Lonsum
Pada akhir abad ke 19, daerah Kesawan yang tadinya hanya berupa kampung biasa lambat laun telah berubah menjadi distrik komersial dan ekonomi di kota Medan. Jalan Kesawan diramaikan dengan berdirinya beberapa kantor perusahaan dagang, toko/kedai, bank dan restoran. Salah satu bangunan peninggalan era kolonial dan yg cukup terkenal ialah bekas kantor Perkebunan karet Harrisons & Crosfield atau yg saat ini dikenal dgn Gedung Lonsum. Gedung tersebut berada di ujung jalan Kesawan.
Gedung Lonsum selesai dibangun pada tahun 1909, bersamaan dengan lahirnya ratu Juliana (Dutch Royal family) dan pemiliknya ialah Perusahaan perkebunan karet British "Harrisons & Crosfield" company. Harrisons & Crosfield (H&C) didirikan oleh Trio Daniel Harrison, Smith Harrison and Joseph Crosfield pada tahun 1844 di Liverpool dan bergelut di bidang importir teh dan kopi. Pada akhir abad ke 19 sebelum melonjaknya harga karet semasa Perang Dunia kedua, H&C mulai tertarik untuk melakukan investasi usaha perkebunan karet dan mengoperasikan beberapa perkebunan di Malaysia, Srilangka, Sumatra, Papua dan India Selatan.
Berkembang dan meluasnya usaha perkebunan di Sumatra timur erat hubungannya dengan diberlakukannya ekonomi liberal yang diterapkan oleh Pemerintah kolonial. Pemerintah mengundang pengusaha(investor) untuk membuka sebanyak mungkin perkebunan-perkebunan baru di Sumatra Timur dengan sistim konsesi. Tentunya hal ini akan menguntungkan Pemerintah, dengan begitu pajak ekspor akan meningkat dan menambah pemasukan kas Pemerintah kolonial. Prospek usaha perkebunan di Sumatra timur dianggap cukup menguntungkan. H&C yang dulunya hanya berfokus pada perkebunan karet, seiring waktu telah merambah usaha perkebunannya di bidang teh, kopi, coklat, dan kelapa sawit. Perkebunan H&C diantaranya berada di Tebing tinggi, Pematang siantar dan daerah lainnya.
Selain usaha perkebunan di Sumatra, H&C juga berinvestasi dalam usaha pembalakan kayu di Kalimantan(Borneo), mereka menggandeng British North Borneo Co. dan kemudian membeli salah satu perusahaan pemain utama dalam usaha ini, yaitu China-Borneo co. Sementara usaha perkebunan di Sumatra timur dan pembalakan kayu sudah tidak menjanjikan lagi, pada era 1960-an H&C mulai beralih ke investasi perkebunan kelapa sawit di Kalimantan dan kemudian mereka membeli saham tiga perkebunan besar kelapa sawit yang beroperasi di Malaysia.
Tahun 1982, H&C menjual sahamnya kepada Sime Darby yang merupakan investor utama dalam perkebunan kelapa sawit di Malaysia dan tahun 1994 menjual semua aset perkebunannya di Sumatra kepada London Sumatra Plantations Ltd(PT. London Sumatra Tbk). Akhirnya Gedung Juliana ini pun menjadi kantor London Sumatra Tbk dan sekaligus kantor British konsulat dan perpustakaan British council.
(dari berbagai sumber)
Pada akhir abad ke 19, daerah Kesawan yang tadinya hanya berupa kampung biasa lambat laun telah berubah menjadi distrik komersial dan ekonomi di kota Medan. Jalan Kesawan diramaikan dengan berdirinya beberapa kantor perusahaan dagang, toko/kedai, bank dan restoran. Salah satu bangunan peninggalan era kolonial dan yg cukup terkenal ialah bekas kantor Perkebunan karet Harrisons & Crosfield atau yg saat ini dikenal dgn Gedung Lonsum. Gedung tersebut berada di ujung jalan Kesawan.
Gedung Lonsum selesai dibangun pada tahun 1909, bersamaan dengan lahirnya ratu Juliana (Dutch Royal family) dan pemiliknya ialah Perusahaan perkebunan karet British "Harrisons & Crosfield" company. Harrisons & Crosfield (H&C) didirikan oleh Trio Daniel Harrison, Smith Harrison and Joseph Crosfield pada tahun 1844 di Liverpool dan bergelut di bidang importir teh dan kopi. Pada akhir abad ke 19 sebelum melonjaknya harga karet semasa Perang Dunia kedua, H&C mulai tertarik untuk melakukan investasi usaha perkebunan karet dan mengoperasikan beberapa perkebunan di Malaysia, Srilangka, Sumatra, Papua dan India Selatan.
Berkembang dan meluasnya usaha perkebunan di Sumatra timur erat hubungannya dengan diberlakukannya ekonomi liberal yang diterapkan oleh Pemerintah kolonial. Pemerintah mengundang pengusaha(investor) untuk membuka sebanyak mungkin perkebunan-perkebunan baru di Sumatra Timur dengan sistim konsesi. Tentunya hal ini akan menguntungkan Pemerintah, dengan begitu pajak ekspor akan meningkat dan menambah pemasukan kas Pemerintah kolonial. Prospek usaha perkebunan di Sumatra timur dianggap cukup menguntungkan. H&C yang dulunya hanya berfokus pada perkebunan karet, seiring waktu telah merambah usaha perkebunannya di bidang teh, kopi, coklat, dan kelapa sawit. Perkebunan H&C diantaranya berada di Tebing tinggi, Pematang siantar dan daerah lainnya.
Selain usaha perkebunan di Sumatra, H&C juga berinvestasi dalam usaha pembalakan kayu di Kalimantan(Borneo), mereka menggandeng British North Borneo Co. dan kemudian membeli salah satu perusahaan pemain utama dalam usaha ini, yaitu China-Borneo co. Sementara usaha perkebunan di Sumatra timur dan pembalakan kayu sudah tidak menjanjikan lagi, pada era 1960-an H&C mulai beralih ke investasi perkebunan kelapa sawit di Kalimantan dan kemudian mereka membeli saham tiga perkebunan besar kelapa sawit yang beroperasi di Malaysia.
Tahun 1982, H&C menjual sahamnya kepada Sime Darby yang merupakan investor utama dalam perkebunan kelapa sawit di Malaysia dan tahun 1994 menjual semua aset perkebunannya di Sumatra kepada London Sumatra Plantations Ltd(PT. London Sumatra Tbk). Akhirnya Gedung Juliana ini pun menjadi kantor London Sumatra Tbk dan sekaligus kantor British konsulat dan perpustakaan British council.
(dari berbagai sumber)
lonsum gk sprti yg dulu, pekerja'a kurang makmur...
BalasHapus