Perusahaan Otobus PO. Sinabung Jaya yang beralamat di Jl. Veteran
Gang Usaha Tani, Berastagi, Kabupaten Tanah Karo Provinsi Sumatera Utara
mulai dirintis oleh Reti Sembiring Gurukinayan yang dilahirkan pada
tahun 1904 di kampung Gurukinayan yang letaknya persis di bawah Gunung
Sinabung, kecamatan Payung, Kabupaten Tanah Karo. Mempersunting seorang
gadis bernama Releng br Sitepu anak saudara dekat dari ibunya yang
berasal dari kampung Berastepu dan dikaruniai 10 (sepuluh) anak yang
terdiri dari 7 (tujuh) anak pria dan 3 (tiga) anak perempuan.
Reti Sembiring Gurukinayan adalah seorang anak sulung dari keluarga
petani yang ayahnya bernama Ngupahi Sembiring Gurukinayan yang
beristrikan Peraten br Sitepu yang kebetulan juga berasal dari kampung
Berastepu yang lokasinya bertetangga dengan kampung Gurukinayan, yang
dikarunia 3 (tiga) orang anak yaitu Reti Sembiring Gurukinayan,
Bantamuli br Sembiring Gurukinayan dan Rekat Sembiring Guruki-nayan.
Dibesarkan dan dididik di keluarga petani, bukan berarti Reti
Sembiring Gurukinayan ingin menjadi petani walaupun tanah ladang dan
sawah yang akan diwariskan oleh ayahnya kelak cukup untuk menghidupi
keluarganya di kemudian hari, beliau mempunya cita-cita lain untuk masa
depannya. Walaupun tidak pernah mengikuti pendidikan formal di bangku
pendidikan sekolah rakyat (sekolah dasar) atas kemauan keras untuk
mewujudkan cita-citanya secara otodidak akhirnya dimasa remajanya dapat
membaca, menulis dan berhitung.
2. TAHUN 1915
Dalam masa pertumbuhan remajanya beliau ketika berumur 11 tahun telah
meninggalkan kampung Gurukinayan menjadi kernek bus di kampung
Batukarang, karena tokehnya atau pemilik bus bernama Atol Bangun
berdomisili di kampung tersebut. Reti Sembiring Gurkinayan mempunyai
cita- cita agar dikemudian hari beliau ingin memiliki armada bus
walaupun pada saat itu hanyalah sebagai kernek bus ban mati / roda mati
diawal tahun 1915. Beliau sadar bahwa untuk dapat memiliki armada bus
sendiri tentu akan membutuhkan waktu yang cukup lama dan panjang serta
harus memiliki tekad yang kuat, mau bekerja keras, disiplin dan juga
hemat. Pada waktu itu tidak semua yang menjadi kernek bus/ truk otomatis
dikemudian hari akan dapat menjadi seorang supir. Peningkatan
kariernya tidak akan pernah tercapai apabila tidak dapat mengambil
hati supirnya yang mempunyai otoritas cukup besar untuk menentukan siapa
yang layak sebagai kerneknya dalam mengoperasikan bus / truk yang
dipercayakan oleh pemiliknya (majikannya) Kalau sang kernek tidak
rajin dan tekun serta disiplin dan gigih maka kemungkinan besar sang
kernek dapat diberhentikan oleh supirnya dan kedudukannya akan
digantikan oleh orang lain yang menurut sang supir lebih baik atau
selamanya hanyalah sebagai kernet karena sang supir tidak pernah memberi
kesempatan baginya untuk belajar mengemudi.
Mengingat pada waktu itu, Reti Sembiring Gurukinayan yang mempunyai
cita-cita yang tinggi bagi dirinya dan untuk masa depannya serta
keluarganya dikemudian hari, beliau berusaha menjadi kernek yang gigih,
rajin dan disiplin dan disayangi oleh supirnya serta mempunyai rasa
memiliki. Karena khawatir suatu saat kemungkinnan akan diberhentikan
oleh sang supir bila tidak rajin dan disiplin maka dalam melaksanakan
tugasnya sebagai kernek bus beliau bekerja keras agar penghasilan dari
setoran bus yang mereka operasikan bersama supirnya minimal dapat
menghasilkan setoran yang layak dan wajar kepada pemilik bus. Akan
tetapi tidak hanya masalah setoran yang jadi patokan bagi dirinya dalam
melaksanakan pekerjaannya, tapi juga masalah perawatan bus pun menjadi
perhatian utamanya, sehingga beliau juga berupaya untuk mengetahui seluk
beluk mesin bus termasuk membersihkan bus di poolnya pada malam hari
apabila selesai operasi pada pagi dan siang hari. Pada saat itu untuk
dapat menjadi supir tidaklah semudah pada saat ini, pekerjaan sebagai
supir sangat didambakan oleh banyak orang bagi mereka yang tidak mau
melanjutkan sekolahnya ketingkat yang lebih tinggi, apalagi bagi seorang
pemuda bernama Reti Sembiring Gurukinayan yang pada awalnya adalah
seorang yang buta aksara sehingga tidak ada pilihan lain selain menjadi
kernek dulu baru menjadi supir kemudian memiliki armada bus sendiri,
cukup sederhana cita-citanya, sedangkan pekerjaan sebagai petani di
kampung tidak ada dalam benaknya. Disamping itu pekerjaan sebagai supir
sangat dihormati oleh masyarakat didaerah kelahirannya, dan tentunya
juga menjadi idaman oleh para gadis untuk dapat dipersunting menjadi
istri seorang supir. Didalam pikirannya, hanya dengan jalan yang sedang
dia tekuni inilah satu-satunya jalan bagi dirinya untuk mencapai masa
depan yang lebih baik dikemudian hari. Apalagi beliau anak tertua dari 3
(tiga) bersaudara, maka seyogyanya dapat memberikan contoh atau panutan
bagi saudara lainnya, hal ini berlaku umum di masyarakat Karo. Ada
kepercayaan masyarakat Karo, apabila anak tertua berhasil atau sukses /
memiliki pendidikan tertinggi maka dengan sendirinya adik-adiknya akan
mengikutinya jejaknya, orang yang sukses didalam keluarga akan dengan
sendirinya memiliki wibawa dan jadi panutan dibandingkan dengan yang
tidak berhasil, terutama dihadapan saudaranya atau adik-adiknya.
Cita-cita seorang pemuda Reti Sembiring sebenarnya mungkin cukup
sederhana bagi sebagian orang, apalagi tidak terlalu sulit untuk
mencapainya, karena hanya dengan bermodalkan mau bekerja keras, tekun,
disiplin dan mau berhemat serta mempunyai rasa memiliki maka kemungkinan
besar akan dapat berhasil. Beliau sadar bahwa orang yang awalnya buta
aksara maka beliau tidak mengimpikan cita-cita yang muluk-muluk, hanya
satu keinginannya bahwa pada suatu saat dapat memiliki bus sendiri yang
akan dia kemudikan sendiri dan dirawat sendiri agar biaya perawatannya
akan semakin ringan. Oleh sebab itu, pada pada malam harinya setelah
selesai membersihan bus yang menjadi tanggung jawabnya sehari-hari ,
beliau juga mencuci tidak hanya pakaiannya sendiri akan tetapi juga
pakaian supirnya, walaupun tidak pernah disuruh oleh supirnya yang
memang bukan menjadi tanggung jawabnya sebagai kernek bus. Demikian juga
diwaktu senggang beliau tidak lupa untuk belajar membaca, menulis dan
berhitung secara otodidak sehingga akhirnya berhasil. Beliau tidak
pernah mengikuti pendidikan formal karena situasi dan kondisi keluarga
pada waktu itu tidak memungkinkan untuk mengikuti pendidikan formal
dijaman penjajahan, apalagi sebagai anak tertua semasa kecilnya beliau
juga harus ikut menggendong dan merawat adik-adiknya serta membantu
ibunya di ladang.
Semasa hidupnya, untuk menandatangangi dokumen yang berhubungan
usahanya , tanda tangannya cukup sederhana dengan menulis nama awalnya
sendiri. Melihat kegigihannya dalam melakukan pekerjaannya sehari-hari
dan disenangi supirnya, maka dalam waktu relatif tidak terlalu lama,
cita-citanya tahap pertama dapat dicapainya. Beliau diberi
kesempatan oleh supirnya untuk belajar menyetir bus pada saat selesai
operasi atau dalam perjalanan pulang ke pool di kampung Batukarang.
Tidak hanya itu, beliau juga dibimbing supirnya secara terus menerus
agar dapat mengetahui seluk beluk mesin maupun system elektrik serta
cara perbaikannya.
Perlu diketahui, bahwa pada waktu itu, seorang supir haruslah orang
yang paling tahu seluk beluk teknis mesin serta elektriknya, hal ini
memang harus menjadi persayaratan utama karena apabila terjadi masalah
atau kerusakan di tengah jalan maka sang supirlah yang harus bisa
memperbaiki sendiri bus yang menjadi tanggung jawabnya dan tindak
mungkin mendapat bantuan dengan segera apabila terjadi kerusakan di
tengah perjalanan. Apalagi kondisi alamnya pada waktu itu antar
kampung atau kota lokasi cukup jauh dan harus melewati hutan atau
sawah/ ladang penduduk setempat yang jarang dilewati kenderaan lain yang
jumlahnya didaerah tersebut masih dalam hitungan jari.
3. TAHUN 1930
Setelah cukup lama menjadi kernek bus, pada tahun 1930 Reti Sembiring
Gurukinayan meningkat statusnya dari kernek menjadi supir bus ban mati
yang selama ini menjadi cita-cita yang cukup lama dipendamnya. Beliau
mengoperasikan bus ban mati bernama “ATOL” yang pemiliknya bernama Atol
Bangun yang berasal dari Batukarang. Beliau cukup lama bekerja pada
majikannya tersebut sehingga hubungan antara beliau dengan bapak Atol
Bangun bukan lagi seperti hubungan kerja antara majikan dan karyawannya,
akan tapi menjadi hubungan keluarga yang sangat baik. Hal ini dapat
dilihat dikemudian hari, sewaktu beliau pindah ke Berastagi pada tahun
1948 dan setahun kemudian menyusul istri dan anak-anaknya, bapak Atol
Bangun sering berkunjung ke rumah beliau di Berastagi, hubungan
kekeluargaan ini tetap berlangsung walaupun bapak Atol Bangun bukan lagi
majikan beliau.
|
Foto kenderaan roda mati tahun 30 (tiga
puluhan), yang pada waktu itu disebut “motor kitik” oleh masyarakat Karo
di Dataran Tinggi Karo. |
Beliau tidak pernah merasa puas dengan apa yang sudah dicapainya,
karena cita-cita awal yang paling tinggi bagi ukuran beliau pada waktu
itu adalah, pada suatu saat beliau bercita-cita memiliki armada bus
sendiri. Oleh sebab itu beliau sadar bahwa pekerjaan sebagai kernek
kemudian menjadi supir hanyalah jalan untuk meraih cita-citanya
tersebut. Selama menjadi kernek maupun supir bus, beliau bekerja keras
dan tidak mengenal lelah, disiplin, hemat agar pada suatu saat dapat
mewujudkan cita-citanya tersebut, uang yang sudah dikumpulkan dari hari
kehari setelah dipergunakan sebagian untuk keperluannya, kemudian
disimpan dibawah kasur. Karena kegigihannya selama bekerja pada
majikannya tersebut di atas, beliau tidak hanya disayangi majikannya
tapi juga disegani oleh kerneknya, hal ini dapat dibuktikan dikemudian
hari, dimana setelah beliau memiliki bus sendiri sampai memiliki
perusahaan otobus PO. Sinabung Jaya hubungan silaturahmi antar dia
dengan mantan supirnya, maupun kernek dapat terpelihara sepanjang
hidupnya. Malah setelah beliau meninggal dunia, banyak mantan supirnya
maupun kerneknya tetap membicarakan dan mengenang beliau , walaupun dulu
mereka sering ditegor, malah ada yang pernah dikejar-kejar dengan
membawa martil karena kesalahan fatal yang mereka buat sehingga mesin
busnya rusak antara lain lupa mengisi air radiator yang seharusnys
setiap sampai di stasiun pemberhentian terakhir harus di periksa ulang
sebelum berangkat lagi ke stasiun awalnya. Walapun sering ditegor atau
dimarahi mereka tidak pernah sakit hati karena apa yang dilakukan beliau
dapat mereka maklumi atau pada tempatnya, dan semua itu tujuannya
adalah untuk mendidik mereka supaya menjadi pintar atau
menguasai mesin dan elektri bus yang menjadi tanggung jawabnya. Hal ini
sering mereka ceritakan kepada anak-anak beliau termasuk kami yang pada
waktu PO. Sinabung Jaya didirikan pada tanggal 1 April tahun 1961 sudah
berumur 10 tahun.
Setelah karier Reti Sembiring Gurukinayan meningkat yang tadinya
hanyalah sebagai kernek kemudian menjadi seorang supir yang disenangi
oleh majikannyanya, barulah beliau punya cita-cita berikutnya yaitu
mempunyai istri dengan pemikiran sudah dapat memberikan nafkah
kepada istri maupun anak-anaknya di kemudian hari. Beliau mempersunting
seorang istri bernama Releng br Sitepu dari keluarga ibunya di Berastepu
pada tahun 1930 dalam usianya yang ke duapuluh enam tahun, sehingga
hubungan kekeluargaan semakin erat persaudaraannya. Beliau tinggal
bersama istrinya di rumah yang cukup sederhana yang baru dibangunnya di
ladang Tambak Rahu yang berlo -kasi dipinggir kampung Gurukinayan kearah
gunung Sinabung, hasil dari jerih payahnya selama menjadi kernek dan
supir.
|
Foto
Alm.Ayahanda Reti Sembiring Gurukinayan dan istrinya Almh. Ibunda
Releng br Sitepu Tahun 1961 pada saat mendirikan perusahaan otobus PO.
Sinabung Jaya tanggal 1 April 1961. |
Pada tahun 1931 lahir lah anak pertama yang diberi nama Kueteh
Sembiring Gurukinayan, dan dua tahun kemudian lahir seorang anak
perempuan, akan tapi beberapa hari kemudian dipanggil Allah Bapa yang
maha kuasa. Karena pada waktu itu masyarakat Karo pada umumnya masih
penganut animisme dan karena umurnya baru beberapa hari maka jasadnya
harus dibakar dan abunya dilarungkan di sungai Parik Lau dekat ladang
keluarga Kembilik kampung Gurukinayan.
Selanjutnya, pada tahun 1936 lahir anak yang ketiga laki-laki diberi
nama Dors Erti Sembiring Gurukinayan sampai dengan anak yang
kesepuluh (terakhir) pada tahun 1956 yang bernama Resmond Jaya
Sembiring Gurukinayan, sama dengan kepercayaan daerah lainnya, banyak
anak akan membawa banyak rejeki.
Pekerjaanya sebagai supir oleh Reti Sembiring Gurukinayan tidak hanya
untuk satu armada bus tapi berganti lagi kepada bus peti sabun (bus
pekan-pekan) lainnya yang pada waktu itu jenis bus ini dapat berubah
fungsi dalam arti pada siang hari dapat mengangkut penumpang dan malam
hari dapat membawa hasil bumi untuk dibawa ke kota dengan mencabut
bangku-bangku yang terbuat dari kayu dan tidak dilapisi dengan jok
(knock down), yang pada keesokan harinya akan dijual oleh para petani
pada hari pekan/ pasar yang pada setiap kota berbeda. Hari pasar
antara lain untuk kota Kabanjahe pada hari Senen dan Kamis, Berastagi
pada hari Rabu dan Sabtu, sedangkan hari Kamis untuk Tiga Nderket.
|
Foto
rumah sederhana yang dibangun oleh alm. Reti Sembiring Gurukinayan yang
berlokasi di ladang Tambak Rahu, kampung Gurukinayan dan sebagai tempat
tinggal pertama kali sewaktu Almarhum baru membina rumah tangganya
dengan istrinya almh. Releng br Sitepu yang sampai saaat ini tetap
berdiri dengan kokoh tanpa pernah dilakukan perbaikan yang berarti. |
Barang petani yang akan dijual pada hari pekan tersebut dibawa
terlebih dahulu oleh bus peti sabun pada malam hari ke pasar yang di
tuju, kemudian keesokan harinya petani tersebut menyusul dengan
menumpang bus yang sama, kemudian setelah selesai hari pasar atau
setelah barang hasil sawah/ ladangnya laku dijual barulah petani
membayar ongkosnya termasuk ongkos barangnya pada waktu pulang kembali
ke kampungnya dengan menumpang bus yang sama , sambil membawa uang dari
penjual-an hasil kebun/ sawahnya setelah dibelanjakan sebagian untuk
membeli bibit, pupuk mapun kebutuhan sehari-hari lainnya.
Sampai akhir tahun 1937 Reti Sembiring Gurukinayan masih mengemudikan
bus bernama “ATOL” milik Atol Bangun yang berasal dan tinggal di
Batukarang yang menggunakan roda mati.
|
Foto bus roda mati yang pada waktu itu
lebih tepat disebut oplet atau minbus karena daya angkuta penumpang
tidak lebih dari 12 (dua belas) penumpang dengan posisi menyamping.
Armada bus “ATOL” seperti inilah pada waktu itu dimiliki Alm. Bapak
Atol Bangun |
Sebenarnya kalau dikatakan bus kurang tepat, karena yang umumnya
dikatakan bus paling sedikit dapat mengangkut 20 (dua puluh) orang
penumpang atau lebih, sedangkan mobil tersebut hanya dapat mengangkut
penumpang tidak lebih dari 8 (delapan) sampai dengan 10 (sepuluh)
penumpang, dimana tempat mesin didepan kelihatan lebih panjang kalau
dibandingkan dengan tempat penumpangnya dibelakang, atau mungkin lebih
tepat dikatakan opelet atau mini bus, sebagai ilustrasi prototipe oplet
tersebut dapat dilihat pada foto tersebut di atas.
4. TAHUN 1937
Akhirnya dari hasil tabungannya selama menjadi supir dan dengan
dukungan keluarga dari keluarga mertuanya Sepit Sitepu dari desa
Berastepu yang mempunyai anak 3 (tiga) orang yaitu anak sulung Sahun br
Sitepu (Nande Ganin); Releng br Sitepu (Nande Kueteh) dan bungsu Jusup
Batang Sitepu (Pa Rustam) dari Beratepu maupun adiknya Bantamuli br
Sembiring Gurukinayan (Nande Budi) yang dipersunting oleh Bagin
Singarimbun (Pa Budi) dari Temburun, maka pada tahun 1937 dibelilah
untuk pertama kalinya truk roda 8 (delapan) yang selama ini sangat
dicita-citakan. Beliau membeli truk bak terbuka ban mati berwarna
merah atau disebut juga “gara takal” (kepala merah) dengan saudaranya
Jemat Sembiring Gurukinayan (Pa Siman), ayah dari Bapak Siman Sembiring
Gurukinayan yang telah banyak mem-berikan informasi dalam penyempurnaan
sejarah ini yang pada saat ini telah berusia 75 tahun dan Tempi
Sembiring Gurukinayan (Pa Damenta) yang pada saat ini juga telah berusia
89 tahun dengan kondisi yang tetap sehat dan tinggal di kampung
Gurukinayan. Mobil tersebut beliau kemudikan sendiri oleh Reti Sembiring
dan dikerneki secara bergantian oleh Sempa Sitepu (Pa Rakut); Jumpa
Ginting (Pa Akim); Jabab Sembiring Meliala (Pa Ros) dan terakhir oleh
Tabas Surbakti (Pa Bini) kemanakannya. Truk tersebut diberi nama Sinabun
(bukan Sinabung) dengan logo gambar “Nenas” pada lambungnya, karena
pada waktu itu di kampung Gurukinayan disamping hasil kebun utamanya
buah jeruk, juga terdapat kebun nenas yang buahnya cukup besar sebagai
hasil sampingan pada kebun yang sama. Karena truk tersebut terlalu
panjang maka chasissnya dipendekkan atau dihilangkan 2 (dua) roda
belakang menjadi roda 6 (enam) serta diubah karoserinya menjadi type
“Peti Sabun”, Sehingga bus tersebut lebih mudah di operasikan didaerah
tersebut yang jalannya sangat sempit dan berliku-liku yang umumnya
terdapat didaerah pegunungan. Bus tersebut dioperasikan untuk melayani
angkutan antar kota Kotacane dengan kota Medan mengangkut penumpang
maupun barang didaerah Gurukinayan dan sekitarnya yaitu Berastagi,
Kabanjahe dan Tiga Nderket.
|
Foto Alm. Ayahanda Rekat Sembiring
Gurukinayan (adik kandung Alm. Reti Sembiring Gurukinayan) bersama Almh
Ibunda Goto br Sitepu |
5. TAHUN 1940
Selanjutnya Reti Sembiring dengan keluarganya Batak Bangun (Pa
Tringani) pada tahun 1940 yang juga berasal dari kampung Gurukinayan
membeli bus ban hidup (bukan ban mati) pada jaman Jepang hasil penjualan
tembakau yang banyak ditanam disekitar kampung Batukarang dan
sekitarnya maupun penjualan jeruk yang dijual di Tiganderket sekitar 6
(enam) kilometer dari kampung Gurukinayan yang merupakan pasar utama
disekitar daerah terasebut. Beliau menjalani trayek Medan ke Pematang
Siantar dan dikerneki oleh adiknya Nabas Bangun (Pa Roma).
Pada jaman Jepang tersebut sudaranya satu kakek Mayan Sembiring
Gurukinayan (Pa Ngonggar) yang juga tinggal dikampung Gurukinayan
berpatungan dengan Pa Pena Sitepu Batunanggar dan Ngenan Sitepu (Pa
Binje) membeli truk yang mereka pergunakan untuk berdagang tembako ke
Kotacane, Aceh Tenggara yang dikemudikan oleh Rekat Sembiring
Gurukinayan adik kandung bungsu Reti Sembiring Gurukinayan. Oleh sebab
itu pada jaman Belanda maupun Jepang penduduk kampung Gurukinayan telah
memiliki beberapa tokeh / juragan bus maupun truk. Dari sekian tokeh
tersebut hanyalah Reti Sembiring Gurukinayan yang memulai kariernya
sebagai kernek sedangkan lainnya hanyalah sebagai pemodal yang awalnya
sebagai petani sukses. Hal ini dapat dibuktikan bahwa beberapa diantara
mereka sepanjang hidupnya tidak pernah dapat mengemudikan bus/ truk yang
mereka miliki antara lain saudaranya Jemat Sembiring Gurukinayan dan
Mayan Sembiring Gurukinayan.
Kemudain pada yang sama yaitu tahun 1940 Reti Sembiring Gurukinayan
berkongsi lagi dengan Jemat Sembiring Gurukinayan (Pa Siman) membeli
mobil truk chasiss yang di daerah tersebut di sebut mobil kope bersama
dengan saudaranya Ngasami Sembiring Pandia (Pa Uli/ Toko Cahaya
Kabanjahe) yang berasal dari kampung Payung dekat kampung Gurukinayan
yang pada waktu itu juga membeli mobil yang sama dalam kondisi baru.
Kemudian, pada tahun 1946, bus yang mereka miliki masuk armada
perusahaan otobus Maspersada artinya mas ipersada (mas disatukan) yang
dipinpin oleh Raja Oekum Sembiring Meliala (Pa Terangmalem) yang berasal
dari Berastepu tapi dibesarkan di kampung Tanjung. Bergabung dengan
Maspersada terpaksa dilakukan karena pada saat itu bahan bakar hilang
dari pasar, sehingga dengan masuk armada Maspersada dengan sendirinya
akan mendapat jatah bahan bakar untuk menunjang operasional bus mereka.
Bus yang mereka miliki dikemudikan secara bergantian dengan Batak
Bangun (Pa Tringani), yang dipergunakan untuk rute pekan-pekan antara
kampung Gurukinayan ke Tiganderket, Berastagi atau ke Kabanjahe.
Walaupun sudah memiliki bus/ truk bersama Jemaat Sembiring
Gurukinayan, Reti Sembiring Gurukinayan tidak merasa puas dengan apa
yang sudah dicapainya, dimana beliau juga membuka kedai
kopi dirumah saudaranya Rajangena Sembiring Gurukinayan (Pa Saman) yang
kebetulan berlokasi di jalan utama di tengah kampung Gurukinayan pada
tahun 1946 atau beberapa bulan setelah Indonesia merdeka pada tanggal 17
Agustus 1945 dengan bekerja sama dengan Pa Miji peran-tauan Banjar dari
Banjarmasin yang sudah berpengalaman membuka usaha kedai kopi.
Disamping pintar memasak juga dapat membuat aneka macam kue, yang
dikampung Gurukinayan pada waktu itu merupakan makanan yang sangat
digemari oleh masyarakat setempat. Pada waktu membuka kedai kopi
tersebut Reti Sembiring Gurukinayan telah menjalin hubungan bisnis,
dimana pada hari-hari tertentu beliau berbelanja di toko grosir
kelontong toko “MO HAP” (ada spasi antara mo dan hap) yang pemiliknya
bernama Mohap di ruko depan pintu masuk sebelah kanan pasar Berastagi
atau disamping Kedai Kopi/ Mie “Pa Misang”, tepatnya sederetan Toko
Onderdil/ SPBU Garuda, atau dengan Toko Klontong Sinabung Berastagi,
pada saat ini. Akan tetapi karena terjadi agresi kedua tahun 1947
oleh Belanda dimana pihak pemerintah Hindia Belanda yang ingin kembali
menduduki Wilayah Republik Indonesia menyebabkan sebagian besar penduduk
yang tinggal di dataran tinggi Karo terpaksa mengungsi ke hutan,
sebagian diantaranya mengungsi ke daerah Aceh Tenggara. Demikian juga
halnya dengan situasi tidak menentu yang terjadi di kampung Gurukinayan,
maka dengan terpaksa mobil bus peti sabun yang sudah mereka miliki
tersebut dijual pada bulan Nopember 1947, sedangkan mobil truk chasiss
“dipinjam” oleh pihak Belanda untuk mendukung agresi mereka ke daerah
Kotacane dan sekitarnya yang dikemudikan oleh Tabas Surbakti (Pa Bini),
yang kemudian karena merasa terancam jiwanya di daerah operasi Belanda
di Aceh Tenggara (Kotacane), beliau meninggalkan truk tersebut di
“Gunung Setan” sekitar Kotacane, yang akhirnya hilang tidak berbekas.
|
Foto Alm.Tabas Surbakti, kemenakan Alm. Reti Sembiring Gurukinayan, yang bertanggung jawab untuk operasional bus PO. Sinabung Jaya di pool desa Gurukinayan |
Pada agresi kedua tersebut, keluargapun harus kembali mengungsi ke
hutan untuk menghindar dari tentara Belanda setelah membumi hanguskan
rumah mereka (rumah adat) atas perintah tentara Republik pada waktu itu
dengan pertimbangan agar Belanda tidak memanfaatkan rumah mereka sebagai
tempat untuk mendukung operasi penjajah (apa tentara Belanda mau
tinggal di rumah adat Karo ?). Akibat dari pembumi hangusan tersebut
semua Rumah Adat (atap ijuk) yang telah dibangun dengan cara gotong
royong oleh para pendahulunya semua menjadi abu dan tidak berbekas,
kecuali rumah adat bapak Tingger Sembiring Gurukinayan dekat Los atau
Jambur (gedung pertemuan) kampung Gurukinayan. Dalam pengungsian
tersebut, pada tanggal 20 Nopember 1947 lahir anak ketiga dari adik
bungsunya Reti Sembiring Gurukinayan yaitu Rekat Sembiring Gurukinayan
seorang laki-laki dan diberi nama Rumah Pudung Sembiring Gurukinayan
tepatnya di hutan Liang Date, yang 21 hari sebelumnya pada 31 Oktober
1947 lahir anaknya sendiri anak yang keenam perempuan diberi nama
Nuraini br Sembiring Gurukinayan di Temburun. Dalam pengungsian ini
Arnem Sembiring yang lahir pada tanggal 20 Juni 1942 anak ke empat dari
Reti Sembiring Gurukinayan telah berumur 5 (lima ) tahun sehingga pada
waktu itu dalam pengungsian dianggap cukup besar untuk diberi tugas
untuk membawa cerek/ teko tempat minum sambil berjalan kaki ditengah
hutan. Sehingga setelah selesai mengungsi dan untuk mengenang bagaimana
suka dukanya dalam pengungsian pada beliau diberi panggilan sehari-hari
oleh keluarga dengan sebutan “Pa Cerek” yang didaerah Karo berarti
Bapak cerek, karena selama dalam pengungsian cerek tersebut tidak pernah
lepas dari genggamannya sehari-hari. Sedangkan anaknya yang ke lima
Rasmi Sembiring yang lahir pada tanggal 01 Oktober 1945 masih berumur 2
(dua) tahun sehingga harus tetap digendong oleh kakaknya Baik br
Sembiring Gurukinayan yang yang pada waktu itu sudah berumur 6 (enam)
tahun (lahir tanggal 11 Desember 1941) kawin dengan Kenal Singarimbun
yang berasal dari Mardingding. Dalam pengungsian tersebut Rasmi
Sembiring mengidap penyakit rabun senja akibat kekurangan vitamin A,
akan tetapi karena dapat diketahui lebih dini maka dapat disembuhkan
dalam waktu yang relatif singkat.
Selama dalam pengungsian darah yang mengalir dalam diri dan jiwa
Reti Sembiring Gurukinayan bukanlah darah seorang petani seperti
almarhum ayahnya Ngupahi Sembiring Gurukinayan, akan tetapi darah
seorang pengusaha, dimana dalam hal ini dapat dibuktikan dalam suasana
pengungsian pun bakat sebagai pengusaha dapat ditunjukkannya yaitu
dengan membukan kedai kopi di tengah hutan sekitar perbatasan dengan
Aceh Tenggara. Cangkir yang pada waktu itu terbuat dari bahan kaleng/
alumenium diganti dengan sepotog bambu dengan memanfaatkan ruasnya
sebagai cangkir. Karena dalam hutan tersebut tidak ada saingannya maka
kedai kopi darurat tersebut banyak diminati oleh para pengungsi lainnya,
sehingga dalam suasana pengungsian di tengah hutan Reti Semiring
Gurukinayan dapat memberikan nafkah kepada keluarganya.
Pada awal tahun 1948 keluarga kembali ke kampung Gurukinayan dari
pengungsian, dan pada waktu mau menempati kembali rumah di ladang Tambak
Rahu yang ditinggal beberapa waktu pada waktu mengungsi sudah ditempati
keluarga lainya yaitu Nini Bulang (Kakek) dari Kuat Sembiring
Gurukinayan (Pa Jaya), dan atas pendekatan secara kekeluargaan beliau
mau mengosongkan rumah tersebut, dan kembali ditempati oleh Reti
Sembiring Gurukinayan beserta keluarganya.
Karena memang sudah ditakdirkan yang memiliki jiwa pengusaha maka
sepulang dari pengungsian Reti Sembiring Gurukinayan kembali membuka
usaha kedai kopi ditempat yang sama. Kedai tersebut cukup laris karena
disamping menjual minuman dan rokok, beliau juga menjual Sukat (umbi
keladi) yang direbus dan dihidangjkan dalam keadaan panas dan dimakan
bersamnaan dengan “gula kerep” (gula batak/ merah yang dihidangkan dalam
bentuk potongan kecil). Umbi keladi tersebut hasil ladang mereka di
Tambak Rahu yang ditanam istrinya tercinta Releng br Sitepu yang
mempunyai cukup andil yang cukup besar untuk membantu cita-cita suaminya
yang ingin kembali memiliki bus sendiri. Dalam membuka kedai tersebut
beliau dibantu oleh iparnya Musim ginting (Pa Sangkut) dan Lem Sitepu
Batunanggar (Pa Nomin).
Pada tahun yang sama, saudaranya satu kakek Mayan Sembiring
Gurukinayan (Pa Ngonggar) yang berkongsi dengan Batak Bangun (Pa
Tringani) membeli bus peti sabun, akan tetapi mereka mengalami musibah
yang cukup fatal karena bus yang dibeli dengan susah payah di bom oleh
tentara Jepang dekat sembahe pada waktu terjadi serangan dari pihak
sekutu/ Inggris.
Pa Miji rekan bisnisnya dalam membuka usaha kedai kopi sebelum
agresi kedua, tidak ikut ambil bagian membuka kedai kopi di
Gurukinayan, akan tetapi Reti Sembiring Gurukinayan memberi bantuan
modal kepada beliau untuk membuka kedai kopi/ rumah makan di dekat los
Tiganderket atau jalan ke Kutabuluh. Karena keahlian beliau memasak dan
membuat aneka makanan kecil, dalam waktu relatif singkat usahanya
berkembang dengan pesat karena orang tidak hanya minum kopi, teh atau
makan makanan kecil, tapi juga makan nasi khususnya pada hari pekan
setiap hari Kamis. Kebetulan pada waktu itu ada orang menawarkan
motor halus bekas kepada Pa Miji, dan beliau tertarik sehingga langsung
membeli motor “Halus” (dikatakan motor halus karena suara mesinnya
nyaris tidak terdengar atau “Motor Kitik/ Kecil ” yang didaerah
Tinggi Karo maksudnya mobil sedan) tanpa berkonsultasi dengan Reti
Sembiring Gurukinayan sebagai penyandang modal, dimana hanya dalam tempo
1 (satu) tahun Pa Miji telah mampu membeli mobil sedan dari usaha rumah
makan tersebut.Akan tetapi kepemilikan mobil tersebut hanya berlangsung
beberapa bulan, karena beliau menjualnya kembali setelah mengalami
kecelakaan sewaktu mengemudikan mobil yang pada waktu itu mungkin belum
berpengalaman. Sehingga Pa Miji yang tadinya statusnya meningkat
disekitar daerah tersebut (karena tidak semua orang mampu memiliki mobil
sedan) , kembali ke status semula sebagai pengusaha kedai kopi/
rumah makan di Tiganderket, penurunan tingkat status sosial tersebut
mungkin karena memang belum saatnya memiliki motor halus pada waktu
itu.
6. TAHUN 1948
Sambil membuka kedai kopi di Gurukinayan pada tahun 1948, Reti
Sembiring Gurukinayan bekerjasama dengan saudaranya Negeri Sembiring
Gurukinayan (Pa Guru) dan Batak Bangun (Pa Tringani) membeli 1 (satu)
unit truk, dan beberapa waktu kemudian menambah 2 (dua) unit yang
dipergunakan untuk mengangkut barang sampai ke Pematang Siantar yang
dimotori oleh Negeri Sembiring Gurukinayan (Pa Guru) untuk mencari
muatan dan dikemudikan oleh Batak Bangun, sedangkan dari Pematang
Siantar dibawa barang barang kelontong maupun minyak tanah untuk dijual
disekitar Gurukinayan, Berastepu, Batukarang sampai ke Tiganderket dan
sekitarnya yang pada waktu itu sangat langka dijumpai di pasar,
sedangkan bus lainnya untuk menjalani trayek pekan-pekan yang
dikemudikan oleh Reti Sembiring Gurukinayan beserta adik bungsunya yang
poolnya di Berastepu, sedangkan yang dikemudikan Tabas Surbakti poolnya
di Gurukinayan. Akan tetapi rekan bisnisnya Batak Bangun (Pa Tringani)
mengundurkan diri dari patungan tyersebut, sehingga Reti Sembiring
Gurukinayan harus meminjam uang mertuanya Sepit Sitepu (Pa Sahun) yang
tinggal di Berastepu untuk membeli saham Batak Bangun yang mengundurkan
diri dari perkongsian tersebut.
Pada waktu membuka kedai kopi di kampung Gurukinayan pada tahun 1948,
situasi keamanan belum stabil dan ada pihak tertentu yang ingin
menculik Reti Sembiring Gurukinayan, sehingga beliau dengan terpaksa
kembali mengungsi seorang diri tidak ke hutan akan tetapi ke Berastagi.
Menurut informasi dari keluarga, pada waktu beliau membuka kede kopi ada
oknum/ warga diluar kampung Gurukinayan yang bertandang ke kampung
tersebut dan singgah di kedainya untuk minum kopi. Setelah selesai
meminum kopi, beliau langsung membayar minumannya dengan uang Jepang ,
akan tetapi karena pada waktu itu didaerah tersebut tidak berlaku lagi
uang “Jepang” dimana yang berlaku adalah uang “Belanda” maka dengan
sopan beliau mengatakan, “tidak usah dibayar”. Rupanya kerena
ucapannya itu membuat “Oknum” tersebut merasa tersinggung atau
tercoreng harga dirinya, sehingga bebe-rapa hari kemudian “Oknum”
tersebut beserta dengan kelompoknya berencana untuk menculik Reti
Sembiring Gurukinayan dengan alasan tidak jelas. Hal ini pada waktu itu
bisa saja terjadi kepada siapapun, karena situasi yang tidak kondusif
yang mengakibatkan ada istilah siapa yang kuat maka ia yang menang dalam
arti seseorang dapat saja langsung diculik dengan alasan yang
tidak jelas yang kemudian tidak pernah kembali atau pulang
kekeluarganya . Akan tetapi, sebelum rencana tersebut dapat mereka
laksanakan, ada keluarga dekat dari kelompok tersebut, Pa Pangkat
Ginting memberitahu adiknya Bantamuli br Sembiring Gurukinayan (Nande
Budi Singarimbun) di Tiganderket mengenai rencana tersebut. Sehingga
malam hari itu juga adiknya Bantamuli br Sembiring Gurukinayan dengan
membawa uang simpannya langsung berangkat ke Gurukinayan untuk
menginformasikan rencana penculikan tersebut, dan malam itu juga Reti
Sembiring Gurukinayan mengungsi ke Berastagi dan tinggal di rumah Pa
Namaken Ginting Suka (keluarga dari suami adiknya Bagin Singarimbun)
dengan meninggalkan keluarganya di rumah ladang Tambak Rahu (tempat
jasadnya di makamkan kemudian hari) sambil membawa uang hasil usaha kede
kopinya dan bantuan uang dari adiknya yang pada waktu itu sudah menjadi
pedagang tembakau di sekitar daerah Tiganderket dan Batukarang.
Kede kopi yang ditinggalkan di Gurukinayan diteruskan oleh
keluarganya Musim Ginting (Pa Sangkut) dan dibantu Lem Sitepu (Pa Nomin)
dan diawasi oleh adik bungsunya Rekat Sembiring Gurukinayan (Pa
Nimpan). Sedangkan istrinya yang ditinggal di kampung Gurukinayan
berjualan sayur mayur dari hasil kebun mereka serta dibantu
anak-anaknya.
Pada tahun tersebut juga Reti Sembiring Gurukinayan kembali membeli
truk yang dipergunakan untuk mengangkut pasir dari Lau Dah (dekat
Kabanjahe) yang kemudian dijual ke toko material (bangunan) di kota
Kabanjahe maupun Berastagi dengan dibantu kerneknya Tabas Surbakti (Pa
Bini) yang selama ini tinggal di kampung Gurukinayan. Mereka berdua
tanpa kenal lelah mengangkut pasir siang malam dari Laudah untuk dijual
kembali di kedua kota tersebut di atas. Sedangkan adiknya Rekat
Sembiring Gurukinayan diberi tugas untuk mengawasi kedai kopi mereka di
Gurukinayan.
Kemudian pada tahun 1949 atau satu tahun kemudian keluarganya
menyusul pindah ke Berastagi dan mengontrak rumah petak dengan dinding
tepas (teratak) atap rumbia yang sangat sederhana di Gang Sinar, Jalan
Udara Berastagi (lihat foto di bawah).
|
Foto
ibunda Releng br Sitepu beserta anaknya (sesuai arah jarum) Nuraini br
Sembiring, Baik br Sembiring, Rophian Sembiring dan Rasmi Sembiring
pada tahun 1952 di rumah kontrakan dinding tepas atap rumbia (lihat
disebelah belakang) di Gang Sinar, Jl. Udara Berastagi, Sumut. |
Pada waktu di rumah kontrakan tersebut lahir anaknya yang ke 7
(tujuh) pada tanggal 16 Juni 1951 yang diberi nama Rophian Sembiring
Gurukinayan. Kemudian pada awal tahun 1952 keluarga pindah dan
mengontrak rumah petak yang berdinding papan atap seng di belakang Toko
Mas Namaken/ Toko Roti Samudra, Jl. Veteran Berastagi yang kondisinya
lebih baik apabila dibandingkan dengan rumah kontrakan yang ada di Gang
Sinar Berastagi. (lihat foto di bawah). Pada waktu mengontrak rumah
tersebut lahir anaknya yang ke 8 (delapan) diberi nama Eriwan Sembiring
Gurukinayan yang lahir pada tanggal 01 Oktober 1953.
|
Foto
anak ke 7 (tujuh) Rophian Sembiring tahun 1952 di depan rumah petak
dinding papan atap seng yang dikontrak Reti Sembiring Gurukinayan di
belakang Toko “Roti Samudra” dan Toko Mas Namaken Berastagi, Dibelakang
kelihatan ibunda Releng br Sitepu, dan juga terlihat baterai bekas bus
“PO. PMG” dekat pintu sebelah kiri, cikal bakal “PO. Sinabung Jaya”
dikemudian hari |
Satu tahun setelah pindah bersama keluarganya di Berastagi, pada
tahun 1950 Reti Sembiring Gurukinayan mengundurkan diri dari kerjasama
dengan saudaranya Negeri Sembiring Gurukinayan karena ingin berusaha
sendiri.
Pada tahun 1950 Tidak lama kemudian, dari hasil penjualan bus/ truk
tersebut ditambah dengan hasil usaha kede kopinya di kampung
Gurukinayan dan bantuan uang dari adiknya Bantamuli br Sembiring
Gurukinayan dan juga mertuanya Sepit Sitepu, serta bantuan tokehnya
Bapak Pho Siong Liem pemilik Bank “South Asia Bank” di Jl. Kesawan
Medan, dibelilah mobil chasiss Chevrolet tahun 1950 untuk dijadikan
menjadi bus peti sabun (disebut demikian karena bantuk bodynya persis
seperti kotak sabun).
Beliau mempunyai hubungan dengan Bapak Pho Siong Liem tidak terlepas
dari bantuan atau rekomendasi dari tokehnya pada waktu beliau masih
membuka kedai kopi di Gurukinayan yaitu Bapak Mohap yang
mempunyai toko grosir kelontong Toko MO HAP (ada spaci antar huruf mo
dan hap) di depan Pasar Berastagi. Bus peti sabun yang baru dibeli
masuk perusahaan armada bus DIENST (Negara Sumatera Timur) yang
dioperasikan disamping membawa penumpang juga membawa komoditi pertanian
disekitar daerah tersebut untuk dibawa ke Berastagi, Kabanjahe dan
sekitarnya, dan selanjutnya dari sana membawa barang-barang kelontong
kembali kesekitar daerah Gurukinayan/ Tiga-nderket.
7. TAHUN 1950
Akan tetapi pencantuman nama armada tersebut di atas hanya berlangsung
beberapa bulan, karena pada tahun 1950 kebetulan telah berdiri
“Usaha Nasional PMG “ ( Perusahaan Motor Gunung ) yang dimiliki Kompeni
Bangun (biasanya disebut Tokeh PMG) yang berasal dari Batukarang.
Dimana logo PMG meniru logo Chevrolet yang pada waktu itu kenderaan
khususnya untuk kenderaan besar yang dipergunakan untuk angkutan
penumpang maupun barang menggunakan mobil buatan Amerika Serikat
tersebut.
|
Foto
keluarga Alm. Reti Sembiring/ Almh. Releng br Sitepu pada tahun 1960
bersama anaknya yang ke-5 s/d ke-9 serta keponakannya bernama Asia br
Sitepu dibelang kiri belakang di halaman depan rumah Gang Usaha Tani Jl,
Veteran Berastagi Sumut. Dibelakang terdapat bibit batang jeruk yang
akan di tanam kembali dikebunya di desa Gurukinayan, yang dikerjakam
kedua almarhum dengan tujuan untuk menambah penghasilan keluarganya |
Beliau memilih bergabung dengan PMG,
walaupun pada saat itu sudah ada perusahaan otobus Maspersada milik Raja
Oekum Sembiring Meliala. Bus tahun 1950 tersebut masuk armada PO. PMG
(Perusahaan Motor Gunung) BK. 44980 nomor lambung 36 dengan trayek
“Gurukinayan Pekan-Pekan”, dikemudikan oleh Tabas Subakti (Pa
Bini) menjalani trayek pekan-pekan dari kampung Gurukinayan ke
Berastagi/ Kabanjahe dan Tiganderket pada waktu hari pekan (pasar)
yaitu hari Rabu dan Sabtu ke Berastagi, hari Kamis ke Tiganderket dan
hari lainnya ke Kabanjahe.
Satu tahun kemudian, pada tahun 1951 dibeli lagi mobil baru Chevrolet
chasiss dan dibuat karoseri peti sabun dan masuk armada PMG dengan nomor
lambung 121 dengan BK. 17469 yang menjalani trayek “Berastepu Pekan
Pekan”, sama seperti PMG nomor 36 dimana pool bus ini ada di Berastepu,
pengemudinya dipercayakan kepada adik bungsunya Rekat Sembiring
Gurukinayan (Pa Nimpan).
Setiap hari Sabtu yang merupakan hari pekan besar di Berastagi atau
sekali dalam seminggu, Rekat Sembiring Gurukinayan dan Tabas Surbakti
yang dipercayakan untuk mengurus bus yang pollnya di Berastepu maupun
Gurukinayan datang secara rutin untuk menyetorkan hasil operasional
kedua bus tersebut yang dipercayakan kepada kedua beliau tersebut ke
Berastagi (Reti Sembiring Gurukinayan).
Karena pada waktu itu frequensi penggantian uang baru rupiah tidak
seperti sekarang oleh pemerintah maka uang setoran yang diserahkan
sebagian besar lusuh atau lecek dan sebagian ada yang koyak
sehingga harus dilem maupun disrika. Hal ini dilakukan karena pihak
bank di Medan tidak mau menerima uang setoran yang tidak rapi/
lusuh maupun koyak.
|
Foto
Eriwan Sembiring Gurukinayan berumur 2 (dua) tahun pada tahun 1955,
didepan rumah Reti Sembiring Gurukinayan di jalan Veteran Gang Usaha
Tani Berastagi. |
Hampir tiga tahun setelah mengontrak rumah
di belakang Toko Roti Samudra/ Toko Mas Namaken, Reti Sembiring
Gurukinayan dan keluarganya pindah ke rumah lama yang baru dibelinya di
Gang Usaha Tani, Jl. Veteran Berastagi pada tahun 1955, dimana pada
waktu menempati rumah tersebut lahir anaknya yang ke 9 (sembilan) pada
tanggal 29 Juni 1956 di Kabanjahe dan diberi nama Resmond Jaya
Sembiring Gurukinayan.
Selanjutnya pada tahun 1956 Reti Sembiring Gurukinayan bekerjasama
(patungan) dengan saudaranya satu nenek Mayan
Sembiring Gurukinayan (Pa Ngonggar) membeli bus bekas Chevrolet
tahun 1956 yaitu PMG nomor 67 dengan trayek Gurukinayan – Medan PP
. Akan tetapi kerja sama tersebut hanya berjalan beberapa tahun
dan selanjutnya Reti Sembiring Gurukinayan mengundurkan diri.
|
Foto
Bus PMG (Perusahaan Motor Gunung) nomor lambung 150 tahun 1957 merek
GMC buatan Amerika Serikat BK. 15076 yang menjalani trayek Kabanjahe –
Medan, cikal bakal PO. Sinabung Jaya dikemuidan hari. |
Kemudian atas bantuan Bapak Pho Siong Liem
pada tahun 1956, beliau kembali mendapat kepercayaan untuk mendapat
bantuan kredit dengan bunga rendah sehingga dapat membeli lagi bus baru
Chevrolet PMG nomor 129 dengan BK. 30260 dengan rute Gurukinayan –
Medan PP dan pengelolaannya dipercayakan lagi kepada Tabas Surbakti,
sehingga ada 2 (dua) unit bus yang menjadi tanggung jawabnya untuk pool
di Gurukinayan.
Pada tahun yang sama dibeli lagi bus baru Chevrolet tahun 1956 masuk
PMG dengan nomor lambung 139, BK. 45197 dengan rute Kabanjahe – Medan
PP, akan tetapi poolnya di Berastagi dan dikelola sendiri oleh Reti
Sembiring Gurukinayan.
Selanjutnya, Bapak Pho Siong Liem yang sudah sangat percaya
kepada Reti Sembiring Gurukinayan, kembali memberikan bantuan kredit untuk pembelian bus baru 2 (dua) unit pada tahun Chevrolet
tahun 1957 dengan nomor lambung PMG 151 dan bus GMC tahun 1957 PMG
nomor 150 BK. 15076 (lihat foto di bawah) menjalani trayek Kabanjahe –
Medan PP.
8. TAHUN 1960
Akan tetapi pada tahun 1960 bus keluaran GMC tahun 1957 karena dianggap
tidak sekuat / sebandel merk Chevrolet maka bus ini kemudian dijual dan
diganti dengan merk Chevrolet keluaran tahun 1960 (bekas) BK.
34327 dengan tetap memakai nomor lambung 150 dan awal tahun 1961 bus
Chevrolet tahun 1957 nomor 151 kembali dijual dan diganti dengan bus
Chevrolet tahun 1961 BK. 41923 tetap nomor lambung 151.
|
Foto
Bus PMG (Perusahaan Motor Gunung) nomor lambung 150 tahun 1957 merek
GMC buatan Amerika Serikat BK. 15076 yang menjalani trayek Kabanjahe –
Medan, cikal bakal PO. Sinabung Jaya dikemudian hari. |
Pada awal tahun 1961 keluar peraturan
pemerintah tentang larangan perusahaan untuk memonopoli jasa angkutan
penumpang termasuk dalam jasa layanan bus penumpang. Pada saat itu karena perusahaan otobus Usaha Nasional PMG (Perusahaan Motor Gunung)
itu telah memiliki anggota maupun armada ratusan unit, maka dengan sendirinya harus dipecah menjadi beberapa perusahaan jasa angkutan
bus.
Dengan demikian tidak akan terjadi monopoli dalam pelayanan jasa
angkutan di Propinsi Sumatera Utara khususnya di Kabupaten Karo dan
sekitarnya. Sedangkan pada waktu itu, disamping perusahaan otobus “Usaha
Nasional PMG” juga sudah ada perusahaan otobus seperti PT. Maspersada
yang sebagian besar armadanya menjalani trayek dari Kotacane (Aceh
Tenggara) dan Sidikalang (Kabupaten Karo) dan PO. Permosi (Kabanjahe –
Pematang Siantar) tidak dibubarkan karena pada waktu itu jumlah
armadanya tidak sebesar jumlah armada perusahaan otobus “Usaha Nasional
PMG” yang sudah hamper mencapai 200 an armada. Sebagai ilustrasi pada
waktu itu nomor lambung yang diberikan pada otobusnya sesuai dengan
jumlah armada yang sudah ada, dimana sebagai salah satu contoh pemilik
perusahaan otobus PMG Kompeni Bangun telah memiliki armada bus dengan
nomor lambung 180 sesuai dengan jumlah armada pada waktu itu. Tidak
seperti dewasa ini nomor lambung yang dicantumkan pada armadanya pada
perusahaan otobus tidak menunjukkan jumlah armada yang sebenarnya.
|
Foto
tahun 1958 di rumah Gang Usaha Tani, Jl. Veteran Berastagi,dimana rumah
tersebut masih utuh di alamat tersebut, dari sebelah kiri Eriwan
Sembiring Gurukinayan, Kueteh Sembiring Gurukinayan dan Resmond Jaya
Sembiring Gurukinayan. |
Pemerintah melalui instansi terkait pada
waktu itu memberi kesempatan kepada rakyat Indonesia secara perorangan
yang telah memiliki beberapa unit angkutan kendaraan bermotor untuk
mendirikan usaha angkutan perorangan dalam bidang jasa angkutan umum. Dalam waktu yang singkat, didaerah tersebut kemudian bermunculan puluhan
perusahaan otobus baru perorangan karena kemudahan yang diberikan
pemerintah pada waktu itu untuk mendapatkan ijin mendirikan perusahaan
otobus perorangan.
Peluang ini jelas dimanfaatkan oleh Reti Sembiring Gurukinayan, yang
pada waktu itu telah memiliki 6 (enam) unit armada yang
memenuhi syarat untuk mendirikan perusahaan otobus perorangan, yang
menjadi masalah pada waktu itu apa nama merk perusahaan otobus yang akan
didirikan Reti Sembiring Gurukinayan (Pa Kueteh), sedangkan beliau
harus dengan segera mengajukan permohonan kepada instansi terkait agar
segera dapat diproses dan diberi ijin trayeknya.
|
Foto Alm.Drs. Kueteh Sembiring Gurukinayan, Penggagas Merk “ Sinabung Jaya”
Anak Sulung Alm. Reti Sembiring Gurukinayan & Almh. Releng br Sitepu |
Pada waktu itu di masyarakat Karo yang
sudah memenuhi syarat untuk mendirikan perusahaan otobus perorangan
seakan saling mendahului dan berlomba sehingga untuk mendapat pengakuan
merk, yang jelas siapa yang lebih dahulu mengajukan maka merekalah
yang berhak mempergunakan / memakai merk tersebut. Sehingga orang
yang menyusul kemudian tidak akan mendapatkan ijin trayek dengan nama
perusahaan yang sama di Kantor Wilayah Perhubungan.
Dalam suasana kebingungan tersebut, beliau meminta pendapat anak
sulungnya Kueteh Sembiring untuk membantunya dalam menetukan nama
perusahaannya. Apalagi beliau tidak pernah mempunyai cita-cita pada
suatu saat akan memiliki nama perusahaaan sendiri dan dikelola sendiri
dan diawasi sendiri. Karena pada waktu itu sudah memiliki bus sendiri
dan dapat bergabung dengan PO. PMG sudah cukup baginya, karena memang
hanya demikianlah yang dicita-citakan selama ini, akan tetapi Allah Bapa
di surga memberi lebih dari pada yang dicita-citakannya selama ini.
|
Foto
pada tahun 1958 anak ke 5 (lima) sampai ke 9 (sembilan) anak ayahanda
Reti Sembiring Gurukinayan dan Ibunda Releng br Sitepu pada tahun 1958
disamping rumah Gang Usaha Tani, Jl. Veteran Berastagi, dari sebelah
kiri dibelakang Rasmi Sembiring Gurukinayan, Rophian Sembiring
Gurukinayan, Nuraini br Sembiring Gurukinayan, dan didepan Eriwan
Sembiring Gurukinayan dan Resmond Jaya Sembiring Gurukianayan. Didepan
kelihatan bunga dengan pot bekas baterai PMG, cikal bakal PO. Sinabung
Jaya dikemudian hari. |
|
Foto
tahun 1959 di Puncak, Bogor Jawa Barat, Pada waktu ayahanda Reti
Sembiring Gurukinayan beserta Ibunda Releng br Sitepu dengan Pa Model
Tarigan (Pemilik Perusahaan Sedan Famili Taxi), Resmond Jaya Sembiring
(3 thn) beserta Ibu Ngatini (baby sitter Resmond) menugunjungi anaknya
yang sedang kuliah di F.Ekonomi, UI Jakarta dan keponaknnya di IPB
Bogor.Dari arah kiri : Pa Model Tarigan (Pemilik Famili Taxi di Tanah
Karo), Reti Sembiring Gurukinayan, cucunya Bas Ukurta Sembiring
Gurukinayan (2 thn), Releng br Sitepu, Baik br Sembiring Gurukinayan,
Ngatini, Selat br Sembiring Meliala (mantu) dan Resmond Jaya Sembiring
Gurukinayan (3 thn). Sedangkan di atas : dari kiri Ruben Sitepu (IPB
Bogor), Kueteh Sembring Gurukinayan (FE.UI) dan Dors Erti Sembiring
Gurukinayan (FE.UI). |
Dalam menentukan nama perusahaan otobus
baru tersebut terdapat usulan dari Rustam Efendi Sitepu cucu Sepit
Sitepu yang baru pindah dari Jakarta ke Medan, mengusulkan agar nama
perusahaan tersebut diberi nama “Primo” karena memiliki nilai histories
yang menurut dia cocok untuk diabadikan. Hal ini menurutnya tidak
terlepas dari sejarah perjuangan beliau dalam mewujudkan cita-citanya,
dimana bus yang sekarang dimiliki Reti Sembiring Gurukinayan sebagian
besar berasal dari hasil penjualan jeruk di Gurukinayan maupun ladang
Lembub milik Sepit Sitepu di Berastepu yang tidak lain adalah
mertua dari Reti Sembiring Gurukinayan. Akan tetapi anak tertuanya
Kueteh Sembiring Gurukinayan mempunyai pandangan lain dengan mengusulkan
agar diberi nama “Sinabung” dengan pertimbangan pada waktu
pertama kali ayahnya memiliki truk sudah diberi nama Sinabun (bukan
Sinabung) dengan logo buah “Nenas” di lambung bagian kanan dan kiri,
disamping itu Reti Sembiring Gurukinayan dilahirkan dan dibesarkan di
kampung Gurukinayan, yang letaknya persis di bawah gunung Sinabung. Agar
nama tersebut bersifat komersil maka perlu disempurnakan lebih lanjut
sehingga lebih mudah diingat oleh masyarakat utamanya pengguna jasa
anggutan penumpang tersebut dikemudian hari.
Terdapat dua alternatif pada waktu itu untuk menentukan nama perusahaan
yaitu “Sinabung Raya” atau “Sinabung Jaya”. Kata “Raya” atau Great
merupakan kata sifat yang menerangkan arti besar seperti hari
raya, jalan raya, Jakarta Raya atau merayakan yang berarti
memperingati pristiwa penting. Sedangkan kalau kata “Jaya” atau
Victorious kata sifat yang berarti menang atau selalu bernasib baik,
hebat, untung, sukses, selalu unggul atau selalu berhasil atas segala
yang direncanakan dan dikerjakan (lihat kamus Bahasa Indonesia). Oleh
sebab itu kata Jaya ini dapat diperluas pengertiannya adalah kemampuan yang dinamis yang dapat membaca perubahan yang ada disekelililingnya
sehingga jauh hari dapat mengantisipasi perubahan tersebut sehingga
eksistensinya dapat dipertahankan dan dikembangkan dikemudian hari.
Setelah menerima masukan dari beberapa keluarga termasuk Budi
Singarimbun dan atas usulan Kueteh Sembiring Gurukinayan sebagai anak
tertuanya akhirnya Reti Sembiring Gurukinayan memutuskan mendirikan
perusahaan otobus perorangan bernama “PO. Sinabung Jaya” pada tanggal
01 April 1961 yang beralamat di Gang Usaha Tani, Jl. Veteran,
Berastagi, Kabupaten Karo di Sumatera Utara, tempat tinggal Reti
Sembiring Gurukinayan beserta keluarganya.
Untuk mengurus izin usaha termasuk ijin trayek PO. Sinabung Jaya kepada
instansi terkait, Kueteh Sembiring Gurukinayan menugaskan Budi
Singarimbun anak tunggal dari saudara perempuan ayahnya bernama ibu
Bantamuli Sembiring Gurukinayan yang dipersunting oleh Bagin
Singarimbun dari Temburun.
Pertama kali PO. Sinabung Jaya mendapat ijin trayek dari pemerintah sebagai berikut :
- Gurukinayan – Kabanjahe/ Berastagi Pekan-Pekan.
- Berastepu – Kabanjahe/ Berastagi Pekan-Pekan.
- Gurukinayan – Medan PP (Pulang Pergi).
- Berastepu – Medan PP
- Kabanjahe – Medan PP
Seperti sudah dijelaskan diatas, pemberian
nama perusahaan otobus PO. Sinabung Jaya pada armada yang dimiliki Reti
Sembiring Gurukinayan mempunyai makna historis yang melekat bagi
dirinya. Dimana nama Sinabung mempunyai arti yang cukup besar dalam
perjalanan hidupnya dan pengembangan dirinya mulai sebagai kernet di
jaman Belanda tahun 1930-an kemudian menjadi supir pada jaman yang sama
dan akhirnya memiliki bus sebanyak 6 (enam) unit. Pertama beliau
dilahirkan dan dibesarkan di kampung Gurukinayan yang lokasinya persis
di bawah gunung Sinabung, dan kedua kampung tersebut menjadi salah satu
tujuan wisata bagi penggemar olah raga mendaki gunung (hiking)
disamping Lau Kawar sebagai pintu masuk dan keluar bagi orang
pendaki gunung Sinabung maupun sekedar untuk rekreasi. Ketiga nama
gunung Sinabung cukup dikenal tidak hanya di daerah Kabupaten Karo atau
pulau Sumatera tapi juga manca negara, dimana karena gunung Sinabung
dapat dilihat sangat jelas dari puncak Gundaling Berastagi yang sejak jaman penjajahan Belanda sudah menjadi salah satu tujuan
wisata tidak hanya domestik tapi juga manca Negara sehingga nama
tersebut tidak asing bagi wisatawan domestic maupun mancanegara.
Keempat, pertama kali beliau memiliki mobil truk telah diberi nama
Sinabun (bukan Sinabung) dengan pencantuman logo Nenas di bagian lambung
kanan dan kiri. Mengenai pemberian logo “ Nenas “ agak membingungkan
karena kampung Gurukinayan hasil utama kebun rakyat pada waktu itu
utamanya adalah jeruk siam, dan bukan nenas. Tapi kemungkinan karena
selama bekerja sebagai kernek maupun supir pada waktu itu beliau sering
ke daerah Simalungun (Pematang Siantar) dimana sepanjang jalan dari
Kabanjahe ke Pematang Siantar banyak terlihat perkebunan rakyat yang
menanam “nenas” sehingga sewaktu beliau mempunyai armada sendiri ingin
mencantumkankannya di lambung busnya. Kelima, gunung Sinabung adalah
salah satu gunung yang bentuknya sangat indah dan mirip dengan
gunung Fujiyama di Jepang, yang sampai sekarang tetap setia memberikan
manfaat yang cukup besar kepada daerah sekelilingnya sehingga tanah
disekeliling gunung tersebut sangat subur dan dapat ditanami dengan
aneka tanaman untuk daerah pegunungan, sehingga beliau ingin
mempromosikan nama gunung tersebut melalui perusahaan otobus yang dengan
setia akan tetap menjalani trayek dari disekitar gunung tersebut
kedaerah lain diluar Kabupate Karo, paling tidak dengan memakai nama
gunung tersebut masyarakat pengguna jasa angkutan tersebut langsung
mengetahui bahwa arah perjalanan bus tersebut pasti arahnya ke Kabanjahe
sebagai ibu kota Kabupaten Karo.
Melihat peran gunung Sinabung yang cukup besar dalam memakmurkan rakyat
disekitarnya dan tidak hanya pada dirinya sendiri maka
terispirasi baginya dengan usulan dari anak sulungnya
Kueteh Sembiring Gurukinayan untuk mendirikan dan menjalankan usaha
angkutan dengan nama / merk dagang PO. Sinabung Jaya yang berdomisili di
Gang Usaha Tani, Jalan Veteran Berastagi sekaligus tempat tinggalnya
dengan istri dan ke sembilan anaknya, dengan harapan perusahaan tersebut
akan jaya dan dapat dikembangkan dan dilanjutkan para ahli warisnya
(istri dan kesembilan anaknya) dikemudian hari, seperti apa yang
dicita-citakan selama ini sewaktu beliau masih menjadi kernek bus.
Mengingat pada waktu itu tahun 1961 banyak bermunculan Perusahaan Otobus
di pulau Sumatera khususnya Sumatera Utara dengan beraneka macam cat
dan logo yang ditonjolkan pada lambung busnya, maka tidak ketinggalan
perusahaan otobus yang ada di daerah Kabupaten Karo. Untuk logo
perusahaan otobus PO. Sinabung Jaya ditetapkan “gambar gunung
Sinabung” sesuai dengan nama perusahannya yang posisinya dilihat dari
daerah kampung Beganding (lihat foto gunung tersebut pada halaman X
didepan), seberang gunung tersebut atau kira-kira 5 (lima) km sebelum
mencapai kampung Gurukinayan. Kebetulan pada waktu itu keluarga
memiliki foto gunung Sinabung yang telah diberi bingkai yang telah cukup
lama dipajang diruang tamu rumahnya, dan logo gunung Sinabung
ditampilkan dibagian kanan dan kiri lambung bus bagian tengah
antara kata PO. Sinabung dengan kata Jaya. Sedangkan untuk warna cat
body lebih dominan berwarna hijau daun sesuai dengan alam pegunungan
Kabupaten Karo yang serba hijau karena tanahnya yang sangat subur
dibandingkan dengan daerah sekitarnya, dan sebagian bagian depan/ kap
busnya diberi warna biru laut yang menggambarkan udara yang sejuk,
segar dan bersih. Bagian samping body kanan dan kiri diberi garis/
list dari bagian depan (dibawah jendela terdepan) sampai kebagian
jendela paling belakang selebar 10 cm berwarna kuning, yang berarti
pengemudinya harus selalu waspada dan hati-hati dalam menjalankan bus
sehingga tidak akan mengancam keselamatan penumpangnya. Kemudian list
warna kuning tersebut dijepit list berwarna merah pada bagian atas
dan berwarna putih pada bagian bawah sama dengan bendera Negara kita
Merah Putih, gagah dan berani, sedangkan untuk merk dan nomor lambung
berwarna putih dan list merah.
Sebagai ilustrasi pada waktu itu beberapa perusahaan otobus di Kabupaten Tanah Karo adalah sebagai berikut :
No.
|
Nama Perusahaan
|
L o g o
|
Pemilik
|
1.
|
PO. Burung Nuri
|
Burung Nuri
|
Peranging Angin (Sukatendel)
|
2.
|
PO. Djendaras
|
|
Motor Bukit (Bukit)
|
3.
|
PO. Liberty
|
Patung Liberty USA
|
Kancam Tarigan (Mbetong)
|
4.
|
PO. Pinem
|
-
|
Nomen Pinem (Juhar)
|
5.
|
PO. Saudara
|
Salam Tangan
|
Raja Oekum S. Meliala (Tanjung)
|
6.
|
PO. Sebayang
|
-
|
Caboh Sebayang (Tigabinanga)
|
7.
|
PO. Sigantang Sira
|
-
|
Merhat Tarigan Girsang (Kacaribu)
|
8.
|
PO. Selamat Jalan
|
Buah Jeruk
|
Ulbah Ginting (Kutabuluh)
|
9.
|
PO. Selamat Kerja
|
Jabatan Tangan
|
Nasuni Karo-Karo Kacaribu (Kuta Buluh)
|
10.
|
PO. Selian
|
-
|
Jamulia Sinulingga (Tigabinanga)
|
11.
|
PO. Sinabung Jaya
|
Gunung Sinabung
|
Reti Sembiring Gurukinayan (Gurukinayan)
|
12.
|
PO. Sukamulia
|
|
|
13.
|
PO. Sutera
|
Pisang Sesisir
|
Kumpul Perangin-Angin (Sukatendel)
|
14.
|
PO. Swief
|
Burung Terbang
|
Pa Wilem Tarigan (Batu Karang)
|
15.
|
PO. Tani
|
Buah Nenas
|
Koran Karo-Karo (Kutabuluh)
|
Sebagai bahan informasi, PO. Selamat Jalan
milik Ulbah Ginting dari Kutabuluh yang memakai logo “Buah Jeruk”, pada
waktu masih bergabung dalam perusahaan otobus PMG memiliki salah satu
armada PMG dengan nomor lambung 180 dengan trayek Kutabuluh – Medan PP.
Sedangkan khusus untuk angkutan pedesaan/ antar kota dalam Kabupaten
Karo adalah PO. Djendaras dengan trayek Tigapanah – Kabanjahe; PO.
Sukamulia trayek Suka – Kabanjahe/ Pekan-Pekan. PO. Djendaras dengan
trayek Bukit-Tigapanah-Kabanjahe, PO. Sigantang Sira melayani trayek
Berastagi – Kabanjahe dan lain sebagainya. Khusus untuk merk Sigantang
Sira pada waktu itu menurut yang empunya cerita karena rutenya (pendek /
jarak dekat) hanya antara kota Berastagi ke kota Kabanjahe PP yang
berjarak 11 (sebelas) Km , ongkosnya pada waktu itu mungkin sebanding
dengan harga segantang garam.
|
Keluarga
berfoto pada tahun 1960 di depan rumah Gang Usaha Tani, Jl. Veteran
Berastagi, dimana pada waktu tersebut 6 (enam) unit armada Reti
Sembiring masih bergabung dalam perusahaan otobus PO. PMG (Perusahaan
Motor Gunung). Dari arah kiri ke kanan : Nuraini br Sembiring
Gurukinayan, keponakan Asia br Sitepu, Rasmi Sembiring Gurukinayan,
Resmond Jaya Sembiring Gurukinayan, Ibunda Releng br Sitepu, Eriwan
Sembiring Gurukinayan, ayahanda Reti Sembiring Gurukinayan, dan di atas
Rophian Sembiring Gurukinayan, Rumah tersebut masih ada di alamat
tersebut di atas. |
Disamping itu, walaupun perusahaan “Usaha
Nasional PMG (Perusahaan Motor Gunung)” yang selama ini berdomisili di
Kabanjahe Kabupaten Karo dibubarkan oleh pemerintah, usaha tersebut
masih dilanjutkan oleh pengusaha yang berdomisili di Kabupaten Deli
Serdang (Pancurbatu) dengan mendirikan perusahaan otobus “PMG Deli
Hulu” yang trayeknya antara lain Medan – Pancurbatu PP.
Pada awal waktu PO. Sinabung Jaya mulai didirikan pada tanggal 1 April
1961, jumlah armada yang dimiliki sebanyak 6 (enam) unit bus yaitu :
bus PMG nomor 121 menjadi PO. Sinabung Jaya no. 2, PMG 36 menjadi
Sinabung Jaya no. 4, PMG 129 menjadi Sinabung Jaya no.1, PMG 139
menjadi Sinabung Jaya 3, PMG 150 menjadi Sinabung Jaya 5 dan PMG 151
menjadi Sinabung Jaya no. 6, untuk jelasnya dapat dilihat dalam Tabel 1
dibawah.
Keluarga mengakui bahwa karena bantuan Bapak Pho Siong Liem serta berkat
dari Allah Bapa lah maka beliau dapat menambah jumlah armadanya yang
pada awalnya sudah ada sebanyak 6 (enam) unit.
Hubungan baik secara bisnis maupun secara kekeluargaan semasa
hidupnya tetap dibina dan dipertahankan oleh Reti Sembiring Gurukinayan
dengan Bapak Pho Siong Liem. Kepercayaan untuk mendapatkan bantuan kredit dalam pengadaan bus oleh Bapak Pho Siong Liem
tetap dijaga dan dipelihara tidak pernah disalah gunakan atau
dipergunakan untuk keperluan lainnya.
Tabel. 1
Jumlah Armada PO. SINABUNG JAYA
Tahun 1964
No. Lambung
|
Tahun Pembuatan
|
No.Polisi
|
Trayek
|
Penanggung Jawab
|
1
|
1961
|
BK 41923
|
Berastepu – Medan PP
|
Rekat S. Gurukinayan
|
2
|
1953
|
BK 17469
|
Berastepu – Pekan Pekan
|
Rekat S. Gurukinayan
|
3
|
1956
|
BK 45197
|
Gurukinayan-Pekan Pekan
|
Tabas Surbakti
|
4
|
1950
|
BK 44980
|
Gurukinayan-Pekan Pekan
|
Tabas Surbakti
|
5
|
1956
|
BK 30260
|
Kabanjahe – Medan PP
|
Reti S. Gurukinayan
|
6
|
1960
|
BK 34327
|
Gurukinayan – Medan PP
|
Tabas Surbakti
|
Hubungan kekeluargaan dengan Bapak Pho
Siong Liem dari tahun ke tahun tetap dapat dipertahankan dengan baik antara lain dengan cara setiap menjelang hari Raya Imlek,
Reti Sembiring Gurukinayan tidak pernah lupa untuk membawa sayur
mayur dan buah-buahan yang terbaik yang dihasilkan di
Kabupaten Karo untuk di bawa ke rumah keluarga Bapak Pho Song Liem
sebagai wujud ucapan terima kasih atas bantuan dan bimbingan beliau pada
keluarga ini yang salah satunya hanya dapat dilakukan dengan cara
tersebut.
Kalau di hitung nilai oleh-oleh yang dibawa dari Berastagi ke Medan
tidak sebanding dengan oleh-oleh yang diberikan kembali oleh Bapak Pho
Siong Liem kepada Reti Sembiring Gurukinayan. Dimana dari Medan
diberikan oleh-oleh untuk keluarganya antara lain makanan dan minuman
yang akan disajikan pada perayaan tersebut. Disamping itu karena
hubungan keluarga yang begitu baik, Bapak Pho Siong Liem sering memberi hadiah kepada Reti Sembiring Gurukinayan apabila baru
pulang dari luar negeri seperti sepatu buatan Inggris (England), rokok dalam kaleng 555, kemeja, pulpen dan lain sebagainya dari
merk terkenal pada waktu itu. Tapi karena semasa hidupnya sederhana dan
bersahaja, maka barang – barang tersebut hanya jadi pajangan termasuk
sepatu hanya dipakai kalau sedang menemui beliau atau keinstansi
pemerintah. Demikian juga rokok 555 dalam kaleng hanya dipajang dilemari
berbulan-bulan dan tidak pernah dirokok, karena pada masa itu beliau
sangat menyenangi rokok merk “Peace” yang bungkusnya berwarna kuning.
|
Foto
ketika jasad Almarhum Reti Sembiring Gurukinayan di semayamkan di rumah
duka di jalan Veteran Gang Usaha Tani Berastagi pada tanggal 21
September 1964, dimana posisi jenajah Almarhum Reti Sembiring dalam
keadaan posisi duduk membujur. Tampak dalam foto sebelah kanan jenajah
istrinya ibunda Releng br Karo dan sebelah kirinya adik perempuannya
Bantamuli br Sembiring Gurukinayan. Sedangkan didepan sesuai dengan arah
jarum jam (didepan ibunda Releng br Karo) Selat br Sembiring Meliala
(istri Kueteh Sembiring Gurukinayan, anak sulung almarhum) , Rasmi
Sembiring Gurukinayan, Juah br Sembiring Gurukinayan (anak perempuan
dari saudaranya satu nenek), Rophian Sembiring Gurukinayan, Eriwan
Sembiring Gurukinayan |
Hanya pulpen merk “Parker” pemberian Bapak
Pho Siong Liem yang dipakai untuk sehari-hari, dimana tanda tangan
beliau sangat sederhana cukup menuliskan nama “Reti” pada semua dokumen
yang berhubungan pengelolaan perusahaan otobus PO. Sinabung Jaya pada
waktu itu, maklum beliau awalnya adalah buta aksara karena memang tidak
pernah mengikuti pendidikan formi di bangku Sekolah Dasar, akan tetapi karena kemauan keras beliau untuk masa
depannya dan keluarganya beliau secara otodidak akhirnya dapat
membaca, menulis maupun benghitung sehingga tidak menemui kendala
dalam mengelola perusahaanya PO. Sinabung Jaya.
Hadiah-hadiah lainya tetap beliau pelihara sepanjang hidupnya antara
lain sepatu buatan England berwarna coklat muda jarang beliau
pergunakan, demikian baju Arrow pemberian Bapak Pho Siong Liem yang
umumnya berwarna putih (warna kesayangan beliau) baru dipakai kalau ada
acara penting maupun keperluan menemui Bapak Pho Siong Liem.
Sedangkan kesehariannya beliau cukup memakai baju sederhana kerah baju
santai dan celana drill berwarna cream atau putih yang tidak pernah
berubah sejak beliau masih sebagai kernek maupun supir di jaman Belanda
maupun jaman Jepang. Gaya hidup tersebut dapat ditanamkan pada semua
anak anaknya tidak terkecuali Arnem Sembiring Gurukinayan anak ke
empatnya.
|
Foto
Bersama Keluarga Besar Almarhum Reti Sembiring Gurukinayan didean
rumah adat “Siwaluh Jabu” desa Gurukinayan tanggal 23 September
1964,sebelu jasad Almarhum di bawa ke Gedung Pertemuan (Jambur/ Los)
Kampung Gurukinayan. |
Akan tetapi pada tanggal 21 September 1964,
hampir 3 (tiga) tahun setelah beliau mendirikan PO. Sinabung Jaya pada
usianya yang ke 60 tahun, hari Sabtu jam 06.15 pagi Reti Sembiring
Gurukinayan dipanggil oleh Allah Bapa di Sorga di rumahnya di Gang Usaha
Tani, jl. Veteran Brastagi tempat tinggalnya bersama keluarga yang
sekaligus sebagai kantor perusahaan otobusnya PO. Sinabung Jaya. Pada
siang itu juga Bapak Pho Siong Liem secara khusus datang melayat dari
Medan ke rumah duka beserta ibu pada jam 13.00.
|
Rumah
adat keluargaalmarhum Reti Sembiring “Waluh Jabu” (rumah adat batak
Karo dimana satu rumah besar dihuni oleh delapan kepala keluarga
baik dari pihak kalimbubu maupun anak beru yang letaknya
ditentukan oleh kedudukan masing-masing kepala keluarga didalam
adat Karo) di desa Gurukinayan, |
Keesokan harinya tanggal 22 September 1964
jam 09.00 pagi jenajahnya dibawa ke Gurukinayan dengan diiringi keluarga
serta seluruh armada PO. Sinabung Jaya sebagai penghormatan terakhir
kepada pemiliknya, dan selanjutnya disemayam-kan satu malam di rumah
adat almarhum “Waluh Jabu” (rumah adat batak Karo dimana satu rumah
besar dihuni oleh delapan kepala keluarga baik dari pihak
kalimbubu maupun anak beru yang letaknya ditentukan oleh
kedudukan masing-masing kepala keluarga didalam adat Karo), sambil
menunggu acara adat keesokan harinya tetap dilakukan acara yang ada di
adat Batak Karo dengan diringi alat musik tradisonal sampai pada tengah
malam.
Pada malam harinya, karena masyarakat batak Karo masih banyak yang
menganut kepercayaan animisme pada waktu itu, termasuk almarhum Reti
Sembiring Gurukinayan maka atas permintaan keluarga baik dari
pihak sukut ( Sembiring Gurukinayan) anak beru maupun kalimbubu,
diadakanlah acara “ Perumah Begu” (acara memanggil kembali roh
almarhum termasuk semua leluhurnya) melalui media Guru Perbegu (Dukun)
secara bergantian dari satu roh ke roh lainnya sampai pada menjelang
pagi hari. Inti dari pesan almarhum pada waktu itu berupa
nasihat-nasihat yang pernah almarhum sampaikan maupun yang belum sempat
disampaikan semasa hidupnya (antara lain cara pengelolaan ataupun
cara pembagian yang adil kalau memang perlu segera dibagi oleh
ahli waris terhadap harta warisan yang ditinggalkan almarhum) melalui
media Guru Perbegu kepada seluruh keluarga yang ditinggalkannya yang
diberikan secara berurutan kepada istri dan seluruh anak yang
ditinggalkannya termasuk keluarga lainnya.
|
Rumah adat Karo “Waluh Jabu” (delapan rumah tangga) keluarga almarhum Reti Sembiring di desa Gurukinayan dilhat dari samping |
Acara pemanggilan roh ini tidak hanya
terbatas untuk roh almarhum akan tetapi kepada semua roh keluarga/
leluhurnya yang sudah lebih dulu meninggal dunia yang kata Dukunnya
kebetulan singgah atau ikut nimbrung di rumah Waluh Jabu tempat acara
tersebut dilaksanakan. Pada intinya acara ini hanyalah berupa
nasihat-nasihat melalui media Dukun/ Guru Perbegu , dimana agar semua
anak yang ditinggalkan beserta istrinya harus saling kasih mengasihi
tidak hanya diantara mereka tapi harus “megermet” (peka) atau ikut
segera berpartisipasi dalam setiap kejadian di keluarga besar
Sembiring Gurukinayan, harus “metami” (menyayangi) kepada semua anak
beru (yang menjalankan acara, suami atau keturunan dari saudara
perempuan marga Sembiring Gurkinayan) serta “mehamat” (hormat) kepada
kalimbubu (yang paling dihormati dalam adat Karo dari ayah atau saudara
laki-laki dari pihak ibu) atau pihak istri maupun dari leluhur lainnya
dari keluarga Sembiring Gurukinayan ).
|
Garasi armada bus PO. Sinabung Jaya disamping Rumah ada “Waluh Jabu” keluarg Almarhum Reti Sembiring di desa Gurukinayan |
Keesokan harinya setelah menabur bunga di
makam almarhum Reti Sembiring Gurukinayan tanggal 24 September 1964 hari
Selasa di rumah “Waluh Jabu” sesuai dengan adat Batak Karo diadakan
runggu (rapat keluarga) yang dilakukan/ dipelopori oleh anak beru untuk
membicarakan berapa biaya maupun utang yang harus di bayar kepada
keluarga yang sudah terlebih dahulu mengeluarkan uang untuk membeli sesuatu yang berhubungan dengan upacara pemakaman
almarhum Reti Sembiring Gurukinayan.
Disamping itu dibicarakan antara keluarga Sembiring Gurukinayan
dengan anak berunya dan disaksikan kalimbubu untuk mendata harta warisan
yang bergerak maupun tidak bergerak yang ditinggalkan oleh almarhum
Reti Sembiring Gurukinayan apakah dibagikan atau tidak.
|
Foto
ketika jasad Almarhum Reti Sembiring Gurukinayan di bawa ke Jambur desa
Gurukinayan (gedung pertemuan) padaa tanggal 23 September 1964, dimana
jasadnya dalam posisi “duduk” dalam peti yang dibuat secara khusus oleh
“anak beru” Posisi duduk tersebut atas permintaan Anak Beru maupun
keluarga lainnya karena semasa hidupnya keluarga menganngap mempunyai
charisma yang dapat mempersatukan seluruh keluarga tanpa melihata
statusnya ekonominya. Oleh sebab itu menurut mereka agar kharismanya
dapat diturunkan kepada anak-anaknya (bukan istri dan anak-anaknya) maka
harus dikuburkan dalam posisi duduk. Kenyataannya, charisma tersebut
turun kepada anak sulungnya Kueteh Sembirng Gurukinayan yang cukup
dikenal pada tahun 1965 sampai awal pemili tahun 1971. |
Diprakarsai oleh anak tertuanya Kueteh
Sembiring Gurukinayan, semua ahli waris almarhum Reti Sembiring
Gurukinayan berikrardi hadapan bunda Releng br Sitepu, keluarga
besar Sembiring Gurukinayan dan semua saudaranya dan keluarga lainnya, Anak Beru dan disaksikan Kalimbubu, bahwa ahli waris almarhum
tidak akan pernah membagikan atau memindah tangan kan harta yang
ditinggalkan almarhum baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak
termasuk perusahaan otobus PO. Sinabung Jaya. Dimana harta yang
ditinggalkan oleh almarhum hendaknya dapat lebih dikembangkan dikemudian
hari, yang boleh dibagi adalah hasil dari pengelolaannya
antara lain dari perusahaan otobus PO. Sinabung Jaya beserta
armadanya dimana jumlah armada seyogyanya diperbesar dan bukan
diperkecil dan hasil sawah/ ladang.
|
Foto
Bapak Kepala POLRES Tanah Karo beserta jajarannya (urutan ke tujuh
dari kanan) datang melayat Almarhum Reti Sembiring Gurukinayan di Jambur
desa Gurukinayan (gedung pertemuan) pada tanggal 23 September 1964 |
Pada waktu Almarhum Reti Sembiring
Gurukinayan meninggal pada tanggal 21 September 1964, armada bus PO.
Sinabung Jaya yang ditinggalkan sebanyak 6 (enam) unit yang rinciannya dapat dilihat pada Tabel 1 tersebut di atas.
|
Foto
Anak Beru Menteri yang dalam tingkatan suku Adat Karo bertugas untuk
memasak nasi dan sayur, untuk makan siang dalam acara pemakaman
Almarhum Reti Sembiring Gurukinayan di Jambur desa Gurukinayan (gedung
pertemuan) pada tanggal 23 September 1964 |
9. TAHUN 1964
Sepeninggal almarhum Reti Sembiring Gurukinayan (Pa Kueteh), oleh
keluarga maupun masyarakat sekitarnya meramalkan bahwa eksistensi
perusahaan otobus PO. Sinabung Jaya akan berakhir atau tidak
akan dapat bertahan karena para ahli warisnya khususnya anak-anaknya tidak akan dapat mencontoh cara kerja yang selama ini almarhum lakukan.
Penilaian tersebut tidak salah karena keluarga maupun masyarakat
sekitarnya mengetahui bahwa semasa hidupnya almarhum adalah pekerja yang
sangat gigih dan ulet karena walaupun beliau sudah memiliki 6 (enam)
unit armada PO. Sinabung Jaya. Selama hidupnya Almarhum tidak pernah
segan-segan bertindak sebagai montir dengan pakaian khas montir
yang di Tanah Karo disebut pakaian monyet, karena model terusan
dimana baju bersatu dengan celana, sama dengan pakaian montir pada saat
ini. Bedanya kalau pakaian montir yang sekarang pada umumnya terdapat
logo sponsor untuk promosi produknya, sedangkan pakaian Almarhum
secara khusus dipesan di tukang jahit (Tailor).
|
Foto
sebelah kanan ibunda Releng br Kar (Sitepu) Direksi PO. Sinabung Jaya
menggantikan suaminya Alm. Reti Sembiring Gurukinayan. Sebelah kanannya
adalah kakak sulungnya Sahun br Sitepu (Nd. Ganin), foto didean Gunung
Sinabun (Sebintun,Berastepu) pada tanggal 30 Agustus 1966. |
Dalam hal perawatan semua armadanya, almarhum menangani sendiri khususnya kerusakan ringan dengan dibantu
oleh supir dan kernetnya, dimana almarhum tidak pernah mau menunda
pekerjaan yang dapat segera diperbaiki di garasi terbuka dan udara yang
sangat dingin di Berastagi kadang-kadang sampai tengah malam agar
keesokan harinya dapat beroperasi kembali. Umumnya supir maupun
kerneknya sudah dapat diandalkan untuk membantu beliau dalam perbaikan
kerusakan ringan (diluar kerusakan mesin), sedangkan untuk perbaikan
kerusakan berat seperti perbaikan mesin dipercayakan kepada montir Eng
Cuan yang rumah model toko (ruko) merangkap bengkelnya dekta stasiun
PO. Sinabung Jaya atau sederetan dengan poliklinik “Darma Bhakti” di
Berastagi. Suatu hari pernah terjadi ketidak cocokan dalam memperbaiki metal mesin, dimana montir Eng Cuan dianggap terlalu
banyak menggerus/ menipiskan bagian metal yang akan dipasang, sehingga
karena terjadi perbedaan pendapat tersebut montir Eng Cuan
menelantarkan mesin tersebut sehingga almarhumlah yang harus menyelesaikannya dengan dibantu supir dan kerneknya merakitnya
kembali sampai bus tersebut dapat dioperasikan kembali.
|
Foto
PO. Sinabung Jaya nomor 9 BK.29128 trayek Kabanjahe _ Medan PP merk
Chevrolet tahun 1967, (sesuai arah jarum jam) Sehat Sembiring
Gurukinayan (anak bungsu ayahanda Alm. Rekat Sembiring Gurukinayan)
Salam Tarigan, Rophian Sembiring Gurukinayan, dan diatas Resmond Jaya
Sembiring Gurukinayan di lokasi Gundaling Berastagi. |
Penilaian masyarakat maupun keluarga dekat
ada benarnya karena tidak mungkin para ahli waris dapat mewarisi cara
kerja yang telah almarhum lakukan sepanjang hidupnya disamping sebagai
sebagai pengusaha juga sebagai montir busnya. Akan tetapi Allah
Bapa masih memberkati usaha yang ditinggalkan, dimana istrinya
Releng br Sitepu (Nande Kueteh) yang buta aksara dibantu oleh
anak-anaknya yang masih sekolah/ kuliah di Berastagi maupun di Medan
termasuk anak ke empatnya Arnem Sembiring Gurukinayan yang pada waktu
itu sudah menjadi mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara
tahun ke dua, serta dibantu oleh Rekat Sembiring Guruki-nayan (Pa
Nimpan) untuk bus yang poolnya ada di Berastepu dan Tabas Surbakti (Pa
Bini) untuk bus yang poolnya di Gurukinayan serta bimbingan dan
pengawasan yang dilakukan oleh anak sulungnya Kueteh Sembiring
Gurukinayan yang pada waktu itu menjadi salah satu direktur di PT.
Daya Eka Esa di Medan, sehingga perusahaan otobus tersebut dapat
berkembang dengan baik. Untuk operasional bus yang poolnya di Berastagi
dikelola oleh ibunda Releng br Sitepu termasuk menerima setoran bus yang
poolnya di Gurukinayan dan Berastepu dengan dibantu oleh keluarga
bernama Ukur Barus yang diberi tugas sebagai Kepala Operasional di
Berastagi/ Kabanjahe yang berasal dari Barusjahe yang sehari-harinya
sebagai guru Sekolah Dasar Negeri nomor 4 di Jalan Udara Berastagi serta
ke empat anaknya yang masih sekolah di Berastagi maupun Kabanjahe yaitu
Nuraini br Sembiring Gurukinayan, Rophian Sembiring Gurukinayan, Eriwan
Sembiring Gurukinayan dan Resmond Jaya Sembiring Gurukinayan.
|
Foto Alm. Arnem Sembiring Gurukinayan,Anak keempat Alm. Reti Sembiring Gurukinayan & Almh. Releng br Sitepu |
Pada tahun 1964 Arnem Sembiring , Budi
Singarimbun dan Rasmi Sembiring yang sudah duduk di Kelas III SMA I
Teladan Medan, telah tinggal di rumah Gang Pasir Nomor 19, Jl. S. Parman
Medan yang dibeli oleh Almarhum Reti Sembiring Gurukinayan. Sedangkan
anak sulungnya Kueteh Sembiring Gurukinayan juga telah menempati rumah
barunya di Jalan S. Parman Nomor 315 A, atau tepatnya di ujung jalan
Gang Pasir Medan . Kedua rumah tersebut pada waktu itu dapat dibeli
karena bantuan kredit dari Bapak Pho Siong Liem, oleh sebab itu bantuan
beliau kepada keluarga ini (PO. Sinabung Jaya) sangat besar dan tidak
mungkin dapat dibalas dalam bentuk apapapun.
|
Foto PO. Sinabung Jaya nomor 7 trayek
Kabanjahe _ Medan PP, merk Chevrolet tahun 1961 sebagai mobil pengganti
dari mobil sedan Plymouth tahun 1956 ayahanda Almarhum Reti Sembiring
Gurukinayan, dari kiri berdiri Ibunda Goto br Sitepu yang sekarang sudah
berumur 91 tahun dan sebelahnya ibunda Almarhumah Releng br Sitepu.
Foto diambil didepan rumah ayahanda Almarhum Rekat Sembiring di
Gurukinayan pada tanggal 21 Nopember 1970, beberapa hari sebelum Kincar
Emanuel Sembiring Gurukinayan ( berdiri sebelah kiri) dan Rophian
Sembiring Gurukinayan (ketiga di belakang) melanjutkan kuliah ke
Yogyakarta. |
Karena ibunda Releng br Sitepu buta aksara
maka untuk menanda tangani semua dokumen yang berhubungan
dengan perusahaan otobus PO. Sinabung Jaya sejak tanggal 21
September 1964 menggunakan “Cap Jempol” nya. Akan tetapi penggunaan cap
jempol ini hanya berlangsung hampir selama 10 (sepuluh) tahun, karena
pada pertengahan tahun 1971 keluar peraturan pemerintah tentang larangan
penggunaan cap jempol untuk menandatangani semua dokumen yang
berhubungan dengan perusahaan termasuk untuk dokumen perusahaan otobus
PO. Sinabung Jaya. Agar tidak menghambat urusan administrasi perusahaan,
dan atas pesetujuan dan kesepakatan bersama para ahli waris lainnya
maka urusan administrasi dan pengurusan surat-surat yang berhubungan
dengan kegiatan usaha PO. Sinabung Jaya dilaksanakan oleh Arnem
Sembiring Gurukinayan yang bertindak sebagai kuasa/ atas nama Releng br
Karo selaku Direksi PO. Sinabung Jaya sedangkan pengawasannya tetap
dilakukan oleh Kueteh Sembiring Gurukinayan.
|
Foto
PO. Sinabung Jaya nomor 10, BK. 39013 trayek Gurukinayan – Medan PP,
merk Chevrolet tahun 1961 di Parik Lau (sungai) Gurukinayan.Dibelakang
terlihat Almarhum Buyung sedang mencuci busnys.Didepan (sesuai arah jam)
tampak Rophian Sembiring Gurukinayan, Bania Fonta Singarimbun dan anak
Almarhum Tabas Surbakti: Dalton Surbakti dan Asa Surbakti. |
Hubungan keluarga dengan Bapak Pho Siong
Liem tetap berjalan dengan baik walaupun almarhum Reti Sembiring
Gurukinayan telah meninggal dunia, dimana hubungan keluarga maupun
bisnis diteruskan oleh ibunda Releng br Sitepu dengan dibantu oleh anak
sulungnya Kueteh Sembiring Gurukinayan, demikian juga tradisi
yang sudah dirintis Almarhum dari tahun ke tahun dengan membawa
sayur mayur dan buah-buahan yang terbaik dari Berastagi menjelang
Tahun Baru Imlek tetap dilaksanakan dari tahun ke tahun. Sepeninggal
almarhum Reti Sembiring Gurukinayan, atas bantuan Bapak Pho Siong Liem
perusahaan tersebut makin berkembang dan terjadi penggantian armada yang
lebih baru maupun jumlahnya bertambah serta terjadi perluasan trayek
sampai ke Harang Gaol Kabupaten Simalungun
|
Foto di ladang Tambak Rahu terlihat makam
urutan dari sebelah kanan ke kiri adalah makam ibunda Releng br Sitepu,
ayahanda Reti Sembiring (kedua makam dijadikan satu pagar), ayahanda
Rekat Sembiring dan pagar bambu makam abangnda Arnem Sembiring. Tanah
sebelah ayahanda Rekat Sembiring diperuntukkan untuk ibunda Goto br
Sitepu yang pada saat ini masih dalam kondisi yang prima melihat
diusianya yang ke 90 tahun. Latar belakang terlihat pohon jeruk yang
masih dalam pertumbuhan dan Gunung Sinabung yang begitu indah (photo
resmond jsg.ist). |
Sampai pada akhir tahun 1970 armada PO.
Sinabung Jaya telah memiliki armada sebanyak 13 (tiga belas) unit yang
semuanya keluaran Chevrolet yang rinciannya dapat lihat pada Tabel 2
tersebut di bawah, yang berarti sejak almarhum Reti Sembiring Gurukinyan
meninggal dunia pada tahun 1964 maka selama kurun waktu 6 (enam) tahun
telah terjadi penambahan armada PO. Sinabung Jaya sebanyak 7 (lihat pada
table 2 di atas). (tujuh) unit, dengan demikian kekhawatiran keluarga
bahwa sepeninggal almarhum PO. Sinabung Jaya tidak akan berkembang
jelas tidak terbukti, karena selama kurun waktu tersebut di atas
telah terjadi penambahan armada lebih dari 100 % dimana 1 (satu) armada
nomor lambung 7 (tujuh) adalah pengganti mobil sedan Almarhum Reti
Sembiring Gurukinayan yang dijual dan ditukar dengan armada tersebut.
Tabel 2
Jumlah Armada PO. Sinabung Jaya
Tahun 1970
No. Lam- bung
|
Tahun Pembuatan
|
Trayek
|
Penanggung Jawab
|
1
|
1960
|
Berastepu – Medan PP
|
Rekat S. Gurukinayan
|
2
|
1951
|
Berastepu – Pekan Pekan
|
Rekat S. Gurukinayan
|
3
|
1960
|
Gurukinayan-Pekan Pekan
|
Tabas Surbakti
|
4
|
1950
|
Gurukinayan-Pekan Pekan
|
Tabas Surbakti
|
5
|
1960
|
Kabanjahe – Medan PP
|
Ukur Barus *
|
6
|
1960
|
Gurukinayan – Medan PP
|
Tabas Surbakti
|
7
|
1961
|
Kabanjahe-Medan PP
|
Ukur Barus *
|
8
|
1960
|
Medan-Kabanjahe-H.Gaol PP
|
Arnem Sembiring
|
9
|
1967
|
Kabanjahe- Medan PP
|
Ukur Barus *
|
10
|
1960
|
Gurukinayan- Medan PP
|
Tabas Surbakti
|
11
|
1967
|
Brastepu- Medan PP
|
Rekat S. Gurukinayan
|
12
|
1968
|
Brastepu-Medan PP
|
Rekat S. Gurukinayan
|
13
|
1952
|
Gurukinayan-Pekan Pekan
|
Tabas Surbakti
|
* Kepala Operasional. di Berastagi / Kabanjahe.
Karena alasan tersebut keluarga dapat
menerima dengan pertimbangan agar beliau dapat menyenangkan hatinya
dalam menjalani masa tuanya, apalagi kegiatannya sebagai supir taxi
hanya dilakukan pada waktu luangnya dimana tidak ada busnya yang harus
diperbaiki.(lihat photo di atas).
Setelah beliau meninggal dunia, mobil sedan tersebut dijual dan
dibelikan gantinya 1 (satu) unit bus pada akhir tahun 1964 merk
Chevrolet tahun 1961 ex. jurusan Medan – Takengon yang pada waktu
kondisi bus tersebut 90 % sehingga langsung dapat dioperasikan. Bus
tersebut sejak dibeli pertama kali oleh pemiliknya hanya beberapa kali
menjalani rute tersebut, kemudian dikandangkan karena alasan tidak
jelas. Kenderaan tersebut masuk armada PO. Sinabung Jaya dengan nomor
lambung 7 (tujuh) tanpa dicat ulang untuk sementara hanya diganti merk
PO. Sinabung Jaya dan nomor lambungnya. Sebelum dioperasikan untuk
pertama kalinya keluarga berjiarah kekuburan almarhum Reti Sembiring
Gurukinayan di kampung Gurukinayan karena setelah almar-hum meninggal
baru kali ini terjadi penambahan armada walaupun sebagian uangnya
berasal dari hasil penjualan sedannya beberapa waktu yang lalu, kemudian
baru keesokan harinya bus tersebut menjalani trayek Kabanjahe – Medan
PP (pergi pulang).
|
Foto
mobil sedan Plymouth BK. 13741 tahun 1956, kenderaan pribadi Alm. Reti
Sembiring, Gurukinayan. Pada waktu almarhumah meninggal, mobil tersebut
di atas sedang diperbaiki di bengkel las / cat di Medan.Tradisi jiarah ke kuburan almarhum akhirnya
tetap dilestarikan keluarga secara khusus apabila ada penambahan armada
sebagai wujud penghormatan kepada ayahanda almarhum Reti Sembiring
Gurukinayan sebagai pendiri dan pemilik perusahaan otobus PO. Sinabung
Jaya. |
Kemudian pada tanggal 30 Agustus 1966 keluarga kembali jiarah ke pusara
ayahanda amarhum Reti Sembiring Gurukinayan karena ada penambahan armada
bus merk Chevrolet tahun 1960 dengan nomor lambung 8 (delapan) yang
juga akan dioperasikan untuk trayek Medan – Kabanjahe, sedangkan poolnya
di Medan.( lihat foto di bawah).
Sedangkan untuk meningkatkan mobilitas Arnem Sembiring Gurukinayan
selaku “Kuasa PO. Sinabung Jaya” di Medan yang secara rutin menerima
hasil setoran bus yang poolnya di Gurukinayan, Berastepu dan Berastagi,
disamping dipergunakan untuk membeli suku cadang bus, perbaikan
karoseri serta urusan administrasi perusahaan, uang tersebut
dipergunakan untuk membeli JEEP WILIS tahun 1945 nomor polisi BK. 40565.
yang dirakit di bengkel dekat jalan Asia Medan, dimana bengkel
tersebut pada waktu itu sudah mampu untuk mencetak bodi baru, hanya
mesin, chasiss dan lainnya sebagainya dipakai dari ex. Singapore .
(lihat foto di bawah).
|
Foto
pada saat jiarah ke pusara Alm. Reti Sembiring Gurukinayan di kampung
Gurukinayan pada tgl. 30 Agustus 1966 (dari arah jarum yang berdiri)
Rumah Pudung Sembiring, Eriwan Sembiring, Arnem Sembiring (mengenakan
sweeter), rasmi Sembiring dan paling kanan Alm. Releng br Sitepu dan
kakaknya Alm. Sahun br Sitepu. |
Akan tetapi seirama dengan perkembangan
teknologi dan pola permintaan jasa angkutan penumpang oleh masyarakat
khususnya antar kota dari Kabanjahe ke Medan dan sebaliknya terjadilah
perubahan yang cukup derastis pada tahun 1976. Dimana sampai pada tahun
1975 bus keluaran Amerika berbahan bakar bensin (sekarang premium)
merk Chevrolet yang pada waktu itu menguasai pangsa pasar tidak hanya
di Sumatera Utara tapi juga umumnya di Indonesia. Demikian juga halnya
yang terjadi di daerah di Kabupaten Karo dimana daerahnya merupakan
daerah pegunungan yang terletak di Bukit Barisan, jalan kedaerah
tersebut sebagian besar tanjakan dan tikungan yang cukup tajam
sehingga hanya mobil keluaran Amerika lah pada waktu itu yang cukup
handal untuk dapat dipergunakan di daerah tersebut. Walaupun ada juga
yang menggunakan mobil keluaran Jepang berbahan bakar bensin seperti
Toyota dan juga merk Robur buatan Eropah Timur berbahan solar digunakan
oleh PO. Saribu Raja yang menjalani trayek Medan – Haranggaol sama dengan trayekyang dijalani PO. Sinabung Jaya pada waktu itu, tapi
kemampuan mesinnya pada waktu itu masih jauh di bawah bus keluaran
Amerika khususnya Chevrolet yang kekuatan dan kemampuan mesinnya dapat
diandalkan untuk daerah pegunungan.
|
Foto
“Jeep Willis” BK. 40565, kenderaan operasional Alm. Arnem Sembiring,
Dari kiri ke kanan (arah jarum) Rasmi Sembiring, Basukurta Sembiring,
Rophian Sembiring dan Eriwan Sembiring di Bukit Kubu – Berastagi 30
Agustus 1966. |
Akan tetapi seperti yang sudah dijelaskan
di atas, pada awal tahun 1976 terjadi perubahan cukup drastis dengan
dimulai penggantian alat tansportasi dengan menggunakan mobil engkel
(roda empat) keluaran Daihatsu yang juga menggunakan bahan bakar bensin
(premium). Karena mobilnya lebih kecil dengan daya muat sekitar 20 (dua
puluh) penumpang, membuat daya tempuh antara Medan ke Kabanjahe, lebih
singkat walaupun jalannya tanjakan di bandingkan dengan mobil buatan
Amerika dengan kapasitas penumpang sampai dengan 38 (tiga puluhdelapan) penumpang atau hampir dua kali lipat dengan bus kecil
tersebut. Akhirnya pola penumpang antar kota ini berubah dari bus badan
besar ke ke bus badan lebih kecil sehingga bus besar tidak dapat
lagi bersaing dengan bus sedang jarak tempuhnya lebih lama dibandingkan
dengan bus kecil yang lebih lincah untuk daerah pegunungan.
Akibat dari perubahan pola transportasi tersebut satu persatu
perusahaan otobus yang gulung tikar khususnya bagi perusahaan yang
tidak mampu meremajakan bus dengan bus kecil tersebut, termasuk pada
waktu itu PO. Sinabung Jaya yang hampir tidak ada lagi yang menjalani
trayek Kabanjahe Medan pulang pergi. Sedangkan untuk trayek pekan-pekan
masih dapat bertahan karena penumpangnya adalah penumpang tradisionil
karena pada waktu itu belum banyak minibus yang beroperasi di trayek
tersebut.
Mengingat situasi yang tidak menguntungkan tersebut di pelopori oleh
keluarga Tabas Surbakti yang dipercayakan untuk mengurus PO. Sinabung
Jaya di Kampung Gurukinayan mengambil inisiatif untuk membeli mobil
sendiri type engkel merk Daihatsu berbahan baku bensin untuk
menjalani trayek Gurukinayan – Medan PP, dengan demikian masih ada bus
tersebut yang menjalani trayek tersebut, akan tetapi karena jumlah
armada yang kecil tingkat pelayanan untuk rute tersebut tidak maksimal.
Padahal pada waktu itu untuk terminal bus Sei Wampu hanya PO. Sinabung
Jaya yang sampai disana, sedangkan bus perusahaan lainnya yang yang
menjalani trayek yang sama hanya sampai di Pajak Peringgan Medan,
kemudian menunggu penumpang di stasiun pembantunya di Padang Bulan. PO.
Sinabung Jaya walaupun sampai di stasiun Sei Wampu, masih tetap
mengandalkan Stasiun Padang Bulan di Kedai Pa Jagam sebagai
permberhentian terakhir sebelum melanjudkan perjalanannya ke
Kabanjahe dan sekitarnya. Dimana stasiun pembantu tersebut berada di
ujung jalan Sei Wampu ke arah Padang Bulan atau dekat stasiun pembantu
bus-bus perusahaan otobus lainnya. Keberangkatan bus dari Stasiun
Kabanjahe PO. Sinabung Jaya masih bergabung dengan bus perusahaan lainya
seperti PO. Saudara, PO. Tani, PO. Sebayang, PO. Selamat Jalan, PO.
Singalor Lau, PO. Sutera, PO. Liberty, PO. Swift, PO. Pinem dan lain
sebagainya.
Mengingat di era tahun 1965 hanya PO. Sinabung Jaya yang tetap dengan
setia masuk stasiun Sei Wampu, sedangkan perusahaan otobus lainnya yang
awalnya juga masuk stasiun dengan alasan keamanan tidak sampai ke
stasiun tersebut, maka penurunan jumlah armada bus PO. Sinabung Jaya
yang menjalani trayek tersebut secara drastis langsung memberikan image
yang negatif bahwa PO. Sinabung Jaya sudah gulung tikar. Sedangkan bagi
perusahaan armada lain yang juga bernasib sama karena bergabung menjadi
satu stasiun pembantu tidak begitu kelihatan, karena para penumpang
masih dapat memilih armada lainnya yang kebetulan sedang berada di
stasiun pembantu tersebut. Menurunnya jumlah armada PO. Sinabung Jaya
yang sampai ke terminal Sei Wampu sangat berdampak buruk bagi
kelangsungan perusahaan dikemudian hari, dimana jelas perusahaan ini
tidak dapat diandalkan untuk mempertahankan tingkat pelayayan kepada
para penumpang bus dan juga upaya pengembangan armadanya pasti akan
menemui banyak hambatan apabila perusahaan tidak mengambil
langkah-langkah strategis yang cepat dan tepat yang dapat mempertahankan
eksistensi perusahaan paling tidak di trayek Kabanjahe Medan PP.
Padahal PO. Sinabung Jaya sudah cukup dikenal didaerah tersebut
khususnya para pedagang kecil (Perengge-rengge) yang menjadi penumpang
setia baik disekitar Berastagi maupun Kabanjahe dan sekitarnya, karena
pada waktu itu bus PO. Sinabung Jaya trip terakhir terakhirnya
diberangkatkan dari Stasiun Padang Bulan Medan pada jam. 17.30. Sehingga
para pedagang yang menjadi penumpang setianya masih mempunyai waktu
yang cukup panjang untuk berdagang maupun berbelanja di kota Medan.
Akibat perubahan pola trasnportasi tersebut di atas, tidak terkecuali
PO. Sinabung Jaya terkena dampaknya, dimana armada bus besar yang selama
ini menjalani trayek Medan Kabanjahe satu persatu di jual karena tidak
menguntungkan lagi untuk dioperasikan, sedangkan Arnem Sembiring
Gurukinayan kemudian bekerja di PT. Bintang Cosmos dealer Bus Mercedes
Benz di Medan. Beliau lebih konsentrasi menjalani pekerjaan barunya
sehingga operasional perusahaan otobus PO. Sinabung Jaya tidak berjalan
sebagaimana mestinya. Sedangkan Rekat Sembiring Gurukinayan adik
bungsu almarhum Reti Sembiring Gurukinayan lebih banyak memfokuskan
kegiatannya menanam cengkeh. di kebun keluarga kampung Gurukinayan.
Walaupun demikian masih ada satu dua saja yang menjalani trayek
tersebut, khususnya bus engkel PO. Sinabung Jaya yang dimiliki oleh
Tabas Surbakti menggunakan Daihatsu berbahan bakar bensin yang selama
bertahun-tahun telah ikut membesarkan perusahaan ini khususnya untuk
armada PO. Sinabung Jaya yang menjadi tanggung jawabnya di pool
Gurukinayan. Tabas Surbakti tetap berupaya agar PO. Sinabung Jaya yang
telah ikut membesarkannya yang juga awalnya sama dengan pamannya
almarhum Reti Sembiring Gurukinayan sebagai kerneknya, kemudian
meningkat menjadi supir pada jaman Belanda bertekad agar PO. Sinabung
Jaya tetap dapat menjalani trayek ke Medan walaupun berangkat dari
kampung Gurukinayan, yang penting para penumpang setianya masih dapat
melihat bus PO. Sinabung Jaya tetap dapat menjalani trayek ke Medan
walaupun dengan jumlah armada yang sangat terbatas. Tingginya loyalitas
Tabas Surbakti agar PO. Sinabung Jaya tetap eksis tidak terlepas dari
bimbingan pamannya alamarhum Reti Sembiring sehingga akhirnya beliaupun
dapat mengikuti jejak pamannya sebagai pengusaha bus.
Akan tetapi penggunaan bus sedang merk Daihatsu hanya bertahan dalam
waktu yang relative singkat, karena pada tahun 1977 perusahaan angkutan
di daerah Sumatera Utara umumnya dan di Kabupaten Karo khususnya
sebagian meremajakan kembali busnya dengan ukuran yang sama ke merk
Toyota maupun Mitsubishi yang menggunakan bahan bakar solar yang
pada waktu itu harganya per liter jauh lebih murah dibandingkan dengan
menggunakan mobil berbahan bakar bensin (sekarang premium). Kemampuan
mesin yang menggunakan bahan bakar solar untuk tanjakan juga tidak
kalah dengan mesin yang menggunakan bahan bakar bensin seperti yang
digunakan oleh mobil Chevrolet maupun Daihatsu.
Demikian juga halnya dengan Tabas Surbakti juga ikut kembali meremajakan
busnya dengan merk Misubishi, sedangkan bus besar merk Chevrolet masih
dapat dioperasikan untuk menjalani trayek Berastepu dan Gurukinayan
pekan-pekan dan juga megangkut karyawan perusahaan bunga di Berastagi.
Tabas Surbakti (Pa Bini) tetap berusaha agar perusahaan tersebut tetap
dapat operasional walaupun tidak maksimal bila dibandingkan dengan awal
tahun 70-an. Karena pada waktu itu PO. Sinabung Jaya telah memiliki
stasiun terpisah untuk keberangkatan dari Sei Wampu dan stasiun pembantu
di Kedai Pa Jagam Padang Bulan/ Ujung Jalan Patimura akhirnya menarik
perhatian beberapa pengusaha bus yang mengutarakan minatnya untuk
bergabung dalam perusahaan otobus PO. Sinabung Jaya khususnya untuk
mengisi kekosongan trayek yang selama ini tidak lagi dijalani dengan
rutin oleh armada PO. Sinabung Jaya yang armadanya sangat terbatas, ,
antara lain Kabanjahe Medan PP, Berastepu Medan PP dan Haranggaol Medan
PP. Dalam hal ini yang menjadi pertanyaan; “kenapa pengusaha bus maupun
pemodal baru berminat untuk bergabung dengan PO. Sinabung Jaya dan bukan
dengan perusahaan otobus yang juga mempunyai trayek yang sama yang
kondisinya seperti PO. Sinabung Jaya?”.Dimana pada waktu itu masih ada
PO. Singalor Lau, PO. Sebayang , PO. Saudara, PO. Tani, PO. Selamat
Jalan dan lain sebagainya yang sampai saat ini juga masih memiliki
armada yang memadai, dimana minimal 5 (lima) armada bus sudah memenuhi
syarat untuk mendapatkan/ mempertahankan ijin trayeknya. Atau karena
stasiun PO. Sinabung Jaya sudah terpisah selama ini di Sei Wampu dan
Padang Bulan? Hal ini tetap menjadi pertanyaan kenapa harus PO. Sinabung
Jaya yang mereka pilih dan bukan perusahaan lainnya yang pasti juga
dengan tangan terbuka akan menerima permintaan mereka.
Pertanyaan ini hanya mereka, para pemilik bus yang sebagian besar
merangkap jadi petani yang sudah menjadi keluarga PO. Sinabung Jaya
yang dapat menjawabmnya. Tapi yang jelas karena kebersamaan mereka para
pemilik bus yang tetap setia bergabung dengan PO. Sinabung Jaya yang
membuat nama perusahaan ini tetap bertahan dan berkembang di jalur yang
menghubungkan ibukota Kabupaten Karo dan sekitarnya dengan ibukota
propinsi Sumatera Utara Medan, terima kasih semoga PO. Sinabung Jaya
tetap jaya ditangan kita bersama para keluarga besar PO. Sinabung Jaya
yang sebagian besar anggotanya merangkap sebagai petani dan supir PO.
Sinabung Jaya.
Tabel 3
Jumlah Armada Yang Bergabung Dalam
PO. SINABUNG JAYA
Tahun 1981
NO.
|
NO. POLISI
|
MEREK
|
THN PEM
BUATAN
|
JENIS KENDE -RAAN
|
PEMILIK
|
1.
|
BK.2038 SB
|
Mitsubishi
|
1977
|
Truk
|
Rup Rup Bangun
|
2.
|
BK.2047 SB
|
Mitsubishi
|
1980
|
Truk
|
Yusuf Sembiring
|
3.
|
BK.2027 SB
|
C o l t
|
1979
|
Truk
|
T. Karo2 Surbakti
|
4.
|
BK.2029 SB
|
Mitsubishi
|
1979
|
Truk
|
Tabas Surbakti
|
5.
|
BK.2674 SB
|
Mitsubishi
|
1980
|
Truk
|
K e r e m
|
6.
|
BK.2610 SC
|
Marcedes bens
|
1979
|
B u s
|
Arnem Sembiring
|
7.
|
BK.2602 SB
|
Daihatsu
|
1976
|
B u s
|
Arnem Sembiring
|
8.
|
BK.2606 SC
|
C o l t
|
1979
|
B u s
|
Arnem Sembiring
|
9.
|
BK.2619 SC
|
Marcedes bens
|
1979
|
B u s
|
Arnem Sembiring
|
10.
|
BK.2662 SC
|
Mitsubishi
|
1980
|
B u s
|
Releng br Karo
|
11.
|
BK.2730 SB
|
Chevrolet
|
1977
|
B u s
|
A. Sembiring
|
12.
|
BK.2689 AE
|
Chevrolet
|
1971
|
B u s
|
A. sembiring
|
13.
|
BK.2655 SC
|
Mitsubishi
|
1980
|
B u s
|
A. Sembiring
|
14.
|
BK.2653 SC
|
Mitsubishi
|
1980
|
B u s
|
A. Sembiring
|
15.
|
BK.2729 SB
|
Daihatsu
|
1976
|
B u s
|
R. br Karo
|
16.
|
BK.2750 SB
|
Daihatsu
|
1976
|
B u s
|
A. Sembiring
|
17.
|
BK.2766 SB
|
Chevrolet
|
1961
|
B u s
|
R. br Karo *)
|
18.
|
BK.2762 SB
|
Chevrolet
|
1960
|
B u s
|
R. br Karo
|
19.
|
BK.2610 SC
|
Marcedes bens
|
1979
|
B u s
|
Arnem Sembiring
|
20.
|
BK.2622 SC
|
Mitsubishi
|
1979
|
B u s
|
R. br Karo
|
21.
|
BK.2634 SC
|
C o l t
|
1979
|
B u s
|
Arnem Sembiring
|
22.
|
BK.2677 SB
|
Mitsubishi
|
1978
|
B u s
|
R. br Karo
|
23.
|
BK.2722 SB
|
Chevrolet
|
1968
|
B u s
|
R. br Karo
|
24.
|
BK.2625 SB
|
Chevrolet
|
1953
|
B u s
|
R. br Karo
|
25.
|
BK.2724 SB
|
Chevrolet
|
1960
|
B u s
|
R. br Karo
|
Ket : *) R br Karo, adalah Ibu Releng br Karo, ibunda Arnem Sembiring
Permintaan para pemilik bus maupun para
pemodal baru lainnya, kemudian diinformasikan Tabas Surbakti kepada
Arnem Sembiring Gurukinayan selaku “Kuasa” PO. Sinabung Jaya yang selama
ini tidak konsentrasi lagi untuk mengurus perusahaan otobus PO.
Sinabung Jaya, akan tetapi lebih konsentrasi kepada pekerjaan barunya
sebagai karyawan di PT. Bintang Cosmos.
Selang berapa waktu, Arnem Sembiring Gurukinayan dan atas dukungan para
ahli waris almarhum Reti Sembiring Gurukinayan sebagai pendiri dan
pemilik PO. Sinabung Jaya termasuk Rekat Sembiring Gurukinayan dan Tabas
Surbakti, mengeluarkan kebijakan dimana kepada para pemilik bus maupun
pemodal baru diberi kesempatan untuk ikut bergabung dengan perusahaan
otobus PO. Sinabung Jaya untuk menjalani trayek khususnya untuk trayek
Kabanjahe Medan PP yang pada saat itu kekurangan armada.
Sampai pada tanggal 10 Pebruari 1981 berdasarkan permohonan perpanjangan
Ijin Perusahaan Angkutan Mobil Bus Umum PO. Sinabung Jaya oleh Arnem
Sembiring Gurukinayan selaku kuasa ahli waris Alm. Reti Sembiring
Gurukinayan/ Alm. Releng br Karo kepada Bupati Kepala Daerah Tk. II
Kabupaten Karo, armada bus yang bernaung dalam perusahaan otobus PO.
Sinabung Jaya sebanyak 20 (dua puluh) unit bus besar/ sedang dan 5
(lima) truk yang rinciannya dapat dilihat pada Tabel 3 di atas.
Kemudian, kebijakan tersebut disambut dengan baik oleh para pemilik bus
maupun pemodal lainnya untuk bergabung dalam PO. Sinabung Jaya, sehingga
dalam jangka waktu yang relatif singkat banyak pengusaha bus maupun
pemodal baru yang ikut bergabung dengan PO. Sinabung Jaya. Ikut sertanya
pengusaha bus tersebut jelas menguntungkan perusahaan, karena dengan
demikian dalam waktu yang singkat PO. Sinabung Jaya dapat kembali
menjalani trayek yang selama ini hampir tidak dijalani secara rutin
dengan mengandalkan armada otobusnya berukuran kecil maupun sedang
(engkel dan ¾ ton). Penambahan jumlah armada yang cukup besar dalam
jangka waktu yang relatif cukup singkat tersebut tidak menjadi masalah
bagi perusahaan dalam mengatur jadual keberangkatan secara gradual. Hal
ini tidak lain karena selama ini PO. Sinabung Jaya khususnya untuk
Stasiun Sei Wampu maupun Stasiun Pembantu di Padang Bulan sudah terpisah
sejak awal tahun 1966 dengan perusahaan otobus lainnya tersebut di
atas. Mengingat penambahan jumlah armada yang cukup signifikan tersebut
maka dengan sendirinya PO. Sinabung Jaya harus mendirikan stasiun bus
sendiri di Kabanjahe maupun di Berastagi khusus untuk melayani
keberangkatan ke Medan. Karena apabila tetap bergabung dengan perusahaan
lainya yang sejenis jelas akan mengganggu keberangkatan masing-masing
armada dari beberapa perusahaan lainnya. Terpisahnya stasiun
keberangkatan dari stasiun Kabanjahe maupun Berastagi membuat perusahaan
otobus PO. Sinabung Jaya menjadi lebih leluasa untuk mengatur jadual
keberangkatan setiap armadanya, yang khusus untuk trayek Kabanjahe –
Medan PP dimana sampai saat ini setiap armada dapat menjalaninya
sebanyak 2 (dua) kali pulang pergi.
Pada umumnya di Kabupaten Karo dan sekitarnya nama perusahaan ini sudah
cukup dikenal sebagai salah satu sarana angkutan yang menghubungkan
ibukota Kabupaten Karo Kabanjahe dengan ibukota provinsi Sumatera Utara
Medan yang trayeknya melewati Berastagi sebagai kota lintasan trayek,
adalah kota wisata sebagai salah satu tujuan wisata domestik dan manca
Negara. Disamping itu karena perusahaan tersebut menggunakan nama salah
satu nama gunung di Kabupaten Karo, sehingga mudah untuk diingat oleh
para pengguna jasanya.
Nama PO. Sinabung Jaya cukup dikenal tidak terlepas dari kiprah anak
sulung Almarhum Reti Sembiring Gurukinayan yaitu Kueteh Sembiring
Gurukinayan, yang pada tahun 1967 pernah memperjuangkan dan
mempersatukan para pengusaha otobus bus yang sejenis dari berbagai
perusahaan yang selama ini telah menjalani trayek ke Medan dari
Kabupaten Karo yaitu dengan mempelopori pembentukan Badan
Kerjasama Perusahaan Otobus di Tanah Karo yang disebut dengan BKS (Badan
Kerja Sama). Sehingga semua perusahaan tersebut bersatu dalam penentuan
tarif yang wajar dan dapat diterima pemerintah maupun para pengguna
jasa tersebut seirama dengan perubahan harga bahan bakar minyak (BBM)
dan faktor lainnya pada waktu itu, sehingga tidak pernah terjadi perang
tariff atas sesama perusahan sejenis yang menjalani trayek yang
sama, akan tetapi persaingan dalam tingkat pelayanan yang diberikan
kepada para penumpangnya.
Pada tahun 1975 keluarga khususnya para ahli waris Almarhum Reti
Sembiring Gurukinayan hanya Arnem Sembiring Gurukinayan yang tinggal
sendiri di Medan, sedangkan para ahli waris lainnya ada di Padang
Sidempuan, Palembang/ Padang, Jakarta, Yogyakarta dan Balik Papan karena
kuliah, bekerja maupun ikut suami. Sedangkan anak sulungnya Kueteh
Sembiring Gurukinayan beserta keluarga pindah ke Jakarta akhir tahun
1974, demikian juga halnya dengan ibunda Releng br Sitepu (alm) lebih
banyak mengadakan perjalanan untuk mengunjungi semua anak-anaknya yang
tinggal di beberapa kota tersebut di atas. Sehingga pengelolaan PO.
Sinabung Jaya hanya Arnem Sembiring Gurukinayan (alm) yang
menjalankannya, praktis fungsi pengawasan yang selama ini sudah
dilakukan dari tahun ke tahun oleh Kueteh Sembiring Gurukinayan tidak
berjalan sebagaimana mestinya sampai satu persatu armada bus Chevrolet
di jual smpai pada akhir pada tahun 1978. Sedangkan bus PO. Sinabung
Jaya nomor 4 masih tinggal satu-satunya untuk bus besar perusahaan ini
dioperasikan sebagai angkutan karyawan Perkebunan Bunga di Berastagi.
Pada bulan Oktober tahun 1979 kami, Rophian Sembiring Gurukinayan, salah
satu ahli waris PO. Sinabung Jaya ziarah ke Gurukinayan bersama ibunda
Releng br Sitepu dan Selat br Sembiring Meliala istri dari anak
tertuanya Kueteh Sembiring Gurukinayan kebetulan berada di Medan untuk
urusan keluarga. Maksud ziarah tersebut karena kami telah dapat
menyelesaikan kuliah dan syukur langsung dapat diterima bekerja di salah
satu unit litbang Departemen Perindustrian di Yogyakarta, tentu
sebagai ucapan syukur seyogyanya kami ziarah sebelum bekerja pada bulan
Nopember 1979. Pada waktu ziarah ke kampung Gurukinayan baru terasa
bagaimana dampaknya bagi keluarga kalau tidak memiliki bus sendiri
khususnya yang menjalani trayek Medan Kabanjahe atau sebaliknya, dimana
untuk ziarah saja harus menumpang bis orang lain, tentu tidak seleluasa
atau senyaman apabila naik bus milik sendiri. Disamping waktu berangkat
maupun pulang dari ziarah tidak dapat kita tentukan sendiri, akan
tetapi tergantung dari jadual keberangkatan bus lain. Pada era sampai
tahun 1975, keluarga dengan leluasa untuk menentukan kapan waktu
berangkat ke kampung Gurukinayan maupun kembali pulang ke Medan atau
Berastagi, tapi saat itu keleluasaan seperti itu tidak ada lagi hanya
sebagai kenangan.
Pada waktu kami akan pulang dari Gurukinayan setelah selesai ziarah ke
kuburan ayahanda Almarhum Reti Sembiring Gurukinayan kami sudah memesan
tempat bagian depan untuk kami sebelum bus PO.Sinabung Jaya (milik Tabas
Surbakti) yang berangkat ke Kabanjahe. Akan tetapi setelah bus itu
melewati rumah keluarga, kami tidak mendapatkan tempat duduk seperti
yang sudah di pesan, sehingga kami berhimpit himpitan dengan penumpang
lainnya, walaupun kami juga tidak mau gratisan alias tidak bayar.
Karena kesal terhadap awak tersebut, ayahanda Rekat Sembiring Gurukinayan berkata : “itulah kalau kita tidak memiliki bus sendiri,
sehingga untuk mendapat tempat duduk yang sudah dipesanpun tidak
diberikan orang , itu makanya sudah sering saya katakan belilah kembali
bus kita”, sambil tidak menoleh lagi kearah kami sewaktu bus kami
berangkat meninggalkan kampung Gurukinayan yang selama ini tidak pernah
beliau lakukan seperti itu kalau kami jiarah ke Gurukinayan. Dalam, hati
kami pasti beliau merasa sedih karena beliau tidak memiliki bus sendiri
yang dapat beliau awasi seperti dulu sewaktu masih memiliki bus
besar. Sejak bus besar dijual, beliau sehari-harinya tinggal di kampung
Gurukinayan menanam cengkeh yang sebenarnya karena keadaan, dimana
tidak ada lagi bus yang harus diawasi/ diurus, sehingga kondisi fisiknya
tidak segairah pada waktu beliau masih memiliki bus sendiri untuk di
kelola khususnya bus yang poolnya di Berastepu, dimana pada jaman itu
beliau lebih sering tidur di Berastepu ketimbang di kampung Gurukinayan.
Akan tetapi awal setelah tahun 1968 beliau lebih sering pulang pergi
diantara kedua kampung tersebut karena sudah mempunyai kenderaan
operasional Jeep Willis. Akhirnya kenderaan tersebut pada waktu tahun
1978 di jual karena beliau merasa tidak membutuhkannya lagi mengingat
tidak ada lagi armada yang harus dikelola.
Setelah sampai di Jakarta, Selat br Sembiring Meliala menginformasikan
keluhan keluarga termasuk keluhan ayahanda Rekat Sembiring Gurukinayan
kepada suaminya Kueteh Sembiring Gurukinayan anak sulung almarhum
ayahanda Reti Sembiring Gurukinayan: “bagaimana susahnya untuk ziarah
saja ke Gurukinayan tidak senyaman dulu sewaktu masih memiliki bus
keluarga dimana berangkat dan pulangnya dapat di tentukan sendiri tanpa
bergantung kepada orang lain”.
Kebetulan pada bulan Oktober tahun 1981 atau tepatnya 2 (dua) tahun
setelah kejadian bulan Oktober tahun 1979 di Gurukinayan, keluarga
Kueteh Sembiring Gurukinayan pindah rumah baru di Jl. Delman Utama,Tanah
Kusir, Kebayoran Lama Jakarta Selatan, dimana seluruh keluarga diundang
untuk hadir di acara “Sumalin Jabu” (pindah rumah) di Jakarta termasuk
ayahanda Rekat Sembiring Gurukinayan beserta keluarga lainnya dari
kampung Gurukinayan. Sebelum berangkat ke Jakarta, ayahanda Rekat
Sembiring Gurukinayan telah menginformasikan kepada keluarga di
Gurukinayan, bahwa disamping untuk menghadiri acara anaknya pindah rumah
di Jakarta, beliau juga mengatakan, “ akan membawa pulang dari Jakarta
mobil chasiss untuk dibuat menjadi bus PO. Sinabung Jaya yang akan
melayani trayek Gurukinayan pekan-pekan”.
Keluarga yang sedang berkumpul di Jakarta sama sekali tidak mengetahui
rencana ayahanda Rekat Sembiring Gurukinayan bahwa beliau akan
membeli mobil chasiss di Jakarta dan sudah diinformasikan kepada semua
keluarga di Gurukinayan. Setelah acara pindah rumah selesai, beliau baru
bercerita mengenai rencana tersebut dimana beliau juga sudah membawa
uang hasil penjualan cengkehnya beberapa waktu yang lalu, berarti selama
lebih dari 2 (dua) tahun beliau memang merencanakan akan membeli bus
baru. Keluarga yang mendengarnya kaget karena memang tidak pernah lagi
terpikirkan untuk pembelian bus baru. Anak-anaknya berpikir lain, dimana
biarlah mereka pemilik bus saja yang bergabung dengan perusahaan kita,
sedangkan kita tidak perlu ikut terlibat dalam pengadaan armada bus.
Tapi pemikiran ayahanda lain, beliau ingin mengelola bus kembali dari
awal seperti yang selama puluhan tahun sudah dilakukannya bersama
abangnya Almarhum Reti Sembiring Gurukinayan.
Melihat gelagat anak-anaknya kurang berminat untuk membeli bus baru,
beliau akhirnya mengancam anak-anaknya dengan berkata, “kalau pulang
dari Jakarta saya tidak membawa truk seksi (chasiss) saya tidak akan
pulang ke kampung Gurukinayan”.
Mendengar ancaman yang tegas tersebut, anak-anaknya kaget tapi dapat
juga memakluminya karena beliau berkata bahwa bus tersebut bukan
semata-mata untuk menyenangkan hatinya tapi juga untuk anak dan cucunya
kalau ziarah ke kampung tidak seperti kejadian beberapa tahun belakangan
ini dimana untuk datang maupun pulangnya tergantung dari bus orang
lain.
Akhirnya untuk menyenangkan hati beliau, maka keluarga harus patungan
untuk menambah kekurangan uang yang dibawa dari kampung guna dapat
mewujudkan rencana tersebut dengan pertimbangan kondisi ayahnya akan
semakin baik kesehatannya dan kembali bergairah karena ada yang harus
dikerjakan setiap harinya yaitu mengawasi kembali busnya sendiri.
Keluarga yang patungan adalah Kueteh Sembiring Gukinayan, Dors Erti
Sembiring Gurukinayan, Rasmi Sembiring Gurukinayan, Kincar Emanuel
Sembiring Gurukinayan dan Sehat Sembiring Gurukinayan, sedangkan saya
sendiri baru diangkat sebagai calon pegawai negeri sipil (CPNS) di Balai
Penelitian Kulit, Departemen Perindustrian di Yogyakarta sehingga belum
siap untuk itu.
Dalam hal ini jelas, bahwa selama ini beliau sepenuh hati menanam
cengkeh bukannya tanpa tujuan yang jelas. Karena pada waktu itu tinggal 2
(dua) orang anaknya yang harus dibiayai kuliahnya yaitu Eriwan
Sembiring Gurukinayan dan Resmond Jaya Sembiring Gurukinayan yang
semuanya kuliah di Yogyakarta. Beliau menabung dari hasil penjualan
cengkehnya disamping untuk biaya anak-anaknya yang masih kuliah di
Yogyakarta, juga mempunyai tujuan lain yaitu untuk membeli kembali bus
|
Foto
jenis Bus Po. Sinabung Jaya tahun 1981 jenis engkel (roda empat) yang
di beli oleh keluarga untuk memenuhi permintaan ayahanda (alm) Rekat
Sembiring Gurukinayan pada tahun 1981, yang dibeli di Jakarta dalam
kondisi truk chasiss (baru) dan dibawa melalui jalan darat lintas tengah
oleh beliau yang dikemudikan cucunya Senen Sembiring Gurukinayan (alm). |
yang sudah beberapa tahun ini direncanakan
tanpa sepengetahuan anak-anaknya yang selama ini mempunyai kesibukan
masing masing di daerah lain. Sifat beliau patut manjadi contoh karena
untuk menambah kekurangan uangnya untuk membeli bus baru, beliau
meminjam (bukan meminta) uang kepada anak-anaknya Dimana pada saatnya
nanti akan dikembalikan sesuai dengan jumlah pinjaman yang diberikan
setiap anaknya tersebut di atas. Setelah uang terkumpul ditambah dari
uang ayahanda Rekat Sembiring Gurukinayan dari hasil penjualan cengkeh
maka dibelilah 1 (satu) unit bus baru engkel Colt Diesel merk Toyota
tahun 1981 (lihat jenis bus S.Jaya 016 tersebut di atas) dan kemudian
dibawa ke Medan melalui jalan darat, dan beliau sendiri yang ikut
mendampingi cucunya Senen Sembiring Gurukinayan (cucunya) sebagai
pengemudi. Sangkin gembiranya orang tua kami ini langsung membawa truk
chasiss tersebut ke desa Gurukinayan dan setiap hari dikenderai keliling
desa sebelum dibawa ke Medan untuk dibentuk karoserinya. Setelah
selesai karoserinya, bus tersebut masuk armada PO. Sinabung Jaya dengan
nomor lambung 20. Hanya dalam tempo yang singkat ayahanda Rekat
Sembiring Gurukinayan dapat mengembalikan semua uang yang dipinjam dari
anaknya. Malah dari bus nomor 20 tersebut sampai akhir hayatnya
ayahnda Rekat Sembiring Gurukinayan meninggalkan 3 (tiga) unit bus
Toyota Colt Diesel engkel nomor lambung 20 dan 40 (dibeli dari
saudaranya sipemeren Tiang Tarigan yang berasal dari Berastepu pada
tahun 1983) serta tigaperempat nomor 50. Beliau yang lahir pada tahun
1912 di Gurukinayan meninggal pada tanggal 21 Juli 1989 jam 8.30 pagi
dalam usia 77 tahun di Rumah Sakit Kabanjahe dengan meninggalkan
seorang istri ibunda Goto br Sitepu yang juga berasal dari Brastepu
serta 5 (lima) orang anak 2 (dua) perempuan dan 3 (tiga) laki-laki yaitu
Nimpan br Sembiring Gurukinayan, Anna br Sembiring Gurukinayan, Rumah
Pudung Sembiring Gurukinayan, Kincar Emanuel Sembiring Gurukinayan dan
Sehat Sembiring Gurukinayan. Almarhum dikebumikan di samping abang
sulungnya almarhum Reti Sembiring Gurukinayan di ladang Tambak Rahu
kampung Gurukinayan. Sedangkan ibunda Goto br Sitepu, yang pada saat ini
berumur 92 (sembilan puluh dua) tahun anak dari saudara laki-laki
ibunya sampai pada saat ini masih dalam keadaan sehat dan tinggal
bersama anak laki-lakinya Rumah Pudung Sembiring Gurukinayan di Medan.
Pada waktu itu, mengingat bus engkel (roda empat) dianggap tidak aman
untuk menjalani rute Kabanjahe – Medan karena sering terjadi
kecelakaan, maka dikeluarkan peraturan bahwa secara bertahap
bus engkel tidak diizinkan lagi untuk menjalani rute tersebut dan
harus di ganti dengan bis tiga perempat ton atau roda enam. Sedangkan
untuk rute pekan – pekan masih diizinkan untuk menggunakan
bis engkel untuk jangka waktu tertentu, dimana pada suatu saat apabila
ada peremajaan armada kepada pemilik bus diwajibkan untuk mengganti
armadanya dengan bus tigaperempat.
Adapun jumlah armada yang dimiliki oleh pengusaha kecil yang bergabung
dalam perusahaan ini berdasarkan Izin Perusahaan Angkutan Mobil Bus Umum
PO. Sinabung Jaya sebanyak 102 unit berdasarkan Surat Keputusan Kepala
Daerah Tingkat II Kabupaten Karo Nomor 551.21/116-40 HUK/ Tahun 1993
tanggal 4 Pebruari 1993 yang seluruhnya menggunakan merk Mitsubishi.
Setelah diberikannya ijin bagi pengusaha bus di luar keluarga untuk
dapat bergabung di Perusahaan Otobus PO. Sinabung Jaya, maka perusahaan
ini telah berkembang cukup pesat di bawah manajemen Arnem Sembiring
Gurukinayan yang selama ini sudah diberi kuasa oleh Releng br Karo
selaku Direksi PO. Sinabung Jaya untuk mengelola dan mengembangkan PO.
Sinabung Jaya sesuai dengan apa yang di cita-citakan oleh almarhum Reti
Sembiring Gurukinayan (Pa Kueteh) yang mulanya hanyalah sebagai kernek
bus pada tahun tiga puluhan atau tepatnya pada jaman penjajahan Belanda
maupun Jepang.
|
Foto armada bus Po. Sinabung Jaya tahun 1991 di desa Gurukinayan, di belakang terlihat gungung Sinabung |
9. TAHUN 1996
Akan tetapi pada tanggal 01 Januari 1996 jam 18.15 WIB setelah dilakukan
“Perjamuan Kudus” pada jam 18.00 WIB oleh Penedeta Ernolong Sitepu
(ipar Resmond Jaya Sembiring Gurukinayan) ibunda Releng br Sitepu
sebagai Direksi PO. Sinabung Jaya istri Almarhum Reti Sembiring
Gurukinayan meninggal dunia di Rumah Sakit Mongonsidi dalam usia 88
tahun. Dimana sebelumnya keluarga masih diberikan Tuhan kesempatan
dengan semua anak dan cucunya di Rumah Sakit tersebut untuk merayakan
detik-detik menjelang Tahun Baru 2006 pada jam 21.00 WIB dan almarhum
masih dapat memberikan nasihat “Terakhir” kepada kami semua keluarga
sampai menjelang tahun baru 1996, semua kejadian tersebut sampai
detik-detik nafas terakhir dapat diabadikan dalam video handycamp
keluarga.
Pada malam itu juga jasad ibunda disemayamkan di rumah duka anaknya
Arnem Sembiring di Jalan Seroja Lingkungan VII nomor 18 Kelurahan
Tanjung Selamat, Medan Tuntungan, Medan selama satu malam. Kemudian
tanggal 02 Januari 1996 jam 09.00 WIB jasad ibunda dibawa ke kampung
Gurukinayan dan disemayamkan satu malam di rumah adat “Waluh Jabu”,
sambil menunggu keesokan harinya dilakukan acara adat sampai tengah
malam dengan diiringi alat musik tradisional Batak Karo. Keesokan
harinya dilakukan acara adapt “Cawir Metua” dimana anak-anaknya
berpakaian adat lengkap termasuk semua keluarga kesain Rumah Pudung
Sembiring Gurukinayan. Pada sore harinya tanggal 3 Januari 1996
dikebumikan disamping suaminya almarhum Reti Sembiring Gurukinayan,
pendiri dan pemilik perusahaan otobus PO. Sinabung Jaya di ladang Tambak
Rahu Gurukinayan.
|
Foto
makam : dari arah kanan ke kiri terlihat sebelah kanan makam ibunda
Releng br Sitepu, tengah ayahanda Reti Sembiring dan sebelah kiri
ayahanda Rekat Sembiring, di belakang terlihat punggung gunung Sinabung |
10. TAHUN 2004
Pada saat ini PO. Sinabung Jaya telah memiliki armada sebanyak 83 unit
yang melayani trayek dari Medan ke berbagai kota/ desa khususnya yang
ada di daerah Kabupaten Karo dan sekitarnya. Sedangkan khusus untuk
trayek Angkutan Pedesaan sebagian besar menggunakan mini bus sejenis
Mitsubishi L300 maupun Toyota Kijang.
Pada hari Jumat tanggal 7 Mei 2004 jam 05.15 pagi keluarga PO. Sinabung
Jaya kembali berduka karena pada tanggal tersebut Arnem Sembiring
Gurukinayan yang lahir pada tahun 1942 meninggal dunia di Rumah Sakit
Glean Eagles Medan dalam usia 62 tahun. Almarhum meninggalkan 4 (empat)
orang anak yaitu Febrian Jaya Sembiring Gurukinayan, Ervina Suryati br
Sembiring Gurukinayan, Dewi Indri Yani br Sembiring Gurukinayan dan
yang bungsu Tamra Aryo Imanuel Sembiring Gurukinayan, serta
meninggalkan 13 (tiga belas) unit bus PO. Sinabung Jaya milik
keluarganya. Almarhum disemayamkan di rumah duka Jl. Seroja Lingkungan
VII nomor 18, Kelurahan Tanjung Selamat, Medan Tuntungan, Medan selama
satu malam, kemudian pada hari Sabtu tanggal 8 Mei 2004 di bawa ke
Jambur Namaken Medan untuk dilakukan acara penguburan sesuai dengan adat
Batak Karo, dan pada jam.15.00 WIB di bawa ke kampung Gurukinayan
dengan diiringi keluarga serta semua armada yang dimiliki ikut
mengantar jenajah almarhum sebagai bentuk penghormatan terakhir bagi
almarhum yang mempunyai andil dalam mengembangkan PO. Sinabung Jaya.
Selanjutnya sampai di Gurukinayan disemayamkan beberapa menit dirumah
saudara bungsu ayahnya almarhum Rekat Sembiring Gurukinayan, dan pada
jam 18.00 dikebumikan di ladang Tambak Rahu Gurukinayan,
disamping kuburan ketiga almarhum orang tuanya.
Semasa hidupnya beliau menerapkan kepada dirinya pola hidup bersahaja
sesuai dengan apa yang almarhum rasakan dan terima dari hasil didikan
ketiga orang tuanya tersebut di atas, yang juga menerapkan pola hidup
yang sama. Hal ini dapat dilihat dari cara berpakaian dan kenderaan
yang dipakai untuk sehari-hari semuanya menunjukkan kesederhanaan
walaupun almarhum mampu menerapkan pola hidup yang lebih baik, tapi
almarhum mempunyai prinsip apa yang sudah didapat harus disyukuri dan
dinikmati dengan tidak harus berlebihan.
Pola hidup bersahaja tersebut sudah beliau terapkan dalam hidupnya
tidak hanya beberapa tahun terakhir, tapi sejak almarhum dibesarkan dan
dididik orang tuanya yang ikut merasakan bagaimana suka dukanya ikut
mengungsi ke hutan sewaktu agresi Belanda yang kedua yang pada waktu itu
almarhum masih berumur 5 (lima) tahun yang sudah diberi tugas untuk
membawa teko yang didaerah Batak Karo disebut “Cerek”, sehingga sampai
pada masa remajanya almarhum dijuluki dilingkungan keluarga dengan
panggilan “Pa Cerek” atau Bapak Teko. Pola hidup bersahaja tersebut
lebih diaplikasikan lagi dalam hidupnya sewaktu almarhum ayahnya Reti
Sembiring Gurukinayan meninggal dunia, dimana almarhum beserta abang
sulungnya Kueteh Sembiring Gurukinayan (alm) harus membantu ibunya
untuk meneruskan dan memajukan perusahaan otobus PO. Sinabung Jaya.
Demikian juga pada hari Minggu tanggal 25 Juni 2006 generasi pertama
para pendiri maupun pengembang PO. Sinabung Jaya telah berakhir karena
ibunda Goto br Sitepu istri Almarhum Rekat Sembiring Gurukinayan (adik
bungsu Reti Sembiring Gurukinayan) yang tinggal satu-satunya Generasi
Pertama PO. Sinabung Jaya telah meninggal dunia dengan tenang karena
usia tua pada usia yang ke 92 (sembilan puluh dua) tahun. Dikebumikan
pada hari Rabu tanggal 28 Juni 2006 dengan “Acara Cawir Metua Rose
Lengkap Eremas-emas” (Acara lengkap penguburan dalam adat Karo) di
ladang Tambak Rahu Kampung Gurukinayan disamping almarhum ayahanda Rekat
Sembiring Gurukinayan dan almarhum Reti Sembiring Gurukinayan serta
ibunda almarhumah Releng br Sitepu. Sehingga dengan demikian berakhirlah
sudah generasi pertama pendiri dan pengembang perusahaan otobus PO.
SINABUNG JAYA.
|
Foto armada bus Po. Sinabung Jaya tahun 2006 |
Sumber : http://www.sinabungjaya.com