Selamat sore dan selamat menikmati malam penghujung 2012. Masih ingatkan New Chordex’s ? Coba Lihat Video Cover yang diunggah di Youtube Generasi- New Chordex's (guitar & solo cover)
New Chordex’s merupakan Band yang terkenal di tahun 80an. New Chordex’s memulai karier bermusiknya sekitar tahun 1985 dengan tampil mengisi acara di Taman Ria Medan (Sekarang Mall di Kota Medan "Carefour"). Kemunculan mereka membuat band bergenre rock ini mulai diminati warga Kota Medan dan Sumut. Melalui lagu Generasi dan Napas Kehidupan,New Chordex’s yang digawangi oleh Afis (drummer),Marwis (gitar), Mahar (bass), Caci (Keyboardis), dan Iskandar Sembiring (vokal) seakan membius para pecinta musik rock.
Hal ini terbukti dalam festival rock yang diadakan di Kota Medan dan kota lainnya di Sumut. Dalam penampilannya, New Chordex’s selalu meraih prosisi teratas.Prestasi-prestasi yang dicapai itu membuat nama band ini menjadi teratas dalam setiap kompetisi atau festival rock. Salah satu momen terpentingnya saat ikut lomba musik rock pada 1987 yang dimotori Ian Antono di Senayan.Ketika itu, lagu Bara Api berhasil dibawakan dengan baik oleh sang vokalis,Iskandar Sembiring. Dari sinilah,band ini terus dikenal hingga tingkat nasional.
Pada 1989,New Chordex’s mencatatkan namanya sebaga satusatunya band yang mengikuti Festival Rock se-Indonesia (Log Zhelebour V) di Kota Malang. Namun, pada keikutsertaan yang pertama ini mereka belum menorehkan prestasi “Pada kompetisi Log Zhelebour VI tahun 1991, New Chordex’s masuk di empat terbaik dan masuk dalam Album Kompilasi FESTIVAL ROCK INDONESIA V - 1989 dengan Lagu New Chordex's (Medan) - Generasi, sertaAlbum Kompilasi FESTIVAL ROCK INDONESIA VI - 1991 dengan laguNew Chordhex's (Medan) - Nafas Kehidupan.Selain itu juga masuk kategori keyboard dan drum terbaik. Dari perjalanannya, New Chordex’s khususnya Iskandar, dipercayakan mendampingi Ahmad Albar dan Ian Antono dalam kegiatan tur di berbagai kota di Indonesia.
Bahkan, dalam beberapa kegiatan festival rock tingkat nasional, New Chordex’s sering menjadi pengisi acara. Sebuah Prestasi yang sangat membanggakan tentunya. New Chordex’s terakhir kali manggung (sayangnya hanya Vokalisnya aja Bang Iskandar) pada
Pagelaran musik bertajuk "RockSpektakuler" yang diprakarsaiKampusi Promo di Lapangan
Benteng Medan,19-20 Maret 2011 membawakan lagu seperti Rumah Kita dan Kepada Perang Demikian cerita singkat New Chordex’s Band yang dikutip dari berbagai media di Medan salah satunya Harian Seputar Indonesia terbitan 20 May 2012 Download lagunya disini : Generasi - new chordex Nafas Kehidupan - new chordex's.mp3
mahameru di bentuk pertama kali oleh Ijal Arifin (sekarang Gitaris Peppermint) dan Dipo (Drummer mahameru) pada tanggal 8 November 1995 di Medan tepatnya diruang kantor Radio Citra Buana Medan. setelah sibuk kesana kemari mencari personil lainnya, maka didapatlah formasi awal mahameru: aswin (lead & rhytm guitar), dipo (drum), zulfan (bass), ijal (lead & rhytm guitar, sekarang di peppermint), puja (vocal), andry (keyboard). dipilihnya nama mahameru karena simple, alami dan lebih meng Indonesia. pada awalnya mahameru hanya membawakan lagu-lagu milik band nasional serta mancanegara. selanjutnya, satu persatu ajang festival musik mulai diikuti, mulai dari festival musik pelajar/mahasiswa local sampai festival musik berskala nasional. pada awal 1997 terjadi perubahan besar di mahameru, dengan formasi yang baru: aswin (lead & rhytm guitar), gagha (rhytm & lead guitar), avis (bass), dipo (drum), yudie (lead vocal). mahameru mulai konsentrasi lagi ke panggung musik. mulai ajang pentas sekolah / kampus sekitar Medan sampai Aceh dan juga menjadi band pembuka nugie & alv band, dewa, netral, mocca, slank, bip, peterpan, clubeighties, ada band, radja, samson, ungu, iwan fals, naff, glenn fredly, melly guslow, pinkan mamboo, tahta, kapten, dll. mahameru juga tampil di soundrenaline 2003 dan soundrenaline 2006 yang berlangsung di Medan dan mendapatkan penghargaan "the most solid & united new comers band soundrenaline 2006" pada awal 2003 mahameru merilis 2 single dalam bentuk mini album sentuhan kecil, bertitel biar dan flyin’ yang didistribusikan secara independent di kota Medan. terbukti melalui 2 singel tersebut mahameru mendapat pengakuan yang cukup signifikan dari apresiator musik di kota Medan, bahkan flyin' sempat menduduki peringkat atas top request di Star FM selama satu bulan lebih. lalu pada awal 2002 mahameru merilis album indie "sentuhan pertama", album ini hanya diproduksi sebanyak 3000 keping dalam bentuk kaset dan 500 keping CD dan di pasarkan dengan cara titip edar ke ET.45 dan distro2 yang ada di Medan dan luar kota ketika mahameru manggung keluar kota. 3 single di album kedua ini flyin', k.s.b.s dan dinda menjadi single favorit beberapa radio di Medan dan luar kota. diluar dugaan dalam waktu 3 bulan seluruh kaset dah CD habis terjual, hal ini tentu saja sangat menggembirakan buat mahameru untuk lebih serius dan semangat lagi dalam penggarapan album berikutnya awal 2011 mahameru merilis album indie kedua " andai", yang mana proses pengerjaan album ini sangat panjang dimulai dari awal 2005 dan selesai hingga akhir 2010, ini dikarenakan jadwal manggung yang benar-benar padat dan ditambah dengan kesibukan masing-masing personil seperti mengurus studio baru, menikah, kerja dan berkebun sawit. dibandingkan dengan album pertama, album kedua ini sangat jauh berbeda baik dari segi kualitas audio, karakter warna musik hingga aransemen lagu. album kedua ini tampil dengan karakter rock yang sangat kuat. dengan mengangkat tema-tema lagu dari kehidupan sehari-hari dan sepertinya album kedua inilah karakter sesungguhnya mahameru. secara fisik album ini diproduksi sangat terbatas, hanya 1000 keping hal ini memang disengaja dan hanya diperuntukkan buat teman-teman yg memang benar-benar ingin memiliki album fisiknya (CD). selebihnya semua materi album kedua rencananya akan bisa di downdload secara gratis dalam bentuk mp3. dengan dua album indie ini mahameru membuktikan bahwa mereka masih eksis dan masih mensupport teman-teman serta junior-junior band mereka agar tetap kreatif dan terus menciptakan lagu-lagu yang bagus serta tetap semangat di jalur indie medan... [mahameru - 2012] www.delirockstation.com
Badak, Minuman Soda Pertama di indonesia | Asal Medan Jangan terkaget bila Anda sedang makan di sebuah rumah makan di Kota
Medan, Sumatera Utara, kemudian ditawari Badak! Tenang! Anda tidak akan
ditawari sup daging badak! Sudah barang tentu bukan pula akan muncul
sajian sate daging badak! Badak yang ini menyegarkan. Badak adalah merek minuman bersoda yang berusia hampir seratus tahun.
Di botol minuman tertera gambar badak bercula satu dan tulisan “Badak”.
Badak telah melegenda di Kota Medan, Kota Pematang Siantar, dan
sekitarnya. Badak dengan mudah ditemukan berdampingan dengan minuman
bersoda lainnya, teh botol, dan air mineral di berbagai rumah makan. “Bagi orang Medan dan Pematang Siantar, minuman Badak ini sangat
terkenal. Sudah lama mereka mengenal. Kebanyakan dijual di restoran
Tionghoa dan rumah makan Batak Toba,” kata Jhoni Siahaan, warga Medan. Di salah satu rumah makan di Jalan KH Wahid Hasyim, barisan botol
Badak berjajar di antara jajaran Coca-Cola, Fanta, Sprite, teh Sosro,
Aqua, dan minuman lain. Mungkin, Badak satu-satunya minuman bersoda yang
bisa bersaing dengan produk-produk bermerek internasional. Bagi warga Medan dan Pematang Siantar, Badak telah menjadi bagian
sejarah mereka sejak lama. Badak lebih dahulu dikenal dibandingkan
dengan minuman bersoda dengan merek internasional dan teh botol itu.
Badak telah hadir di Pematang Siantar dan Medan. Tahun 1916, pabrik dengan nama NV Ijs Fabriek Siantar didirikan
Heinrich Surbeck—pria kelahiran Halau, Swiss—di Kota Pematang Siantar.
Perusahaan ini memproduksi es batu dan juga minuman bersoda. Melihat
angka tahunnya, minuman ini diproduksi jauh sebelum minuman bersoda
lainnya masuk ke Indonesia, seperti Coca-Cola yang diperkenalkan tahun
1927 dan baru diproduksi di Jakarta tahun 1932. Tidak diketahui persis alasan Pematang Siantar dipilih sebagai lokasi
pabrik. Hanya saja kota itu diperkirakan menghasilkan air yang bagus
untuk es batu. Di sisi lain, kota itu yang dikelilingi perkebunan
memiliki penduduk dengan kantong tebal, yang berarti pula berpotensi
menjadi konsumen mereka pada masa itu. Pada masa lalu pejabat perkebunan
dari daerah sekitar banyak beristirahat di Kota Pematang Siantar. “Soal nama Badak saya tidak tahu persis. Setahu saya, Surbeck adalah
sarjana teknik kimia yang juga pencinta alam. Ia memiliki banyak koleksi
tumbuhan dan hewan kering. Saya menduga nama Badak diambil karena
kecintaannya kepada alam,” kata Elman Tanjung (89) yang berkarier dari
mulai menjadi pegawai rendahan pada 1938 hingga menjadi Direktur NV Ijs
Fabriek Siantar. Tanjung mengatakan, pabrik minuman ini berkembang pesat. Perusahaan
yang juga mengelola pembangkit listrik dan hotel ini memproduksi
sejumlah minuman bersoda dengan berbagai rasa, mulai dari jeruk, anggur,
sarsaparila, hingga air soda. Salah satu rasa yang terkenal dan masih
digemari masyarakat Pematang Siantar dan Medan adalah rasa sarsaparila,
sebuah rasa yang diekstrak dari tumbuhan herbal yang berasal dari
Meksiko. Orang Medan kadang menyebut “sarsi” untuk minuman, kependekan
dari sarsaparila. Kisah Tanjung berkisah, pada zaman dahulu, selain minuman bersoda, NV Ijs
Fabriek Siantar juga memproduksi sari buah markisa yang diekspor ke
sejumlah negara, seperti Swiss, Belanda, dan Belgia, dengan merek
Marquisa Sap. Akan tetapi, produksi ini kemudian terhenti. Ketika pendudukan Jepang, pabrik ini masih bertahan. Penjajah Jepang
menempatkan seorang wakilnya saat mengelola perusahaan ini. Pabrik tetap
beroperasi seusai kemerdekaan. Akan tetapi, situasi kemudian berubah
ketika Heinrich Surbeck dibunuh oleh laskar rakyat yang memberontak
melawan Belanda seusai Proklamasi Kemerdekaan. Dua anak Surbeck sempat
diungsikan ke Eropa sehingga mereka selamat. Meski tanpa kehadiran keluarga Surbeck, NV Ijs Fabriek Siantar tetap
beroperasi. Tanjung dan kawan-kawannya tetap mengelola usaha itu hingga
kemudian salah satu anak Surbeck, yaitu Lydia Rosa, kembali ke Pematang
Siantar pada tahun 1947. Di kota itu Rosa menikah dengan seorang pria
Belanda bernama Otto. Otto kemudian mengelola usaha ini hingga tahun
1959. Gonjang-ganjing di Tanah Air yang disertai isu nasionalisasi aset
pada tahun itu menjadikan Otto menyerahkan pengelolaan NV Ijs Fabriek
Siantar kepada Tanjung. Sampai tahun 1963, Otto dan Rosa masih berada di
Indonesia hingga kemudian mereka keluar dari Indonesia menuju Swiss.
Sejak saat itu Tanjung mengelola sepenuhnya usaha ini. “Saat mengelola usaha ini saya berkenalan dengan Julianus Hutabarat.
Ia juga seorang pengusaha. Saya sempat menceritakan kemungkinan
pembelian NV Ijs Fabriek Siantar,” tutur Tanjung. Hutabarat yang bersama
saudara-saudaranya telah memiliki usaha dengan nama Barat Trading
Company ternyata berminat. Tanjung kemudian menyampaikan hal itu kepada
Otto. Pada tahun 1969 Hutabarat akhirnya membeli perusahaan itu. Ia membeli
dengan cara mencicil hingga pada tahun 1971 perusahaan itu benar-benar
menjadi milik Hutabarat sepenuhnya. Perusahaan ini berubah nama menjadi
PT Pabrik Es Siantar. Sampai tahun 1987 Tanjung masih dipercaya
mengelola perusahaan ini. “Dulu produksi Badak hingga 35.000 kerat per bulan. Penjualan tidak
hanya di Sumatera Utara, tetapi juga sampai ke Jawa,” kata Tanjung yang
dibenarkan oleh Hendry Hutabarat dan Ronald Hutabarat, anak Julianus
Hutabarat. Ronald yang melanjutkan mengelola perusahaan itu menceritakan, nama
Badak memang telah melekat di hati masyarakat Pematang Siantar dan
Medan. Mereka mendapatkan konsumen fanatik. Ungkapan ini tidaklah
sekadar ucapan jempol. Coba cari di internet dan Anda akan menemukan
konsumen fanatik yang masih terkenang dengan Badak! “Orang Medan dan Pematang Siantar yang telah berada di luar kota pun
masih mengingat Badak. Setahu saya sampai sekarang masih ada rumah makan
yang menjual Badak di Jakarta, tepatnya di Muara Karang,” tuturnya. Ia mengenang, pada masa lalu PT Pabrik Es Siantar sangatlah masyhur.
Mereka juga memasok listrik bagi Kota Pematang Siantar. Bahkan, untuk
menghormati pengelola perusahaan ini, bioskop di Pematang Siantar
menyediakan tujuh tempat duduk khusus bagi mereka. Tempat duduk dengan
warga merah dan tulisan khusus untuk PT Pabrik Es Siantar tertera jelas
di tempat itu. “Ha-ha-ha… bahkan kalau di antara kami belum datang, film belum akan
diputar. Mereka terpaksa menunggu kami datang,” tutur Ronald
menceritakan kisah unik itu saat mereka remaja Sayang Sayang sekali produksi Badak sekarang agak berkurang. Produksi
diperkirakan hanya tinggal separuh dibandingkan dengan pada saat mereka
berjaya. Jenis rasa pun berkurang, sekarang hanya tinggal sarsaparila
dan air soda. Banyak hal yang menjadikan produksi Badak menurun. “Isu kesehatan seperti soal bahaya minuman bersoda menjadikan
konsumen berkurang,” kata Hendry menyebut salah satu penyebab penurunan
produksi minuman bersoda. Soal perubahan fokus usaha yang hanya
memproduksi sarsaparila dan air soda, ia menuturkan, permintaan minuman
bersoda lainnya sangat kecil sehingga produksinya sangat tidak efisien. “Untuk membuat satu rasa kita harus membeli satu esens. Kemudian
untuk memproduksi satu rasa kita harus membersihkan alat dan mesin
minimal empat jam agar tidak terjadi pencampuran rasa. Karena kesulitan
itu, kami hanya memproduksi sarsaparila dan air soda,” kata Hendry. Ia melihat, sebenarnya Badak masih bisa dikembangkan lagi. Merek
Badak yang telah masyhur juga menjadi aset penting sehingga bila usaha
ini dikembangkan, mereka tak perlu membangun nama lagi. Dari pembicaraan Kompas dengan beberapa orang terungkap sebenarnya
sudah banyak pihak yang ingin bekerja sama untuk mengembangkan usaha
ini. Beberapa investor bahkan bersedia menyiapkan dana untuk mengibarkan
merek Badak. Mereka ingin merek Badak makin berjaya.. dari berbagai sumber
Pada akhir abad ke 19, daerah Kesawan yang tadinya hanya berupa
kampung biasa lambat laun telah berubah menjadi distrik komersial dan
ekonomi di kota Medan. Jalan Kesawan diramaikan dengan berdirinya
beberapa kantor perusahaan dagang, toko/kedai, bank dan restoran. Salah
satu bangunan peninggalan era kolonial dan yg cukup terkenal ialah
bekas kantor Perkebunan karet Harrisons & Crosfield atau yg saat
ini dikenal dgn Gedung Lonsum. Gedung tersebut berada di ujung jalan
Kesawan. Gedung Lonsum selesai dibangun pada tahun 1909, bersamaan dengan
lahirnya ratu Juliana (Dutch Royal family) dan pemiliknya ialah
Perusahaan perkebunan karet British "Harrisons & Crosfield" company.
Harrisons & Crosfield (H&C) didirikan oleh Trio Daniel
Harrison, Smith Harrison and Joseph Crosfield pada tahun 1844 di
Liverpool dan bergelut di bidang importir teh dan kopi. Pada akhir abad
ke 19 sebelum melonjaknya harga karet semasa Perang Dunia kedua,
H&C mulai tertarik untuk melakukan investasi usaha perkebunan karet
dan mengoperasikan beberapa perkebunan di Malaysia, Srilangka,
Sumatra, Papua dan India Selatan. Berkembang dan meluasnya usaha perkebunan di Sumatra timur erat
hubungannya dengan diberlakukannya ekonomi liberal yang diterapkan oleh
Pemerintah kolonial. Pemerintah mengundang pengusaha(investor) untuk
membuka sebanyak mungkin perkebunan-perkebunan baru di Sumatra Timur
dengan sistim konsesi. Tentunya hal ini akan menguntungkan Pemerintah,
dengan begitu pajak ekspor akan meningkat dan menambah pemasukan kas
Pemerintah kolonial. Prospek usaha perkebunan di Sumatra timur dianggap
cukup menguntungkan. H&C yang dulunya hanya berfokus pada
perkebunan karet, seiring waktu telah merambah usaha perkebunannya di
bidang teh, kopi, coklat, dan kelapa sawit. Perkebunan H&C
diantaranya berada di Tebing tinggi, Pematang siantar dan daerah
lainnya. Selain usaha perkebunan di Sumatra, H&C juga berinvestasi dalam
usaha pembalakan kayu di Kalimantan(Borneo), mereka menggandeng British
North Borneo Co. dan kemudian membeli salah satu perusahaan pemain
utama dalam usaha ini, yaitu China-Borneo co. Sementara usaha
perkebunan di Sumatra timur dan pembalakan kayu sudah tidak menjanjikan
lagi, pada era 1960-an H&C mulai beralih ke investasi perkebunan
kelapa sawit di Kalimantan dan kemudian mereka membeli saham tiga
perkebunan besar kelapa sawit yang beroperasi di Malaysia. Tahun 1982, H&C menjual sahamnya kepada Sime Darby yang merupakan
investor utama dalam perkebunan kelapa sawit di Malaysia dan tahun
1994 menjual semua aset perkebunannya di Sumatra kepada London Sumatra
Plantations Ltd(PT. London Sumatra Tbk). Akhirnya Gedung Juliana ini
pun menjadi kantor London Sumatra Tbk dan sekaligus kantor British
konsulat dan perpustakaan British council. (dari berbagai sumber)