuzo  Nakashima 
mengumumkan kekalahan Jepang. Beliau juga menyampaikan bahwa  tugas 
pasukan mereka dibekas pendudukan untuk menjaga status quo  sebelum 
diserah terimakan pada pasukan sekutu. Sebagian besar anggota  pasukan 
bekas Heiho, Romusha, Talapeta dan latihan Gyu Gun merasa  bingung 
karena kehidupan mereka terhimpit dimana mereka hanya diberikan  uang 
saku yang terbatas, sehingga mereka kelihatan berlalu lalang  dengan 
seragam coklat di tengah kota.
Beberapa  tokoh pemuda melihat hal demikian 
mengambil inisiatif untuk  menanggulanginya. Terutama bekas perwira Gyu 
Gun diantaranya Letnan  Achmad Tahir mendirikan suatu kepanitiaan untuk 
menanggulangi para  bekas Heiho, Romusha yang famili/saudaranya tidak 
ada di kota Medan.  Panitia ini dinamai dengan “Panitia Penolong 
Pengangguran Eks Gyu Gun“  yang berkantor di Jl. Istana No.17 (Gedung 
Pemuda sekarang).
Tanggal  17 Agustus 1945 gema kemerdekaan telah 
sampai ke kota Medan walupun  dengan agak tersendat-sendat karena 
keadaan komunikasi pada waktu itu  sangat sederhana sekali. Kantor 
Berita Jepang “Domei" sudah ada  perwakilannya di Medan namun mereka 
tidak mau menyiarkan berita  kemerdekaan tersebut, akibatnya masyarakat 
tambah bingung. 
Sekelompok  kecil tentara sekutu tepatnya tanggal
 1 September 1945 yang dipimpin  Letnan I Pelaut Brondgeest tiba di kota
 Medan dan berkantor di Hotel De  Boer (sekarang Hotel Dharma Deli). 
Tugasnya adalah mempersiapkan  pengambilalihan kekuasaan dari Jepang. 
Pada ketika itu pula tentara  Belanda yang dipimpin oleh Westerling 
didampingi perwira penghubung  sekutu bernama Mayor Yacobs dan Letnan 
Brondgeest berhasil membentuk  kepolisian Belanda untuk kawasan Sumatera
 Timur yang anggotanya diambil  dari eks KNIL dan Polisi Jepang yang pro
 Belanda.
Akhirnya  dengan perjalanan yang berliku-liku 
para pemuda mengadakan berbagai  aksi agar bagaimanapun kemerdekaan 
harus ditegakkan di Indonesia  demikian juga di kota Medan yang menjadi 
bagiannya. Mereka itu adalah  Achmad Tahir, Amir Bachrum Nasution, 
Edisaputra, Rustam Efendy, Gazali  Ibrahim, Roos Lila, A.malik Munir, 
Bahrum Djamil, Marzuki Lubis dan  Muhammad Kasim Jusni.
Sumber Informasi:
Buku Kota Medan Pintu Gerbang (Bappeda)
Buku Monografi Kota Medan (Bappeda)
Buku Medan Selayang Pandang
Buku Kota Medan Pintu Gerbang (Bappeda)
Buku Monografi Kota Medan (Bappeda)
Buku Medan Selayang Pandang
 
 Home
 Home





 






.jpg) 
 
 
 
 
.jpg) 
 
 
 
